29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 0:43 AM WIB

Hanya Luka Gores Dangkal, Dua Dokter Sebut Korban Tak Perlu Dirawat

DENPASAR – Sidang dugaan penganiayaan oleh Ciaran Francis Caulfield, bule asal Irlandia kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (11/8).

Dalam yang dipimpin oleh Hakim Putu Gde Novyartha itu, dua dokter dihadirkan sebagai saksi. Keduanya yakni dr. I Made Gita Indra Yanthi dan dr. Dudut Rustyadi.

Kehadiran kedua dokter itu datang dengan kapasitasnya masing-masing di muka sidang. Dr. Ni Made Gita Indra Yanthi, dokter yang bekerja di RS Bhayangkara hadir sebagai saksi fakta. Sedangkan dr. Dudut hadir sebagai ahli forensik kedokteran. 

Di muka sidang, dr. I Made Gita Indra Yanthi menceritakan awal mula korban Ni Made Widyastuti Pramesti datang menemuinya di RS Bhayangkara.

Korban datang menemuinya pada tanggal 31 Desember 2019. “Dia (korban) datang dan menceritakan apa yang dialaminya. Setelah itu baru saya lakukan pemeriksaan,” ujar dr. I Made Gita di hadapan sidang.

Dijelaskannya bahwa dari pemeriksaannya saat itu, memang ditemukan beberapa luka lecet dan gores pada tubuh korban. Namun, tidak adanya pendarahan.

“Luka goresnya dangkal. Tidak menimbulkan pendarahan,” tambahnya. Lanjut dia, saat itu tidak ada permintaan penyidik untuk membuat visum.

Atas pengakuannya itu, dua saksi terdakwa, Jupiter Gul Lalwani dan Chandra Katharina Nutz langsung menimpali.

“Sepengetahuan saksi, kalau mau visum itu apakah ada surat atau diantar oleh penyidik atau datang begitu saja,” tanya kuasa hukum terdakwa, Jupiter Gul Lalwani yang dijawab saksi biasanya ada surat permintaan yang dibawa langsung oleh penyidik.

Namun, belum dijawab, saksi dr. I Made Gita Indra melanjutkan bahwa saat itu, korban memang mengalami memar di tangannya.

Atas pernyataan itu, pengacara terdakwa kembali melontarkan pertanyaan kepada saksi terkait apakah saksi mengetahui penyebab adanya memar pada tangan korban.

Saksi mengaku jika memar itu disebabkan kekerasan benda tumpul. Namun, saksi mengaku tidak mengetahui pasti kapan korban mengalami luka tersebut sebelum diperiksa.

“Saat dilakukan pemeriksaan, korban dalam kondisi baik-baik saja. Tekanan darah normal, luka memar kami oles dengan salep dan tidak kami beri obat. Itu karena tidak kami temukan indikasi bahwa korban harus menjalani rawat inap,” ungkap dr. Ni Made Gita. 

Sementara itu, Saksi ahli forensik dr. Dudut Rustyadi menjelaskan, bahwa luka memar warna merah dan yang masih timbul pada tangan korban

seperti dalam foto yang ditunjukkan oleh dokter pemeriksa dimuka sidang adalah luka dalam waktu kurang dari satu hari. 

Sedangkan luka memar berwana ungu biasanya berusia kurang lebih 3 sampai 4 hari. Saat ditanya mengenai kesimpulan dari hasil visum,

dr. Dudut menjawab bahwa tidak ada luka yang menyebabkan korban harus mendapatkan perawatan ataupun pengobatan.

Hal itu didukung dengan pernyataan dari saksi dr. I Made Gita yang mengaku tidak memberikan obat pada tubuh korban sat pemeriksaan. 

Pengakuan saksi itu kontradiktif dengan pernyataan suami korban yang sebelumnya memberi kesaksian bahwa dia membelikan betadine untuk luka korban.

Apalagi, dr. Dudut selaku saksi ahli forensik kedokteran ini mengatakan, jika melihat hasil visum korban, maka tidak diperlukan obat maupun tindakan rawat inap terhadap korban. 

“Luka memar dari hasil visum ini tidak diberikan obat. Sebab dalam kurun waktu kurang lebih 14 hari akan sembuh sendiri,” ungkap dr. Dudut. 

Di sisi lain, pengacara terdakwa, Chandra Katharina Nutz mengatakan, bahwa hadirnya saksi dokter yang memeriksa korban dan ahli forensik dalam kasus yang menjerat kliennya itu membuat posisi kasus ini semakin terang benderang. 

“Dengan hadirnya dokter pemeriksa dan saksi ahli forensik, perkara ini semakin terang benderang. Inilah pentingnya kehadiran mereka dalam persidangan

bagi kami dan terdakwa agar dalam fakta persidangan bisa terlihat bahwa banyak ketidakcocokan yang terjadi,” pungkas Nutz. 

DENPASAR – Sidang dugaan penganiayaan oleh Ciaran Francis Caulfield, bule asal Irlandia kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Selasa (11/8).

Dalam yang dipimpin oleh Hakim Putu Gde Novyartha itu, dua dokter dihadirkan sebagai saksi. Keduanya yakni dr. I Made Gita Indra Yanthi dan dr. Dudut Rustyadi.

Kehadiran kedua dokter itu datang dengan kapasitasnya masing-masing di muka sidang. Dr. Ni Made Gita Indra Yanthi, dokter yang bekerja di RS Bhayangkara hadir sebagai saksi fakta. Sedangkan dr. Dudut hadir sebagai ahli forensik kedokteran. 

Di muka sidang, dr. I Made Gita Indra Yanthi menceritakan awal mula korban Ni Made Widyastuti Pramesti datang menemuinya di RS Bhayangkara.

Korban datang menemuinya pada tanggal 31 Desember 2019. “Dia (korban) datang dan menceritakan apa yang dialaminya. Setelah itu baru saya lakukan pemeriksaan,” ujar dr. I Made Gita di hadapan sidang.

Dijelaskannya bahwa dari pemeriksaannya saat itu, memang ditemukan beberapa luka lecet dan gores pada tubuh korban. Namun, tidak adanya pendarahan.

“Luka goresnya dangkal. Tidak menimbulkan pendarahan,” tambahnya. Lanjut dia, saat itu tidak ada permintaan penyidik untuk membuat visum.

Atas pengakuannya itu, dua saksi terdakwa, Jupiter Gul Lalwani dan Chandra Katharina Nutz langsung menimpali.

“Sepengetahuan saksi, kalau mau visum itu apakah ada surat atau diantar oleh penyidik atau datang begitu saja,” tanya kuasa hukum terdakwa, Jupiter Gul Lalwani yang dijawab saksi biasanya ada surat permintaan yang dibawa langsung oleh penyidik.

Namun, belum dijawab, saksi dr. I Made Gita Indra melanjutkan bahwa saat itu, korban memang mengalami memar di tangannya.

Atas pernyataan itu, pengacara terdakwa kembali melontarkan pertanyaan kepada saksi terkait apakah saksi mengetahui penyebab adanya memar pada tangan korban.

Saksi mengaku jika memar itu disebabkan kekerasan benda tumpul. Namun, saksi mengaku tidak mengetahui pasti kapan korban mengalami luka tersebut sebelum diperiksa.

“Saat dilakukan pemeriksaan, korban dalam kondisi baik-baik saja. Tekanan darah normal, luka memar kami oles dengan salep dan tidak kami beri obat. Itu karena tidak kami temukan indikasi bahwa korban harus menjalani rawat inap,” ungkap dr. Ni Made Gita. 

Sementara itu, Saksi ahli forensik dr. Dudut Rustyadi menjelaskan, bahwa luka memar warna merah dan yang masih timbul pada tangan korban

seperti dalam foto yang ditunjukkan oleh dokter pemeriksa dimuka sidang adalah luka dalam waktu kurang dari satu hari. 

Sedangkan luka memar berwana ungu biasanya berusia kurang lebih 3 sampai 4 hari. Saat ditanya mengenai kesimpulan dari hasil visum,

dr. Dudut menjawab bahwa tidak ada luka yang menyebabkan korban harus mendapatkan perawatan ataupun pengobatan.

Hal itu didukung dengan pernyataan dari saksi dr. I Made Gita yang mengaku tidak memberikan obat pada tubuh korban sat pemeriksaan. 

Pengakuan saksi itu kontradiktif dengan pernyataan suami korban yang sebelumnya memberi kesaksian bahwa dia membelikan betadine untuk luka korban.

Apalagi, dr. Dudut selaku saksi ahli forensik kedokteran ini mengatakan, jika melihat hasil visum korban, maka tidak diperlukan obat maupun tindakan rawat inap terhadap korban. 

“Luka memar dari hasil visum ini tidak diberikan obat. Sebab dalam kurun waktu kurang lebih 14 hari akan sembuh sendiri,” ungkap dr. Dudut. 

Di sisi lain, pengacara terdakwa, Chandra Katharina Nutz mengatakan, bahwa hadirnya saksi dokter yang memeriksa korban dan ahli forensik dalam kasus yang menjerat kliennya itu membuat posisi kasus ini semakin terang benderang. 

“Dengan hadirnya dokter pemeriksa dan saksi ahli forensik, perkara ini semakin terang benderang. Inilah pentingnya kehadiran mereka dalam persidangan

bagi kami dan terdakwa agar dalam fakta persidangan bisa terlihat bahwa banyak ketidakcocokan yang terjadi,” pungkas Nutz. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/