32.6 C
Jakarta
25 April 2024, 16:07 PM WIB

NEWS UPDATE! Jero Jangol Kecanduan Amphetamine

RadarBali.com – Kasus yang menjerat wakil ketua DPRD Bali Jero Gede Komang Swastika alis Jero Jangol terus menggelinding ke permukaan.

Meski hingga kemarin belum juga tertangkap, beragam analisis muncul terkait kasus hukum yang menimpanya.

Terbaru datang dari Sekretaris Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJ) Cabang Denpasar dr. Ni Ketut Sri Dniari.

Menurutnya, Jero Gede Komang Swastika alis Jero Jangol JGKS dulunya pernah mendapat rehabilitasi di BNN Bali.

Karena mungkin saat itu Jero Jangol dikatakan bebas dari barang haram tersebut sehingga masa rehabilitasinya dihentikan oleh BNN Bali.

“Namun, apa yang terjadi setelah keluar dari masa rehabilitasi, apakah kembali menggunakan narkotika jenis sabu atau tidak, BNN tidak tahu,” katanya.

Ada empat faktor secara psikologis yang membuat pengguna narkoba itu kembali sebagai pengguna. Pertama pengaruh lingkungan.

Mungkin saat dia keluar dari masa rehabilitasi bertemu dengan kawan dan teman lama sesama pengguna narkoba, maka dia kembali menggunakan.

Seseorang yang mengalami kecanduan cenderung merasakan sensasi kenikmatan yang paling kuat ketika mereka mencoba hal yang baru saat pemakaian barang haram.

Oleh karena itu sulit bagi mereka untuk mempertahankan rasa. Sehingga memilih untuk kembali menggunakan narkoba.

Kedua, karena rasa penasaran. Keingintahuan adalah insting alami manusia. Mencoba hal baru sekaligus untuk mendapatkan pengakuan sosial di lingkungan.

Terakhir kebiasaan. Di mana seseorang bisa terjebak situasi dan kondisi kesibukan dan rutinitas yang tidak biasa.

Sehingga menggunakan kembali narkoba sebagai penyemangat, motivasi dalam diri untuk beraktivitas saat bekerja.

“Jika merujuk pada kasus yang menjerat anggota dewan DPRD Bali dari Partai Gerinda ini, keempat faktor psikologis ini yang menyebabkan yang bersangkutan kembali menggunakan narkotika golongan II amphetamine jenis sabu,” ujarnya.

Ni Ketut Sri Diniari mengingatkan, pengguna amphetamine menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan.

Ketergantungan pada barang haram memicu kondisi jantung yang sewaktu-waktu akan dapat berhenti seketika, sehingga menimbulkan kematian. Selanjutnya overdosis.

Misalnya 2 butir pil ekstasi dikonsumsi dikatakan kurang. Kemudian bertambah menjadi 3 hingga 4. Nah, hal inilah yang menyebabkan over dosis itu terjadi.

Selain itu, penggunaan amphetamine dalam jangka panjang dapat menimbulkan psikotik, paranoid, berhalusinasi dan pemarah bagi pengguna.

Jika sewaktu-waktu pengguna dalam kondisi terdesak maka dapat melakukan kriminalitas. Yakni membunuh kemudian menyimpan senjata tajam untuk melindungi diri.   

“Untuk mengembalikan kondisi Jero Jangol dan istri sebagai pengguna narkotika selain dilakukan rehabilitasi juga perlu dilakukan terapi substitusi atau terapi perilaku,” ungkapnya.

Ni Ketut Sri Diniari menambahkan, kasus Jero Jangol dan istri sebagai yang sesama pengguna narkotika, secara psikologi memiliki kesamaan rasa dan permainan rasa.

“Dalam sebuah keluarga ini dapat dikatakan role mode, apa yang dilakukan suami, maka dapat pula yang dilakukan oleh istri dan anaknya,” pungkasnya.

RadarBali.com – Kasus yang menjerat wakil ketua DPRD Bali Jero Gede Komang Swastika alis Jero Jangol terus menggelinding ke permukaan.

Meski hingga kemarin belum juga tertangkap, beragam analisis muncul terkait kasus hukum yang menimpanya.

Terbaru datang dari Sekretaris Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJ) Cabang Denpasar dr. Ni Ketut Sri Dniari.

Menurutnya, Jero Gede Komang Swastika alis Jero Jangol JGKS dulunya pernah mendapat rehabilitasi di BNN Bali.

Karena mungkin saat itu Jero Jangol dikatakan bebas dari barang haram tersebut sehingga masa rehabilitasinya dihentikan oleh BNN Bali.

“Namun, apa yang terjadi setelah keluar dari masa rehabilitasi, apakah kembali menggunakan narkotika jenis sabu atau tidak, BNN tidak tahu,” katanya.

Ada empat faktor secara psikologis yang membuat pengguna narkoba itu kembali sebagai pengguna. Pertama pengaruh lingkungan.

Mungkin saat dia keluar dari masa rehabilitasi bertemu dengan kawan dan teman lama sesama pengguna narkoba, maka dia kembali menggunakan.

Seseorang yang mengalami kecanduan cenderung merasakan sensasi kenikmatan yang paling kuat ketika mereka mencoba hal yang baru saat pemakaian barang haram.

Oleh karena itu sulit bagi mereka untuk mempertahankan rasa. Sehingga memilih untuk kembali menggunakan narkoba.

Kedua, karena rasa penasaran. Keingintahuan adalah insting alami manusia. Mencoba hal baru sekaligus untuk mendapatkan pengakuan sosial di lingkungan.

Terakhir kebiasaan. Di mana seseorang bisa terjebak situasi dan kondisi kesibukan dan rutinitas yang tidak biasa.

Sehingga menggunakan kembali narkoba sebagai penyemangat, motivasi dalam diri untuk beraktivitas saat bekerja.

“Jika merujuk pada kasus yang menjerat anggota dewan DPRD Bali dari Partai Gerinda ini, keempat faktor psikologis ini yang menyebabkan yang bersangkutan kembali menggunakan narkotika golongan II amphetamine jenis sabu,” ujarnya.

Ni Ketut Sri Diniari mengingatkan, pengguna amphetamine menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan.

Ketergantungan pada barang haram memicu kondisi jantung yang sewaktu-waktu akan dapat berhenti seketika, sehingga menimbulkan kematian. Selanjutnya overdosis.

Misalnya 2 butir pil ekstasi dikonsumsi dikatakan kurang. Kemudian bertambah menjadi 3 hingga 4. Nah, hal inilah yang menyebabkan over dosis itu terjadi.

Selain itu, penggunaan amphetamine dalam jangka panjang dapat menimbulkan psikotik, paranoid, berhalusinasi dan pemarah bagi pengguna.

Jika sewaktu-waktu pengguna dalam kondisi terdesak maka dapat melakukan kriminalitas. Yakni membunuh kemudian menyimpan senjata tajam untuk melindungi diri.   

“Untuk mengembalikan kondisi Jero Jangol dan istri sebagai pengguna narkotika selain dilakukan rehabilitasi juga perlu dilakukan terapi substitusi atau terapi perilaku,” ungkapnya.

Ni Ketut Sri Diniari menambahkan, kasus Jero Jangol dan istri sebagai yang sesama pengguna narkotika, secara psikologi memiliki kesamaan rasa dan permainan rasa.

“Dalam sebuah keluarga ini dapat dikatakan role mode, apa yang dilakukan suami, maka dapat pula yang dilakukan oleh istri dan anaknya,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/