DENPASAR – Rekaman CCTV di kantor Kejati Bali, di Jalan Tantular, Denpasar yang disita Polda Bali menunjukkan bahwa pistol yang dipakai Tri Nugraha untuk bunuh diri berasal dari tas miliknya. Tas itu memang dimasukkan ke dalam loker Kejati Bali. Namun, ketika Tri digiring ke mobil tahanan, dia minta izin ke toilet, dan meminta pengacaranya mengambilkan tas di loker.
Hal itu yang diungkap Polda Bali Rabu (2/9/2020). Direskrimum Polda Bali, Kombespol Dodi Rahmawan menyatakan, kasus bunuh diri mantan Kepala BPN Denpasar dan Badung, Tri Nugraha itu memang terekaman CCTV hanya sebagian. Tidak terlihat saat Tri menarik pelatuk senjata api dan menembakkan ke dada kirinya.
Namun, sebagian rekaman CCTV menunjukkan bahwa tas yang diduga berisi pistol yang dibawa Tri Nugraha ke Kejati Bali memang tidak digeledah saat dia masuk. Petugas dianggap lalai menerapkan SOP.
Dilanjutkan Dodi Rahmawan, bahwa memang benar jika kuasa hukum Tri Nugraha, Harmaini Hasibuan, lah yang membawa tas milik Tri Nugraha ke lantai dua dari loker sebelum adanya kejadian penembakan bunuh diri tersebut.
Jadi di dalam tas itulah diduga tersimpan senjata api ilegal yang akhirnya dipakai Tri Nugraha untuk menembak dada kirinya di toilet Kejaksaan Tinggi Bali
“Hasil pemeriksaan analisa CCTV yang ada di lantai dua di ruang lobi, menemukan bahwa benar penasihat hukum yang mengambil tasnya dan tidak dilakukan pemeriksaan badan atau barang yang dibawa pada saat tersangka minta diambil tasnya di loker. Di sini dilakukan penyelidikan bahwa diduga tersangka memang membawa Senpi dalam tas miliknya,” beber kombes Dodi.
Terkait adanya dugaan unsur kelalaian SOP yang dilakukan petugas periksa Kejaksaan Tinggi Bali, Wakajati Bali, Asep Maryono mengatakan bahwa hal itu akan dikoordinasikan di pihak internal. Dan hari, Rabu (2/9) tim dari Kejagung juga mendatangi Kejati Bali untuk menyelidiki hal itu.
“Hari ni dilakukan pemeriksaan yang dilakukan Pengawasan Pemeriksaan Kejagung,” kata Maryono.
Seperti diberitakan sebelumnya, Senin (31/8/2020) adalah kali kesekian Tri menjalani pemeriksaan di Kejati Bali setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Tri Nugraha datang ke Kantor Kejaksaan Tinggi Bali sekitar pukul 10.00 Wita dan sesuai prosedur seluruh barang-barang tamu harus diletakkan dalam loker. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka.
Setelah diperiksa beberapa jam, siang harinya dia izin pamit. Alasannya untuk salat dan makan siang. Saat itu, Tri memang belum berstatus tahanan. Ia masih bebas.
Ternyata, sampai Pukul 15.00, Tri tak kunjung kembali ke Kantor Kejati Bali, di Jalan Tantular, Denpasar. Maka, penyidik Kejati Bali pun mencari keberadaannya. Dan didapat informasi bahwa Tri Nugraha berada di rumahnya, di Jalan Gunung Talang, Padangsambian, Denpasar Barat.
Kemudian tim penyidik datang ke sana bersama dua pejabat Kejaksaan Tinggi Bali. Dan benar saja, Tri ada di rumahnya. Ia dibawa ke Kantor Kejaksaan Tinggi Bali. Ia juga membawa tas kecil, yang kemudian diketahui berisi senjata api. Senjata ini ditembakkan ke dadanya sendiri di toilet Kantor Kejati Bali Senin malam.
Tri Nugraha memang disangka menerima gratifikasi (hadiah) selama menjadi pejabat publik. Ia sempat menjadi kepala BPN Denpasar dan badung. Sebagai pejabat publik, harga kekayaannya juga dianggap tidak wajar, dia memiliki tanah 250 hektare di Lubuk Linggau, Sumsel, kemudian 12 kendaraan mewah, sepeda motor Harley dan Ducati dan aset berupa rumah dan lainnya di beberapa daerah.
Itu diketahui setelah ia menjadi saksi dalam perkara penipuan dan TPPU yang dilakukan mantan gubernur Bali Ketut Sudikerta. Dalam perkara Sudikerta yang menipu bos Maspion itu, peran Tri adalah membuatkan sertifikat tanah yang ternyata milik orang lain. Imbalan atas “jasanya” itu Tri mendapat uang miliaran rupiah. Itu pula yang membuka jalan Tri dibidik Kejati Bali dalam kasus gratifikasi dan TPPU lainnya.
Namun, sebelum kasus ini bergulir ke pengadilan, Tri Nugraha menembak dada kirinya di toilet Kejati Bali. Hingga tewas. Itu sesaat sebelum ia dibawa ke Lapas Kerobokan untuk menjadi tahanan kejaksaan.