34.4 C
Jakarta
8 April 2024, 17:06 PM WIB

Dijamin Anak & Uang Rp 100 Juta, Pengalihan Penahanan Bos BPR Disorot

DENPASAR – Pengalihan penahanan terdakwa bos PT. BPR Legian, Titian Wilaras, 55, oleh majelis hakim PN Denpasar mendapat kritikan dan kecaman dari berbagai pihak.

Dari praktisi hukum, LSM, hingga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Provinsi Bali.

Perhatian dari berbagai kalangan ini wajar lantaran kasus ini merupakan kasus besar yang menjadi perhatian publik dengan nilai kerugian Rp 23,1 miliar.

Mereka menyayangkan keputusan hakim yang memberikan pengalihan penahanan terhadap terdakwa.

Sebab, meskipun pemberian pengalihan penahanan merupakan wewenang hakim, namun hakim harus melihat rekam jejak terdakwa yang pernah menjadi buronan Mabes Polri. Terdakwa melarikan diri hingga ke Belanda. 

Kepala ORI Perwakilan Provinsi Bali, Umar Ibnu Alkhatab menyebut Seseorang yang pernah menjadi buron mestinya mendapat perhatian khusus saat menjalani proses hukum.

“Sebab, yang bersangkutan pasti memiliki cara berkoordinasi dan komunikasi. Bisa saja pada suatu kesempatan melakukan upaya-upaya mengaburkan informasi atau barang bukti,” ungkap Umar, kemarin.

Umar berharap majelis hakim lebih berhati-hati mengambil keputusan agar tidak melukai suasana batin publik.

Korban dalam kasus ini tentu berharap agar  kasus ini bisa dibongkar dan pelaku diberikan hukuman setimpal.

“Ini kan uang orang yang dibawa lari. Jadi majelis harus hari-hati dalam mengambil putusan,” tegasnya.

Menurut Umar, meski terdakwa mengajukan pengalihan penahanan karena alasan kesehatan dan situasi Covid-19, mestinya hakim tetap menerapkan standar pengamanan terhadap terdakwa.

Misalnya terkait Covid-19, hakim bisa mengisolasi terdakwa dalam tempat khusus yang hanya bisa dikunjungi hakim.

Begitu juga dengan alasan sakit tidak bisa dijadikan alasan mempermudah memberikan pengalihan penahanan.

Sehingga terdakwa masih bisa jalan-jalan di dalam kota karena menjadi tahanan kota. “Selama ini banyak orang (terdakwa) sakit, tapi tetap saja ditahan dan tetap menggunakan standar keamanan yang ada,” sindirnya.

Umar khawatir dengan pengalihanan penahanan, terdakwa bisa membangun komunikasi dengan pihak-pihak terlibat sehingga bisa menyembunyikan dan mengaburkan barang bukti untuk persidangan.

“Maksud kami, meskipun hakim memiliki hak dan wewenang, tapi harus ada dalam pengawasan ketat untuk terdakwa,” tukas alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Hal senada diungkapkan Ketua Yayasan Manikaya Kauci, Gunadjar. Ditegaskan, seharusnya majelis hakim tidak tergesa-gesa memberikan pengalihan penahanan pada terdakwa.

Hal ini menyangkut rasa berkeadilan. Apalagi kasus ini nilai kerugiannya hingga puluhan miliar. Banyak terdakwa tetap ditahan meski kerugian materialnya di bawah kasus BPR Legian ini.

“Pengalihan ini memang hak hakim. Tapi, akan lebih baik jika hakim memberikan perlakuan sama dengan terdakwa lainnya,” katanya.

Alasan sakit sehingga tidak bisa ditahan juga menurutnya kurang pas. Sebab,  lapas dan rutan dinilai sudah cukup baik memberikan pengawasan kesehatan.

Makanan yang diberikan juga sudah layak. Rutan dan lapas juga memiliki tim medis. Menurut Gunadjar, dengan kejadian ini akan menyakiti juga rasa keadilan bagi pihak yang mengalami atau korban.

Hal ini juga akan menjadi preseden buruk di masa mendatang. Ketika ada orang diadili, kemudian mengajukan permohonan pengalihan terus tidak dikabulkan, maka akan menjadi penilaian buruk terhadap independensi hakim.

“Ini (pengalihan penahanan) sulit mencegah banyak orang berpikir yang tidak-tidak. Akan muncul kenapa terdakwa

mendapat kemudahan dan keitimewaan. Padahal, namanya hukum kan di mata setiap orang harus sama,” sentil pria 49 tahun itu.

Kritikan tak kalah keras disuarakan praktisi hukum yang juga pengacara kawakan John Korassa. John mengaku mengikuti sejak awal mengikuti kasus ini dengan membaca pemberitaan di media.

Saat berstatus tersangka yang bersangkutan tidak kooperatif. Bahkan, melarikan diri hingga masuk DPO. Nah, sekarang setelah disidang justru mendapatkan pelimpahan.

“Kami sangat kecewa dan menyayangkan penetapan pengalihan penahanan oleh hakim. Rekam jejak terdakwa yang pernah masuk DPO semestinya menjadi perhatian majelis,” cetus John.

John menegaskan, kendati pengalihan penahanan merupakah hak subjektif hakim, tapi hakim harus objektif dalam memberikan pengalihan penahanan.

“Bagaimana kalau terdakwa kemudian tidak bisa dihadirkan, kasihan penuntut umum. Hakim enak saja memberikan pengalihan, tapi ketika tidak datang yang repot jaksa. Kami sangat menyayangkan,” tukasnya.

Dikonfirmasi terpisah, juru bicara PN Denpasar I Made Pasek mengungkapka, sejak kasus ini bergulir di media Ketua PN Denpasar sudah memanggil majelis hakim yang diketuai Angeliky Handajani Day.

Dijelaskan, Ketua PN juga sudah memintai keterangan alasan kenapa memberikan pengalihan penahanan.

Pengalihan penahanan murni karena alasan kemanusiaan terdakwa sakit di tengah pandemi Covid-19.

Pengalihan penahanan diberikan karena adanya permohonan dari terdakwa. Terdakwa memberikan jaminan diri anaknya dan jaminan uang sekitar Rp 100 juta dititipkan kepada panitera.

“Selain itu juga ada keterangan dan rekomendasi dari medis, bahwa terdakwa memiliki penyakit asma dan diabetes, sehingga dikhawatirkan terdakwa rawan terpapar Covid-19,” terang Pasek.

Lebih lanjut dijelaskan, setelah diberikan pengalihan, terdakwa ternyata kooperatif. Saat jadwal sidang terdakwa datang.

Penahanan sendiri tujuannya untuk memperlancar persidangan. Penahanan bukan bentuk suatu hukuman. Hukuman diberikan ketika hakim menjatuhkan putusan.

“Kecuali gara-gara pengalihan penahanan persidangan menjadi macet, maka bisa ditinjau ulang. Pengalihan bisa diubah menjadi tahanan,” tuturnya.

Ditanya kasus ini menjadi perhatian publik dan bisa melukai perasaan publik, Pasek mengatakan memahami hal itu. “Tapi, percayalah proses mencari keadilan tetap berjalan. Persidangan akan terus lanjut,” tukasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, di hadapan majelis hakim yang diketuai Angeliky Handajani Day, jaksa penuntut umum (JPU)

Putu Gede Sugiartha dan IB Putu Swadharma Diputra menerangkan, terdakwa merupakan pemegang saham pengendali (PSP) PT. BPR Legian.

Terdakwa menggunakan dana milik PT. BPR Legian untuk kepentingan pribadi terdakwa dengan total transaksi sebesar Rp 23,1 miliar.

Terdakwa memerintahkan bawahannya mentransfer uang ke rekeningnya. Terdakwa yang namanya identik dengan tempat hiburan malam Sky Garden di Kuta, itu menggunakan uang BPR Legian untuk berbagai keperluan pribadi.

Misalnya untuk membeli mobil Toyota Alphard, pembelian mobil Mercy, pembelian veleg Mercy, pembelian mobil Porche, dan belanja kepentingan pribadi lainnya.

Selain transfer, pengeluaran juga berupa cek ke beberapa nama seperti anak terdakwa dan anggota keluarga lainnya.

DENPASAR – Pengalihan penahanan terdakwa bos PT. BPR Legian, Titian Wilaras, 55, oleh majelis hakim PN Denpasar mendapat kritikan dan kecaman dari berbagai pihak.

Dari praktisi hukum, LSM, hingga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Provinsi Bali.

Perhatian dari berbagai kalangan ini wajar lantaran kasus ini merupakan kasus besar yang menjadi perhatian publik dengan nilai kerugian Rp 23,1 miliar.

Mereka menyayangkan keputusan hakim yang memberikan pengalihan penahanan terhadap terdakwa.

Sebab, meskipun pemberian pengalihan penahanan merupakan wewenang hakim, namun hakim harus melihat rekam jejak terdakwa yang pernah menjadi buronan Mabes Polri. Terdakwa melarikan diri hingga ke Belanda. 

Kepala ORI Perwakilan Provinsi Bali, Umar Ibnu Alkhatab menyebut Seseorang yang pernah menjadi buron mestinya mendapat perhatian khusus saat menjalani proses hukum.

“Sebab, yang bersangkutan pasti memiliki cara berkoordinasi dan komunikasi. Bisa saja pada suatu kesempatan melakukan upaya-upaya mengaburkan informasi atau barang bukti,” ungkap Umar, kemarin.

Umar berharap majelis hakim lebih berhati-hati mengambil keputusan agar tidak melukai suasana batin publik.

Korban dalam kasus ini tentu berharap agar  kasus ini bisa dibongkar dan pelaku diberikan hukuman setimpal.

“Ini kan uang orang yang dibawa lari. Jadi majelis harus hari-hati dalam mengambil putusan,” tegasnya.

Menurut Umar, meski terdakwa mengajukan pengalihan penahanan karena alasan kesehatan dan situasi Covid-19, mestinya hakim tetap menerapkan standar pengamanan terhadap terdakwa.

Misalnya terkait Covid-19, hakim bisa mengisolasi terdakwa dalam tempat khusus yang hanya bisa dikunjungi hakim.

Begitu juga dengan alasan sakit tidak bisa dijadikan alasan mempermudah memberikan pengalihan penahanan.

Sehingga terdakwa masih bisa jalan-jalan di dalam kota karena menjadi tahanan kota. “Selama ini banyak orang (terdakwa) sakit, tapi tetap saja ditahan dan tetap menggunakan standar keamanan yang ada,” sindirnya.

Umar khawatir dengan pengalihanan penahanan, terdakwa bisa membangun komunikasi dengan pihak-pihak terlibat sehingga bisa menyembunyikan dan mengaburkan barang bukti untuk persidangan.

“Maksud kami, meskipun hakim memiliki hak dan wewenang, tapi harus ada dalam pengawasan ketat untuk terdakwa,” tukas alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Hal senada diungkapkan Ketua Yayasan Manikaya Kauci, Gunadjar. Ditegaskan, seharusnya majelis hakim tidak tergesa-gesa memberikan pengalihan penahanan pada terdakwa.

Hal ini menyangkut rasa berkeadilan. Apalagi kasus ini nilai kerugiannya hingga puluhan miliar. Banyak terdakwa tetap ditahan meski kerugian materialnya di bawah kasus BPR Legian ini.

“Pengalihan ini memang hak hakim. Tapi, akan lebih baik jika hakim memberikan perlakuan sama dengan terdakwa lainnya,” katanya.

Alasan sakit sehingga tidak bisa ditahan juga menurutnya kurang pas. Sebab,  lapas dan rutan dinilai sudah cukup baik memberikan pengawasan kesehatan.

Makanan yang diberikan juga sudah layak. Rutan dan lapas juga memiliki tim medis. Menurut Gunadjar, dengan kejadian ini akan menyakiti juga rasa keadilan bagi pihak yang mengalami atau korban.

Hal ini juga akan menjadi preseden buruk di masa mendatang. Ketika ada orang diadili, kemudian mengajukan permohonan pengalihan terus tidak dikabulkan, maka akan menjadi penilaian buruk terhadap independensi hakim.

“Ini (pengalihan penahanan) sulit mencegah banyak orang berpikir yang tidak-tidak. Akan muncul kenapa terdakwa

mendapat kemudahan dan keitimewaan. Padahal, namanya hukum kan di mata setiap orang harus sama,” sentil pria 49 tahun itu.

Kritikan tak kalah keras disuarakan praktisi hukum yang juga pengacara kawakan John Korassa. John mengaku mengikuti sejak awal mengikuti kasus ini dengan membaca pemberitaan di media.

Saat berstatus tersangka yang bersangkutan tidak kooperatif. Bahkan, melarikan diri hingga masuk DPO. Nah, sekarang setelah disidang justru mendapatkan pelimpahan.

“Kami sangat kecewa dan menyayangkan penetapan pengalihan penahanan oleh hakim. Rekam jejak terdakwa yang pernah masuk DPO semestinya menjadi perhatian majelis,” cetus John.

John menegaskan, kendati pengalihan penahanan merupakah hak subjektif hakim, tapi hakim harus objektif dalam memberikan pengalihan penahanan.

“Bagaimana kalau terdakwa kemudian tidak bisa dihadirkan, kasihan penuntut umum. Hakim enak saja memberikan pengalihan, tapi ketika tidak datang yang repot jaksa. Kami sangat menyayangkan,” tukasnya.

Dikonfirmasi terpisah, juru bicara PN Denpasar I Made Pasek mengungkapka, sejak kasus ini bergulir di media Ketua PN Denpasar sudah memanggil majelis hakim yang diketuai Angeliky Handajani Day.

Dijelaskan, Ketua PN juga sudah memintai keterangan alasan kenapa memberikan pengalihan penahanan.

Pengalihan penahanan murni karena alasan kemanusiaan terdakwa sakit di tengah pandemi Covid-19.

Pengalihan penahanan diberikan karena adanya permohonan dari terdakwa. Terdakwa memberikan jaminan diri anaknya dan jaminan uang sekitar Rp 100 juta dititipkan kepada panitera.

“Selain itu juga ada keterangan dan rekomendasi dari medis, bahwa terdakwa memiliki penyakit asma dan diabetes, sehingga dikhawatirkan terdakwa rawan terpapar Covid-19,” terang Pasek.

Lebih lanjut dijelaskan, setelah diberikan pengalihan, terdakwa ternyata kooperatif. Saat jadwal sidang terdakwa datang.

Penahanan sendiri tujuannya untuk memperlancar persidangan. Penahanan bukan bentuk suatu hukuman. Hukuman diberikan ketika hakim menjatuhkan putusan.

“Kecuali gara-gara pengalihan penahanan persidangan menjadi macet, maka bisa ditinjau ulang. Pengalihan bisa diubah menjadi tahanan,” tuturnya.

Ditanya kasus ini menjadi perhatian publik dan bisa melukai perasaan publik, Pasek mengatakan memahami hal itu. “Tapi, percayalah proses mencari keadilan tetap berjalan. Persidangan akan terus lanjut,” tukasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, di hadapan majelis hakim yang diketuai Angeliky Handajani Day, jaksa penuntut umum (JPU)

Putu Gede Sugiartha dan IB Putu Swadharma Diputra menerangkan, terdakwa merupakan pemegang saham pengendali (PSP) PT. BPR Legian.

Terdakwa menggunakan dana milik PT. BPR Legian untuk kepentingan pribadi terdakwa dengan total transaksi sebesar Rp 23,1 miliar.

Terdakwa memerintahkan bawahannya mentransfer uang ke rekeningnya. Terdakwa yang namanya identik dengan tempat hiburan malam Sky Garden di Kuta, itu menggunakan uang BPR Legian untuk berbagai keperluan pribadi.

Misalnya untuk membeli mobil Toyota Alphard, pembelian mobil Mercy, pembelian veleg Mercy, pembelian mobil Porche, dan belanja kepentingan pribadi lainnya.

Selain transfer, pengeluaran juga berupa cek ke beberapa nama seperti anak terdakwa dan anggota keluarga lainnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/