29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 0:41 AM WIB

TERUNGKAP! Uang Pungutan Ternyata Tak Dimasukkan ke Kas Desa

DENPASAR – Sidang kasus korupsi uang pungutan pedagang kaki lima (PKL) dan toko Desa Pemecutan Kaja, 

Denpasar Utara, dengan terdakwa perbekel AA Ngurah Arwatha, 47, berlanjut di Pengadilan Tipikor Denpasar, kemarin (11/2).

JPU Gusti Ayu Rai Artini menghadirkan tiga orang saksi yang bertugas sebagai tukang pungut. 

Mereka adalah I Made Suteja, Gusti Ngurah Ketut Bawa, dan I Made Yudi Putra. Tiga orang saksi yang juga sebagai 

petugas perlindungan masyarakat (linmas) itu kompak menyatakan tidak tahu uang hasil pungutan mengalir ke mana saja. 

Dari sidang kemarin juga terungkap bahwa uang hasil pungutan tidak dimasukkan ke kas atau rekening desa. 

Sesuai aturan, uang pungutan semestinya masuk ke kas desa sebelum dimasukkan ke APBDes. 

“Kami setelah memungut dari pedagang, uang kami serahkan ke bendahara desa,” ujar saksi Suteja di muka majelis hakim yang diketuai Angeleiky Handajani Day. 

Pernyataan Suteja diamini saksi Bawa dan Yudi. Sebagai tukang pungut, linmas dibagi menjadi tiga grup. Selanjutnya setiap grup mempunyai tugas memungut di wilayah yang sudah ditentukan. 

Para saksi ini mengaku mengetahui uang pungutan sebelum disetor ke bendahara dipotong untuk uang transportasi atau uang bensin. 

Ketika JPU Artini menanyakan uang setelah diserahkan ke bendahara dipakai apa, ketiganya kompak menggelengkan kepala. 

“Kami tidak tahu kegunaan uang untuk apa,” sahut saksi. “Termasuk uang dimasukkan ke kas desa atau tidak, saksi tidak tahu?” kejar JPU Artini. “Tidak,” jawab ketiganya serempak. 

Petugas linmas memberikan pungutan dengan cara memberikan karcis senilai Rp 3.000 kepada para pedagang jika pembeli ramai. 

Jika pembeli sepi diberi karcis senilai Rp 2.000. “Bagaimana saksi tahu pedagang itu ramai atau sepi?” tanya JPU. 

“Pedagangnya yang bilang. Kalau hari ini sepi atau ramai. Kami percaya saja,” tukasnya. Karcis bertuliskan punia BUMDes itu dipungut setiap hari. 

Hasil pungutan kemudian disetorkan ke bendahara desa. Selain melakukan pungutan pada pedagang pasar, 

juga melakukan pungutan pada pengusaha toko dengan karcis kisaran Rp 15.000 – 250.000 tiap bulan per toko, tergantung jenis usaha.

Petugas melakukan pungutan terhadap 27 – 30 pedagang dengan setoran Rp 125.000/hari atau sekitar Rp 3.000.000 per bulan.

Pada 2014 – 2016, terdakwa masih memasukkan pungutan ke dalam kas desa. Namun, sejak 2017 ketika Desa Pemecutan Kaja mendirikan BUMDes yang didirikan berdasar peraturan desa Nomor 3/2016 tangal 1 Juni 2016. 

Pendapatan asli desa berdasar pungutan pedagang pasar dimasukkan ke dalam BUMDes.

Nah, dari sinilah perbuatan culas itu terjadi. Pendapatan yang bersumber dari pedagang yang sudah disetorkan ke bendahara desa, 

dalam periode Januari 2017 – Februari 2018 sebesar Rp 190.102.000 telah dijadikan “bancakan” kepala desa, aparatur desa, 

dan anggota BPD desa sebesar Rp 117.509.500. Uang itu dijadikan tunjangan penghasilan kepala desa beserta jajarannya.

DENPASAR – Sidang kasus korupsi uang pungutan pedagang kaki lima (PKL) dan toko Desa Pemecutan Kaja, 

Denpasar Utara, dengan terdakwa perbekel AA Ngurah Arwatha, 47, berlanjut di Pengadilan Tipikor Denpasar, kemarin (11/2).

JPU Gusti Ayu Rai Artini menghadirkan tiga orang saksi yang bertugas sebagai tukang pungut. 

Mereka adalah I Made Suteja, Gusti Ngurah Ketut Bawa, dan I Made Yudi Putra. Tiga orang saksi yang juga sebagai 

petugas perlindungan masyarakat (linmas) itu kompak menyatakan tidak tahu uang hasil pungutan mengalir ke mana saja. 

Dari sidang kemarin juga terungkap bahwa uang hasil pungutan tidak dimasukkan ke kas atau rekening desa. 

Sesuai aturan, uang pungutan semestinya masuk ke kas desa sebelum dimasukkan ke APBDes. 

“Kami setelah memungut dari pedagang, uang kami serahkan ke bendahara desa,” ujar saksi Suteja di muka majelis hakim yang diketuai Angeleiky Handajani Day. 

Pernyataan Suteja diamini saksi Bawa dan Yudi. Sebagai tukang pungut, linmas dibagi menjadi tiga grup. Selanjutnya setiap grup mempunyai tugas memungut di wilayah yang sudah ditentukan. 

Para saksi ini mengaku mengetahui uang pungutan sebelum disetor ke bendahara dipotong untuk uang transportasi atau uang bensin. 

Ketika JPU Artini menanyakan uang setelah diserahkan ke bendahara dipakai apa, ketiganya kompak menggelengkan kepala. 

“Kami tidak tahu kegunaan uang untuk apa,” sahut saksi. “Termasuk uang dimasukkan ke kas desa atau tidak, saksi tidak tahu?” kejar JPU Artini. “Tidak,” jawab ketiganya serempak. 

Petugas linmas memberikan pungutan dengan cara memberikan karcis senilai Rp 3.000 kepada para pedagang jika pembeli ramai. 

Jika pembeli sepi diberi karcis senilai Rp 2.000. “Bagaimana saksi tahu pedagang itu ramai atau sepi?” tanya JPU. 

“Pedagangnya yang bilang. Kalau hari ini sepi atau ramai. Kami percaya saja,” tukasnya. Karcis bertuliskan punia BUMDes itu dipungut setiap hari. 

Hasil pungutan kemudian disetorkan ke bendahara desa. Selain melakukan pungutan pada pedagang pasar, 

juga melakukan pungutan pada pengusaha toko dengan karcis kisaran Rp 15.000 – 250.000 tiap bulan per toko, tergantung jenis usaha.

Petugas melakukan pungutan terhadap 27 – 30 pedagang dengan setoran Rp 125.000/hari atau sekitar Rp 3.000.000 per bulan.

Pada 2014 – 2016, terdakwa masih memasukkan pungutan ke dalam kas desa. Namun, sejak 2017 ketika Desa Pemecutan Kaja mendirikan BUMDes yang didirikan berdasar peraturan desa Nomor 3/2016 tangal 1 Juni 2016. 

Pendapatan asli desa berdasar pungutan pedagang pasar dimasukkan ke dalam BUMDes.

Nah, dari sinilah perbuatan culas itu terjadi. Pendapatan yang bersumber dari pedagang yang sudah disetorkan ke bendahara desa, 

dalam periode Januari 2017 – Februari 2018 sebesar Rp 190.102.000 telah dijadikan “bancakan” kepala desa, aparatur desa, 

dan anggota BPD desa sebesar Rp 117.509.500. Uang itu dijadikan tunjangan penghasilan kepala desa beserta jajarannya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/