28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:45 AM WIB

RS BROS Disomasi, Ternyata Buntut Konflik Kakak Adik

RadarBali.com – Konflik internal menerpa Rumah Sakit Bali Royal Hospital (Bros) atau RS Bros di Jalan Letda Tantular Denpasar.

Rumah sakit itu disomasi dua pemilik saham karena adanya pengurangan jatah saham yang seharusnya diperoleh.

Tentu saja, hal ini harus menjadi perhatian karena bisa jadi berdampak pada pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.

Kuasa Hukum dua pemilik saham, I Gede Bagus Ananda Pratama, menyatakan bahwa pertama-tama somasi ini dilayangkan pihaknya karena ada kerugian yang dialami dengan berjalannya proses pelayanan publik di RS Swasta itu.

Sebab, RS Bros atau PT Putra Husada Jaya, didirikan melalui aset tanah seluas 4000 meter persegi dari tanah hibah milik kliennya.

Pendek kata, saat ini ada kebijakan pembagian saham yang tidak sesuai dengan perjanjian awal yang disepakati pada 2009 silam.

Singkatnya, tanah RS Bros itu ialah tanah atas hibah nomor 369/2009 tertanggal 29 Juli 2009 yang dibuat oleh notaris/ppat I Made Widiada SH.

Yang menghibahkan ialah Ida Bagus Alit Wildiarta kepada tiga anaknya, yakni Ida Bagus Ary Wibawa, Ida Bagus Indrajaya dan Ida Bagus Putra Budi Sanjaya.

Dengan peruntukkan HGB (Hak Guna Bangunan) selama 30 tahun, dengan taksiran sewa mencapai Rp 10,1 miliar.

“Nah klien kami ialah Ida Bagus Ari Wibawa dan Ida Bagus Putra Budi. Sedangkan adiknya Ida Bagus Indrajaya sebagai perwakilan PT Putra Husada Jaya. Ketiganya mendapat bagian sekitar Rp 3,3 miliar dari aset yang ditaksir. Dan, itu berbentuk saham di RS Bros,” ucapnya.

Lantas dengan begitu, konflik di antara satu keluarga itu menyeruak. Pembagian saham diklaim oleh kedua kliennya bahwa tidak adil.

Dari nilai Rp 3,3 miliar itu di tahun 2011 hanya mendapat saham dengan nominal Rp 1 miliar. Kemudian naik di dua tahun kemudian yakni tahun 2013 menjadi Rp 2 miliar.

Yang membuat geram, adalah tidak ada itikad baik dari pihak RS Bros yang memberikan dokumen resmi terkait dengan persoalan tanah yang dijaminkan tersebut.

Akses keduanya untuk mengetahui keberadaan sertifikat tanah pun ditutup.  Jelas Ananda, saham sendiri diberikan kepada kliennya, karena kliennya tidak memiliki uang.

Hanya memiliki tanah hibah dari orang tuanya. Sehingga, tanah hibah yang ditaksir mencapai angka Rp 10,1 miliar itu tadi dijadikan aset atau saham di RS Bros.

Sayangnya nilai taksiran Rp 10,1 miliar dengan pembagian per orang Rp 3,3 miliar itu tidak sesuai dengan kesepakatan awal.

Saham dengan taksiran nilai Rp 3,3 miliar itu hanya diberikan nilai sebesar Rp 2 miliar.”Pada dasarnya ini berawal dari konflik keluarga. Namun tidak ada itikhad baik di antara adik kakak. Klien kami adalah kakaknya, dan adiknya itu merangkap sebagai Dirut di RS Bros. Lantas dengan itu, tidak ada kejelasan mengenai dokumen tanah yang dijaminkan itu. Padahal, hibah sendiri sudah jelas kepada ketiga anak dari pemilik tanah,” ungkapnya.

Disinggung apakah dengan somasi tidak akan berdampak pada pelayanan kesehatan atau publik di RS itu? Ananda mengaku bahwa tidak ada niatan untuk menganggu pelayanan kesehatan.

Hanya saja, tidak ada pilihan selain somasi. Pasalnya segala upaya kekeluargaan tidak mendapat tanggapan baik.

Ananda menyebut alasan-alasan prosedural yang tidak masuk akal malah disampaikan pihak RS Bros.

“Saat ini sudah ada 85 pemilik saham. Tapi klien kami tidak diberikan haknya. Intinya jalur ini dengan formal kami lakukan karena tidak ada tanggapan serius. Klien kami hanya meminta hak-haknya (saham) dipulihkan. Yang Rp 3,3 miliar tadi. Jadi bukan saham Rp 2 miliar,” bebernya.

Kepala Dinas Provinsi Bali Ketut Suarjaya menyatakan persoalan internal diselesaikan dengan sebaik-baiknya di internal. Persoalan internal tidak sampai menganggu persoalan pelayanan.

Sebab, dalam rumah sakit itu memang yang terpenting ialah sosial pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Bukan hanya menyangkut persoalan finansial saja.

Bila persoalan saham atau finansial yang menjadi somasi dilakukan, seharusnya yayasan dan siapa pun yang terlibat bisa menyelesaikan di internal.

“Kami tetap akan memantau dan mengawasi dengan adanya informasi ini (somasi). Pasti akan ada pembinaan dan teguran ketika ada pelayanan kesehatan yang terabaikan. Kami yakin manajemen tidak akan melakukan hal itu (abai layanan kesehatan red),” tegasnya.

RadarBali.com – Konflik internal menerpa Rumah Sakit Bali Royal Hospital (Bros) atau RS Bros di Jalan Letda Tantular Denpasar.

Rumah sakit itu disomasi dua pemilik saham karena adanya pengurangan jatah saham yang seharusnya diperoleh.

Tentu saja, hal ini harus menjadi perhatian karena bisa jadi berdampak pada pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.

Kuasa Hukum dua pemilik saham, I Gede Bagus Ananda Pratama, menyatakan bahwa pertama-tama somasi ini dilayangkan pihaknya karena ada kerugian yang dialami dengan berjalannya proses pelayanan publik di RS Swasta itu.

Sebab, RS Bros atau PT Putra Husada Jaya, didirikan melalui aset tanah seluas 4000 meter persegi dari tanah hibah milik kliennya.

Pendek kata, saat ini ada kebijakan pembagian saham yang tidak sesuai dengan perjanjian awal yang disepakati pada 2009 silam.

Singkatnya, tanah RS Bros itu ialah tanah atas hibah nomor 369/2009 tertanggal 29 Juli 2009 yang dibuat oleh notaris/ppat I Made Widiada SH.

Yang menghibahkan ialah Ida Bagus Alit Wildiarta kepada tiga anaknya, yakni Ida Bagus Ary Wibawa, Ida Bagus Indrajaya dan Ida Bagus Putra Budi Sanjaya.

Dengan peruntukkan HGB (Hak Guna Bangunan) selama 30 tahun, dengan taksiran sewa mencapai Rp 10,1 miliar.

“Nah klien kami ialah Ida Bagus Ari Wibawa dan Ida Bagus Putra Budi. Sedangkan adiknya Ida Bagus Indrajaya sebagai perwakilan PT Putra Husada Jaya. Ketiganya mendapat bagian sekitar Rp 3,3 miliar dari aset yang ditaksir. Dan, itu berbentuk saham di RS Bros,” ucapnya.

Lantas dengan begitu, konflik di antara satu keluarga itu menyeruak. Pembagian saham diklaim oleh kedua kliennya bahwa tidak adil.

Dari nilai Rp 3,3 miliar itu di tahun 2011 hanya mendapat saham dengan nominal Rp 1 miliar. Kemudian naik di dua tahun kemudian yakni tahun 2013 menjadi Rp 2 miliar.

Yang membuat geram, adalah tidak ada itikad baik dari pihak RS Bros yang memberikan dokumen resmi terkait dengan persoalan tanah yang dijaminkan tersebut.

Akses keduanya untuk mengetahui keberadaan sertifikat tanah pun ditutup.  Jelas Ananda, saham sendiri diberikan kepada kliennya, karena kliennya tidak memiliki uang.

Hanya memiliki tanah hibah dari orang tuanya. Sehingga, tanah hibah yang ditaksir mencapai angka Rp 10,1 miliar itu tadi dijadikan aset atau saham di RS Bros.

Sayangnya nilai taksiran Rp 10,1 miliar dengan pembagian per orang Rp 3,3 miliar itu tidak sesuai dengan kesepakatan awal.

Saham dengan taksiran nilai Rp 3,3 miliar itu hanya diberikan nilai sebesar Rp 2 miliar.”Pada dasarnya ini berawal dari konflik keluarga. Namun tidak ada itikhad baik di antara adik kakak. Klien kami adalah kakaknya, dan adiknya itu merangkap sebagai Dirut di RS Bros. Lantas dengan itu, tidak ada kejelasan mengenai dokumen tanah yang dijaminkan itu. Padahal, hibah sendiri sudah jelas kepada ketiga anak dari pemilik tanah,” ungkapnya.

Disinggung apakah dengan somasi tidak akan berdampak pada pelayanan kesehatan atau publik di RS itu? Ananda mengaku bahwa tidak ada niatan untuk menganggu pelayanan kesehatan.

Hanya saja, tidak ada pilihan selain somasi. Pasalnya segala upaya kekeluargaan tidak mendapat tanggapan baik.

Ananda menyebut alasan-alasan prosedural yang tidak masuk akal malah disampaikan pihak RS Bros.

“Saat ini sudah ada 85 pemilik saham. Tapi klien kami tidak diberikan haknya. Intinya jalur ini dengan formal kami lakukan karena tidak ada tanggapan serius. Klien kami hanya meminta hak-haknya (saham) dipulihkan. Yang Rp 3,3 miliar tadi. Jadi bukan saham Rp 2 miliar,” bebernya.

Kepala Dinas Provinsi Bali Ketut Suarjaya menyatakan persoalan internal diselesaikan dengan sebaik-baiknya di internal. Persoalan internal tidak sampai menganggu persoalan pelayanan.

Sebab, dalam rumah sakit itu memang yang terpenting ialah sosial pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Bukan hanya menyangkut persoalan finansial saja.

Bila persoalan saham atau finansial yang menjadi somasi dilakukan, seharusnya yayasan dan siapa pun yang terlibat bisa menyelesaikan di internal.

“Kami tetap akan memantau dan mengawasi dengan adanya informasi ini (somasi). Pasti akan ada pembinaan dan teguran ketika ada pelayanan kesehatan yang terabaikan. Kami yakin manajemen tidak akan melakukan hal itu (abai layanan kesehatan red),” tegasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/