26.7 C
Jakarta
27 April 2024, 9:09 AM WIB

Sidang Lanjutan Kasus Korupsi DID Tabanan

Mimih! Terdakwa Wiratmaja Stafsus Rasa Bupati, Sering Tampil Beri Arahan OPD

DENPASAR– Meski hanya sebagai staf khusus (stafsus) mantan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti dan tidak masuk dalam struktural organisasi Pemkab Tabanan, terdakwa I Dewa Nyoman Wiratmaja memiliki peran yang luar biasa besar.

 

Dalam beberapa kesempatan, dosen Unud itu mewakili mantan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti memberikan arahan. Tidak tanggung-tanggung, yang diberikan arahan adalah para pejabat organisasi perangkat daerah (OPD) Pemkab Tabanan.

 

Hal itu terungkap dalam keterangan para saksi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis (7/7). Dalam sidang pembuktian dugaan korupsi DID Tabanan 2018 itu, jaksa dari KPK menghadirkan lima orang saksi.

 

Saksi pertama adalah I Made Sumerta Yasa, mantan Kabag Umum Setda Kabupaten Tabanan yang saat ini menjabat Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP). “Setahu saya beliau (terdakwa) orang dekat bupati Eka Wiryastuti,” ujar Sumerta saat ditanya jaksa KPK di muka majelis hakim yang diketuai I Nyoman Wiguna.

 

Kedekatan terdakwa itu bisa dilihat dari seringnya mendampingi Eka Wiryastuti dalam rapat-rapat dinas maupun acara informal. TerdakwaWiratmaja juga sering terlihat di rumah pribadi Eka di Banjar Tegeh, Baturiti. Ini karena keduanya masih memiliki hubungan kekerabatan.

 

“Kadang mewakili bupati jika tidak hadir rapat dalam OPD. Pak Dewa yang memberi arahan pada OPD,” imbuhnya.

 

Saat jaksa menanyakan faktor yang membuat terdakwa begitu dekat dengan Eka, Sumerta mengaku tdiak tahu alasannya. Sebagai stafsus, terdakwa tidak punya kantor. Terdakwa mobile alias bergerak terus. “Kadang saya ketemu di sekpri, kadang di rumah jabatan bupati,” tukasnya.

 

Jaksa lantas menanyakan apakah terdakwa pernah mendampingi bupati keluar kota, Sumerta mengatakan pernah. Pendampingan dilakukan atas surat perintah tugas (SPT) bupati. Salah satunya mendampingi bupati ke Jogjakarta saat melakukan bedah buku investasi hati karya Eka Wiryastuti.

 

“Lho, bedah buku itu kan kegiatan sifatnya personal, tapi kenapa dibiayai bupati?” cecar jaksa. Sumerta mengatakan dirinya sebagai Kabag Umum hanya menjalankan tugas berdasarkan SPT bupati. Ketika ada SPT, maka Sumerta akan mencairkan dana untuk operasional maupun perjalanan dinas.

 

“Termasuk terdakwa ke Jakarta ke kementerian keuangan berdasarkan SPT?” kejar jaksa KPK. “Iya,” jawab Sumerta.

 

Biaya operasional Bupati Tabanan saat itu selama satu tahun Rp 180 juta. Sedangkan biaya operasional wakil bupati Rp 120 juta. Di luar itu ada anggaran lain yaitu perjalanan dinas, anggaran makan dan minum, dan anggaran lainnya.

 

Bagian Umum juga menyediakan cadangan uang cash Rp 500 juta jika ada keperluan mendadak untuk Setda Tabanan. Uang itu biasanya dipakai panjar atau menalangi perjalanan dinas dan uang saku.

 

Pada 2017 Sumerta pernah mendengar Tabanan mengajukan dana DID. Pihaknya menyiapkan keperluan tiket dan hotel untuk perjalanan sesuai perintah bupati. “Pak Dewa minta dana panjar ke BPK, setelah itu uangnya dikembalikan,” ungkapnya.

 

Pengakuan saksi ini mengindikasikan pengeluaran dan pertanggungjawaban anggaran di Setda Tabanan tidak tertib. Asal ada perintah bupati dana bisa dicairkan.

 

Tidak tertibnya administrasi itu juga sempat menjadi temuan Inspektorat Provinsi Bali. Seharusnya yang meneken SPT adalah sekda, bukan bupati.

 

Pengakuan menarik juga disampaikan saksi I Ketut Suwita (mantan ajudan Bupati Eka). Dikatakan Suwita, dirinya adalah pegawai bagian administrasi di Badan Keuangan Daerah, tapi diperbantukan menjadi ajudan bupati.

 

Sebagai ajudan tugasnya menginformasikan kesiapan kondisi di lapangan dan koordinasi dengan penyelenggara acara. Suwita juga kerap mengikuti kegiatan bupati. Termasuk menyiapkan makan dan kebutuhan pribadi bupati.

 

“Saya pernah melihat Pak Dewa di rumah pribadi bupati. Setahu saya ada hubungan keluarga, kakak orangtuanya bupati bersaudara dengan Pak Dewa,” tuturnya.

 

Suwita mengaku pernah diperintah Eka untuk mengirim surat permohonan DID kepada terdakwa. Surat itu diberi atensi khusus dan langsung diteken Eka.

 

“Dari mana Anda tahu surat itu tentang DID?” tanya jaksa KPK. “Saya lihat judul suratnya ada tulisan DID. Kalau isinya tidak paham, saya hanya lihat judulnya saja,” jelasnya.

 

Sementara saksi lain adalah asisten rumah tangga Eka. Saksi menjelaskan Eka langganan travel Bali Daksina untuk membeli tiket pesawat keluar kota.

 

Saksi juga kerap diperintahkan menukar mata uang asing ke Central Parkir Kuta. “Biasanya kalau ibu Eka mau holiday, saya menukar uangnya ke Kuta. Kalau liburnya ke Jepang, saya tukar rupiah menjadi Yen,” tuturnya.

 

Kesaksian tak kalah menarik disampaikan saksi I Made Sujana Erawan, mantan Kepala Balitbang Karangasem. Erawan mengaku kenal dengan terdakwa Dewa Wiratmaja setelah dikenalkan Bupati Karangasem  Gusti Mas Ayu Sumatri.

 

Terdakwa disebut sebagai dosen Unud yang bisa membantu penyempurnaan RPJMD Karangasem. “Pak Dewa cerita baru datang dari Jakarta mengurus dana DID Tabanan dengan cara mengajukan proposal,” terang Erawan.

 

Saksi Erawan menyanggah terdakwa dengan menyebut untuk mendapat DID tidak perlu mengajukan proposal. “Terdakwa bilang harus ada proposal. Harus diurus di Kementerian Keuangan, katanya ada Pak Yaya (Purnomo) yang merangking,” imbuhnya.

 

Saksi mengaku bersama pejabat lain pernah mendampingi bupati Mas Sumatri ke Jakarta bertemu dengan seseorang yang posturnya mirip Yaya Purnomo. Mas Sumatri curhat kalau Karangasem kabupaten miskin dan perlu dibantu. Respons orang mirip Yaya itu akan menyampaikan pada atasan. (san)

 

 

DENPASAR– Meski hanya sebagai staf khusus (stafsus) mantan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti dan tidak masuk dalam struktural organisasi Pemkab Tabanan, terdakwa I Dewa Nyoman Wiratmaja memiliki peran yang luar biasa besar.

 

Dalam beberapa kesempatan, dosen Unud itu mewakili mantan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti memberikan arahan. Tidak tanggung-tanggung, yang diberikan arahan adalah para pejabat organisasi perangkat daerah (OPD) Pemkab Tabanan.

 

Hal itu terungkap dalam keterangan para saksi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis (7/7). Dalam sidang pembuktian dugaan korupsi DID Tabanan 2018 itu, jaksa dari KPK menghadirkan lima orang saksi.

 

Saksi pertama adalah I Made Sumerta Yasa, mantan Kabag Umum Setda Kabupaten Tabanan yang saat ini menjabat Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP). “Setahu saya beliau (terdakwa) orang dekat bupati Eka Wiryastuti,” ujar Sumerta saat ditanya jaksa KPK di muka majelis hakim yang diketuai I Nyoman Wiguna.

 

Kedekatan terdakwa itu bisa dilihat dari seringnya mendampingi Eka Wiryastuti dalam rapat-rapat dinas maupun acara informal. TerdakwaWiratmaja juga sering terlihat di rumah pribadi Eka di Banjar Tegeh, Baturiti. Ini karena keduanya masih memiliki hubungan kekerabatan.

 

“Kadang mewakili bupati jika tidak hadir rapat dalam OPD. Pak Dewa yang memberi arahan pada OPD,” imbuhnya.

 

Saat jaksa menanyakan faktor yang membuat terdakwa begitu dekat dengan Eka, Sumerta mengaku tdiak tahu alasannya. Sebagai stafsus, terdakwa tidak punya kantor. Terdakwa mobile alias bergerak terus. “Kadang saya ketemu di sekpri, kadang di rumah jabatan bupati,” tukasnya.

 

Jaksa lantas menanyakan apakah terdakwa pernah mendampingi bupati keluar kota, Sumerta mengatakan pernah. Pendampingan dilakukan atas surat perintah tugas (SPT) bupati. Salah satunya mendampingi bupati ke Jogjakarta saat melakukan bedah buku investasi hati karya Eka Wiryastuti.

 

“Lho, bedah buku itu kan kegiatan sifatnya personal, tapi kenapa dibiayai bupati?” cecar jaksa. Sumerta mengatakan dirinya sebagai Kabag Umum hanya menjalankan tugas berdasarkan SPT bupati. Ketika ada SPT, maka Sumerta akan mencairkan dana untuk operasional maupun perjalanan dinas.

 

“Termasuk terdakwa ke Jakarta ke kementerian keuangan berdasarkan SPT?” kejar jaksa KPK. “Iya,” jawab Sumerta.

 

Biaya operasional Bupati Tabanan saat itu selama satu tahun Rp 180 juta. Sedangkan biaya operasional wakil bupati Rp 120 juta. Di luar itu ada anggaran lain yaitu perjalanan dinas, anggaran makan dan minum, dan anggaran lainnya.

 

Bagian Umum juga menyediakan cadangan uang cash Rp 500 juta jika ada keperluan mendadak untuk Setda Tabanan. Uang itu biasanya dipakai panjar atau menalangi perjalanan dinas dan uang saku.

 

Pada 2017 Sumerta pernah mendengar Tabanan mengajukan dana DID. Pihaknya menyiapkan keperluan tiket dan hotel untuk perjalanan sesuai perintah bupati. “Pak Dewa minta dana panjar ke BPK, setelah itu uangnya dikembalikan,” ungkapnya.

 

Pengakuan saksi ini mengindikasikan pengeluaran dan pertanggungjawaban anggaran di Setda Tabanan tidak tertib. Asal ada perintah bupati dana bisa dicairkan.

 

Tidak tertibnya administrasi itu juga sempat menjadi temuan Inspektorat Provinsi Bali. Seharusnya yang meneken SPT adalah sekda, bukan bupati.

 

Pengakuan menarik juga disampaikan saksi I Ketut Suwita (mantan ajudan Bupati Eka). Dikatakan Suwita, dirinya adalah pegawai bagian administrasi di Badan Keuangan Daerah, tapi diperbantukan menjadi ajudan bupati.

 

Sebagai ajudan tugasnya menginformasikan kesiapan kondisi di lapangan dan koordinasi dengan penyelenggara acara. Suwita juga kerap mengikuti kegiatan bupati. Termasuk menyiapkan makan dan kebutuhan pribadi bupati.

 

“Saya pernah melihat Pak Dewa di rumah pribadi bupati. Setahu saya ada hubungan keluarga, kakak orangtuanya bupati bersaudara dengan Pak Dewa,” tuturnya.

 

Suwita mengaku pernah diperintah Eka untuk mengirim surat permohonan DID kepada terdakwa. Surat itu diberi atensi khusus dan langsung diteken Eka.

 

“Dari mana Anda tahu surat itu tentang DID?” tanya jaksa KPK. “Saya lihat judul suratnya ada tulisan DID. Kalau isinya tidak paham, saya hanya lihat judulnya saja,” jelasnya.

 

Sementara saksi lain adalah asisten rumah tangga Eka. Saksi menjelaskan Eka langganan travel Bali Daksina untuk membeli tiket pesawat keluar kota.

 

Saksi juga kerap diperintahkan menukar mata uang asing ke Central Parkir Kuta. “Biasanya kalau ibu Eka mau holiday, saya menukar uangnya ke Kuta. Kalau liburnya ke Jepang, saya tukar rupiah menjadi Yen,” tuturnya.

 

Kesaksian tak kalah menarik disampaikan saksi I Made Sujana Erawan, mantan Kepala Balitbang Karangasem. Erawan mengaku kenal dengan terdakwa Dewa Wiratmaja setelah dikenalkan Bupati Karangasem  Gusti Mas Ayu Sumatri.

 

Terdakwa disebut sebagai dosen Unud yang bisa membantu penyempurnaan RPJMD Karangasem. “Pak Dewa cerita baru datang dari Jakarta mengurus dana DID Tabanan dengan cara mengajukan proposal,” terang Erawan.

 

Saksi Erawan menyanggah terdakwa dengan menyebut untuk mendapat DID tidak perlu mengajukan proposal. “Terdakwa bilang harus ada proposal. Harus diurus di Kementerian Keuangan, katanya ada Pak Yaya (Purnomo) yang merangking,” imbuhnya.

 

Saksi mengaku bersama pejabat lain pernah mendampingi bupati Mas Sumatri ke Jakarta bertemu dengan seseorang yang posturnya mirip Yaya Purnomo. Mas Sumatri curhat kalau Karangasem kabupaten miskin dan perlu dibantu. Respons orang mirip Yaya itu akan menyampaikan pada atasan. (san)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/