DENPASAR – Mengacu pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana khususnya Pasal 1 angka 27,
keadilan restoratif adalah penyelesaian kasus pidana yang melibatkan pelaku, korban dan atau keluarganya serta pihak terkait, dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak.
Sederhananya, keadilan restoratif menekankan upaya perdamaian dan win-win solution diantara para pihak.
Keadilan restoratif ini tengah diperjuangkan tim advokat dari Law Firm Togar Situmorang untuk kliennya berinisial MV seorang warganegara asing (WNA) asal Lithuania, yang terjerat kasus dugaan tindak pidana penganiayaan pasal 351 KUHP.
Kasus ini sedang ditangani oleh pihak kepolisian Polsek Kuta Utara, Badung. Namun sayangnya pihak kepolisian terkesan mengabaikan hal tersebut.
“Kami berharap permasalahan hukum yang tengah dihadapi klien kami dapat diselesaikan dengan restorative justice sebab sudah ada kesepakatan damai dengan korban atau pelapor dalam kasus ini.
Sayangnya dari penyidik di Polsek Kuta Utara tidak menggubris permohonan kami agar kasus ini diselesaikan secara restorative justice,” kata Alexander Ricardo Gracia Situmorang SH,
didampingi Muchammad Arya Wijaya SH, dan Putu Sukayasa Nadi SH, tim advokat dari Law Firm Togar Situmorang selaku tim penasehat hukum MV, Sabtu (12/6).
Menurut Muchammad Arya Wijaya, kronologi permasalahan hukum yang menjerat kliennya MV bermula di sebuah vila di Kawasan Kerobokan, Kuta Utara, Badung pada tanggal 25 Mei 2021 lalu.
Saat itu, MV merasa terganggu dengan kebisingan akibat suara musik yang terlalu keras dari sebuah vila lain di sebelah vila yang ditempatinya.
MV lalu berinisiatif menegur penghuni vila tersebut. Hal itu malah berujung salah paham hingga akhirnya terlibat keributan.
MV akhirnya dilaporkan oleh Sanrego Najibullah Rowa ke Polsek Kuta Utara pada 25 Mei 2021 atas dugaan tindak pidana penganiayaan.
MV lalu diamankan dan kemudian ditahan di Polsek Kuta Utara saat itu juga. Dia telah ditahan selana 20 hari ke depan sampai tanggal 13 Juni 2021.
Pihak MV sempat mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Namun saat ini belum mendapatkan jawaban pasti dari Polsek Kuta Utara
Selanjutnya tim advokat dari Law Firm Togar Situmorang selaku penasehat hukum MV sesuai dengan petunjuk dari pihak Polsek Kuta Utara untuk melakukan pendekatan dengan korban atau pelapor
untuk bisa melakukan perdamaian secara kekeluargaan dengan mengedepankan restoratif justice dan membuat pencabutan laporan di Polsek Kuta Utara.
Pendekatan tersebut diterima dan diapresiasi oleh korban dan keluarganya sehingga korban dan keluarganya sepakat untuk berdamai dan tidak melanjutkan
pengaduan yang telah dibuat sebelumnya di Polsek Kuta Utara sesuai dengan surat kesepakatan perdamaian tanggal 3 Juni 2021.
Dikarenakan korban dan keluarganya dengan MV telah berdamai dan tidak ingin lagi kasus ataupun pengaduannya di Polsek Kuta Utara dilanjutkan,
pada tanggal 3 Juni 2021 korban dan keluarganya membuat surat kepada Kepala Kepolisian Sektor Kuta Utara.
Surat itu terkait pernyataan dan permohonan pencabutan pengaduan masyarakat atau laporan polisi dari pelapor, Sanregop Najibullah Rowa.
Namun, faktanya walau sudah ada perdamaian MV dengan pihak korban, kasus ini masih tetap dilanjutkan dan belum dihentikan oleh pihak penyidik Polsek Kuta Utara.
Inilah yang membuat tim advokat Law Firm Togar Situmorang selaku kausa hukum MV merasa heran dan janggal.
Sebab selain adanya kesepatan damai tersebut yang seharusnya bisa menjadi jalan penyelesaian kasus ini secara restorative justice (keadilan restoratif),
juga ada dasar hukum yang kuat yang harusnya dijalankan dan dijadikan acuan oleh pihak penyidik Polsek Kuta Utara.
“Yakni Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkap 6/2019) yang memberikan
ruang adanya penyelesainan kasus dugaan tindak pidana melalui restorative justice,” terang Alexander Ricardo Gracia Situmorang atau yang akrab disapa Arga ini.
Menurut dia, syarat Pasal 12 Perkap 6/2019 Perkap sudah terpenuhi untuk dilakukannya keadilan restoratif terhadap kasus kliennya tersbut.
Sehingga seharusnya pasal itu bisa dijadikan acuan bagi para penyidik dalam melakukan penyidikan.
“Menjadi pertanyaan bagi kami penasehat hukum klien kami sebuah Perkap saja yang dibuat oleh pimpinan Polri dalam hal ini Kapolri tidak diperhatikan cenderung diabaiakan
oleh penyidik di Polsek Kuta Utara, bagaimana dengan kami sebagai penasehat hukum yang hanya menjalankan surat kuasa untuk klien kami mendapatkan hak-haknya,” imbuh Arga.
Tim advokat dari Law Firm Togar Situmorang pada tanggal 10 Juni 2021 kembali mendatangi Polsek Kuta Utara untuk menindak lanjuti surat kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh korban beserta keluarganya dengan klien MV.
Namun di Polsek, mereka malah diberitahu oleh penyidik bahwa tentang SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan ) sehingga kuasa hukum MV diarahkan untuk menghubungi jaksa.
“Akan tetapi proses dan kewenangan masih ada di pihak Polsek Kuta Utara sepanjang belum adanya tahap dua pelimpahan atau berkas dinyatakan P21,
sehingga seharusnya Polsek Kuta Utara tidak menyarankan klien kami melalui kami sebagai penasehat hukumnya untuk menemui jaksa yang akan menangani hal tersebut dan apa maksudnya.
Hal ini dikarenakan kewengan penyidikan dan memberhentikan penyidikan dengan dasar restorative justice masih sangat dimungkinkan dilakukan oleh penyidik Polsek Kuta Utara,” imbuhnya.
Dia pun berharap agar pihak penyidik dapat melihat hal ini sebagai, hukum pidana bukanlah salah satu cara yang baik untuk menghukum pelaku tindak pidana.
“Bahkan antara korban dan pelaku telah sepakat untuk berdamai dan mencabut laporanannya, akan tetapi menjadi pertanyaan besar kami sebagai penasihat hukum
kenapa penyidik masih tetap kekeh untuk melanjutkan kasus ini dan menahan klien kami dengan alasan berkas sudah di Kejaksaan. Lantas, berkas apa yang di kejaksaan?,” tandasnya.