DENPASAR – Ni Luh Putu Septyan Parmadani, 33, yang tega membunuh tiga anak kandungnya Rabu (21/2) lalu masih menjadi bahan pembicaraan public.
Apalagi, bagi kalangan psikolog. Menurut kalangan psikolog, kasus yang menerpa Septyan cukup sering terjadi di Bali. Hal ini akibat dampak persilangan budaya.
“Dari riset artikel saya terkait bunuh diri ibu dan anak, sering kali ibu membawa anaknya untuk ikut serta bunuh diri itu atas dasar cinta.
Artinya, dia (Si Ibu) tidak mau membayangkan anaknya akan menderita jika dirinya sudah tidak ada,” ujar dr. Yessy Crosita,
Konsultan Center For Publik Health Innovation (CPHL) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana usai jadi pembicara di Taman Baca, Kesiman, Denpasar.
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini menambahkan, karena cinta pula, pelaku lalu mengajak anak-anaknya untuk bunuh diri.
“Daripada nanti mereka menderita, ibunya mengajak anaknya bunuh diri. Biasanya begitu, meski saya tak tahu persis (kasus Septyan), tetapi mungkin psikodinamika nya serupa,” terangnya.
Untuk itu, Yessy menyarankan sebelum dilakukan hukum pidana kepada pelaku tersebut, persoalan gangguan jiwa yang sedang diderita pelaku harus diatasi terlebih dahulu.
“Harus ada pemulihan jiwa terlebih dahulu sebelum dilakukan proses Pidana,” tegasnya. Kasus bunuh diri di Bali memang cukup tinggi.
Untuk itu, Yessy mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap masalah kesehatan jiwa, karena sebagian besar kasus terkait bunuh diri memiliki diagnosa psikiatri.
Banyak kasus gangguan jiwa yang juga tidak ketahuan, Misalnya rasa putus asa yang berkepanjangan, sedih, tidak mampu merawat diri dan sebagainya.
Hal-hal semacam tersebut justru menjadi latar belakang dari bunuh diri.