28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 6:05 AM WIB

Buah Hati Direbut Suami, Rengut Hak Istri, Ini Respon Kementerian PPPA

DENPASAR – Surat pengaduan yang dilayangkan pengacara Siti Sapurah akhirnya ditanggapi Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Sebelumnya, pengacara yang akrab disapa Ipung ini mengirimkan surat pengaduan terkait hak asuh anak yang kini dihadapi kliennya.

Dalam surat tanggapan yang diterima Ipung, Kementerian PPPA menyatakan bahwa sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990

tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak), setiap anak berhak mendapatkan pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan, penganiayaan dan penganiayaan. 

Perihal surat pengaduan yang dilayangkan Ipung, Kementerian PPPA melalui Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak bersama dengan Dinas Sosial,

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Bali serta P2TP2A Kota Denpasar saat ini sedang melakukan koordinasi.

Itu dilakukan untuk menentukan langkah yang diambil berikutnya. “Tengah berkoordinasi dan terus mengawal kasus ini untuk memastikan bahwa anak aman dari segala bentuk

perlakuan salah dan mengupayakan terpenuhi hak-haknya demi kepentingan terbaik bagi anak,” tulis Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA dalam surat tanggapan yang diterima Ipung.

Dalam surat itu juga tertera bahwa  Kementerian PPPA telah bersurat ke Bareskrim Polri terkait permohonan pendampingan kasus dugaan perebutan hak asuh anak di Bali oleh Polda Bali.

“Bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam kasus ini hendaknya mengedepankan pemenuhan hak-hak anak demi kepentingan terbaik bagi anak,” lanjut Nahar dalam surat itu. 

Diberitakan sebelumnya, Ipung mengirimkan surat aduan kepada kementrian PPPA. Surat aduan itu terkait dengan kliennya bernama Ayu PD, 26 yang mendapatkan perlakuan kekerasan dari suaminya berinisial Kadek Agus D, 25.

Tidak hanya menganiaya, keluarga sang suami juga kini mengambil buah hati mereka dan tidak membolehkan Ayu PD untuk menemuinya sejak akhir tahun 2020 lalu. 

Kejadian itu bermula pada Oktober 2019 lalu. Saat itu, karena rasa cinta, Ayu PD memutuskan menikah dengan Kadek Agus D.

Pernikahan itu dilakukan secara adat Bali. Pasalnya keduanya bertarbelakang agama berbeda. Dimana Ayu beragama Budha, sedangkan Kadek beragama Hindu. 

Di awal pernikahan, semuanya berjalan baik. Ayu bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga, sedangkan sang suami tidak bekerja.

Hingga akhirnya, Ayu masuk ke fase hamil besar. Kadek Agus mulai menunjukan sisi kasarnya. “Pas hamil besar mulai ada kekerasan. Saya sering ditinggal malam-malam untik mabuk dan judi. 

Saya didorong diusir dari rumah gara-gara saya nggak mau diajak ke kampungnya. Karena saat itu saya sering kontraksi,” ujar Ayu di Denpasar beberapa waktu lalu.

 

Lalu saat buah hati pertama mereka lahir tepat di usianya 7 bulan, Ayu masih mendapatkan perlakuan keras dari suami.

Puncaknya Oktober tahun 2020, Ayu memutuskan keluar dari rumah sang suami di jalan Ahmad Yani, Denpasar karena tidak tahan dengan aksi kekerasan yang secara berulang dialaminya.

Ayu kembali ke rumah orang tuanya di Luk-luk Badung. Ayu sempat melapor ke Polresta Denpasar atas kasus penganiayaan oleh sang suami.

Ayu sempat kembali ke rumah sang suami untuk mengambil barang-barang pribadinya. Didampingi polisi, Ayu berangkat ke rumah sang suami.

Setibanya di sana, ternyata semua barang pribadinya telah disimpan di luar rumah dan dikemas menggunakan kantong kresek. Tidak cukup sampai di situ, Ayu tidak diijinkan bertemu dengan buah hatinya. 

Bahkan, dia menceritakan jika ayah dari suaminya melarang dia untuk bertemu sang buah hati. “Saat saya ingin bertemu, mereka selalu beralasan sedang berada di Karangasem,” terang Ayu.

Kasusnya pun mulai masuk ke babak baru. Dia lalu meminta Siti Sapura sebagai pendamping hukumnya.

Sementara itu, Siti Sapurah menerangkan, jika saat ini dirinya sedang berjuang mengembalikan hak asuh anak kepada kliennya, Ayu.

Dijelaskan Siti Sapura, bahwa terkait hak asuh anak, pihaknya telah membuat laporan ke Polresta Denpasar dan Polda Bali. 

“Korban mengalami kekerasan kesekian kalinya karena klien saya ingin menyelamatkan nyawanya dia keluar dari rumah tanpa membawa bayinya saat itu berusia 7 bulan.

Dia melapor ke Unit PPA Polrest Denpasar. Ditanya ada surat nikah. Klien bilang tidak ada. Lalu beralih ke pidana umum. Dan kini sudah dalam bentuk LP. Namun, hingga saat ini pelaku belum ditahan,” beber Siti Sapura. 

Kemudian kasus ini dilaporkan ke Polda Bali. Dilaporkan dengan pasal 330 KUHP berjalan laporan pada Desember 2020.

Tidak hanya ke ranah hukum, Siti Sapura juga telah meminta pendapat ahli hukum adat, Prof Windia, guru besar Unud terkait nikah adat yang telah dilakukan antara Ayu dan Kadek Agus. 

“Di sana dengan terang benderang prof Windia memaparkan jelas, itu sah secara perkawinan adat. Tetapi setelah ada Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 74 dan perubahanannya

Nomor 16 Tahun 2019 itu tidak mungkin dianggap sah secara nasional. Harus taat secara Undang-undang Perkawinan Nasional.

Di mana perkawinan dianggap sah jika secara undang-undang nasional dan mendapatkan kartu keluarga secara sah.

Sementara ini (perkawinan sah secara nasional) tidak dilakukan. Artinya seorang anak berhak atas ibu kandungnya. Itu salah satu syarat perkawinan yang sah,” urainya.

Namun faktanya sekarang, Ayu tidak diperbolehkan untuk menemui anaknya sendiri. Parahnya lagi, sosok yang paling gentol melakukan penolakan itu adalah ayah dari suaminya.

Hingga akhirnya, sekarang Ipung berharap agar pihak kepolisian bisa bekerja secara cepat dan adil demi masa depan anak. 

DENPASAR – Surat pengaduan yang dilayangkan pengacara Siti Sapurah akhirnya ditanggapi Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Sebelumnya, pengacara yang akrab disapa Ipung ini mengirimkan surat pengaduan terkait hak asuh anak yang kini dihadapi kliennya.

Dalam surat tanggapan yang diterima Ipung, Kementerian PPPA menyatakan bahwa sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990

tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak), setiap anak berhak mendapatkan pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan, penganiayaan dan penganiayaan. 

Perihal surat pengaduan yang dilayangkan Ipung, Kementerian PPPA melalui Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak bersama dengan Dinas Sosial,

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Bali serta P2TP2A Kota Denpasar saat ini sedang melakukan koordinasi.

Itu dilakukan untuk menentukan langkah yang diambil berikutnya. “Tengah berkoordinasi dan terus mengawal kasus ini untuk memastikan bahwa anak aman dari segala bentuk

perlakuan salah dan mengupayakan terpenuhi hak-haknya demi kepentingan terbaik bagi anak,” tulis Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA dalam surat tanggapan yang diterima Ipung.

Dalam surat itu juga tertera bahwa  Kementerian PPPA telah bersurat ke Bareskrim Polri terkait permohonan pendampingan kasus dugaan perebutan hak asuh anak di Bali oleh Polda Bali.

“Bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam kasus ini hendaknya mengedepankan pemenuhan hak-hak anak demi kepentingan terbaik bagi anak,” lanjut Nahar dalam surat itu. 

Diberitakan sebelumnya, Ipung mengirimkan surat aduan kepada kementrian PPPA. Surat aduan itu terkait dengan kliennya bernama Ayu PD, 26 yang mendapatkan perlakuan kekerasan dari suaminya berinisial Kadek Agus D, 25.

Tidak hanya menganiaya, keluarga sang suami juga kini mengambil buah hati mereka dan tidak membolehkan Ayu PD untuk menemuinya sejak akhir tahun 2020 lalu. 

Kejadian itu bermula pada Oktober 2019 lalu. Saat itu, karena rasa cinta, Ayu PD memutuskan menikah dengan Kadek Agus D.

Pernikahan itu dilakukan secara adat Bali. Pasalnya keduanya bertarbelakang agama berbeda. Dimana Ayu beragama Budha, sedangkan Kadek beragama Hindu. 

Di awal pernikahan, semuanya berjalan baik. Ayu bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga, sedangkan sang suami tidak bekerja.

Hingga akhirnya, Ayu masuk ke fase hamil besar. Kadek Agus mulai menunjukan sisi kasarnya. “Pas hamil besar mulai ada kekerasan. Saya sering ditinggal malam-malam untik mabuk dan judi. 

Saya didorong diusir dari rumah gara-gara saya nggak mau diajak ke kampungnya. Karena saat itu saya sering kontraksi,” ujar Ayu di Denpasar beberapa waktu lalu.

 

Lalu saat buah hati pertama mereka lahir tepat di usianya 7 bulan, Ayu masih mendapatkan perlakuan keras dari suami.

Puncaknya Oktober tahun 2020, Ayu memutuskan keluar dari rumah sang suami di jalan Ahmad Yani, Denpasar karena tidak tahan dengan aksi kekerasan yang secara berulang dialaminya.

Ayu kembali ke rumah orang tuanya di Luk-luk Badung. Ayu sempat melapor ke Polresta Denpasar atas kasus penganiayaan oleh sang suami.

Ayu sempat kembali ke rumah sang suami untuk mengambil barang-barang pribadinya. Didampingi polisi, Ayu berangkat ke rumah sang suami.

Setibanya di sana, ternyata semua barang pribadinya telah disimpan di luar rumah dan dikemas menggunakan kantong kresek. Tidak cukup sampai di situ, Ayu tidak diijinkan bertemu dengan buah hatinya. 

Bahkan, dia menceritakan jika ayah dari suaminya melarang dia untuk bertemu sang buah hati. “Saat saya ingin bertemu, mereka selalu beralasan sedang berada di Karangasem,” terang Ayu.

Kasusnya pun mulai masuk ke babak baru. Dia lalu meminta Siti Sapura sebagai pendamping hukumnya.

Sementara itu, Siti Sapurah menerangkan, jika saat ini dirinya sedang berjuang mengembalikan hak asuh anak kepada kliennya, Ayu.

Dijelaskan Siti Sapura, bahwa terkait hak asuh anak, pihaknya telah membuat laporan ke Polresta Denpasar dan Polda Bali. 

“Korban mengalami kekerasan kesekian kalinya karena klien saya ingin menyelamatkan nyawanya dia keluar dari rumah tanpa membawa bayinya saat itu berusia 7 bulan.

Dia melapor ke Unit PPA Polrest Denpasar. Ditanya ada surat nikah. Klien bilang tidak ada. Lalu beralih ke pidana umum. Dan kini sudah dalam bentuk LP. Namun, hingga saat ini pelaku belum ditahan,” beber Siti Sapura. 

Kemudian kasus ini dilaporkan ke Polda Bali. Dilaporkan dengan pasal 330 KUHP berjalan laporan pada Desember 2020.

Tidak hanya ke ranah hukum, Siti Sapura juga telah meminta pendapat ahli hukum adat, Prof Windia, guru besar Unud terkait nikah adat yang telah dilakukan antara Ayu dan Kadek Agus. 

“Di sana dengan terang benderang prof Windia memaparkan jelas, itu sah secara perkawinan adat. Tetapi setelah ada Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 74 dan perubahanannya

Nomor 16 Tahun 2019 itu tidak mungkin dianggap sah secara nasional. Harus taat secara Undang-undang Perkawinan Nasional.

Di mana perkawinan dianggap sah jika secara undang-undang nasional dan mendapatkan kartu keluarga secara sah.

Sementara ini (perkawinan sah secara nasional) tidak dilakukan. Artinya seorang anak berhak atas ibu kandungnya. Itu salah satu syarat perkawinan yang sah,” urainya.

Namun faktanya sekarang, Ayu tidak diperbolehkan untuk menemui anaknya sendiri. Parahnya lagi, sosok yang paling gentol melakukan penolakan itu adalah ayah dari suaminya.

Hingga akhirnya, sekarang Ipung berharap agar pihak kepolisian bisa bekerja secara cepat dan adil demi masa depan anak. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/