DENPASAR – Harijanto Karjadi, akhirnya kembali mendekam di balik jeruji besi. Nasib bos Kuta Paradiso ini menyusul adanya putusan dari majelis hakim tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). MA mengabulkan kasasi jaksa atas vonis onslag van recht vervolging (ada perbuatan namun bukan perbuatan pidana) di PT Denpasar.
I Wayan Eka Widanta, Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Denpasar membenarkan jika majelis hakim MA mengabulkan kasasi yang diajukan tim jaksa dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali.
“Benar kasasi jaksa dikabulkan oleh majelis hakim MA, sehingga terdakwa harus menjalani hukuman dua tahun sebagaimana putusan majelis hakim PN Denpasar,” sebut Eka Widanta, Jumat, (14/8).
Dikatakannya bahwa putusan kasasi diterima pada tanggal 12 Agustus 2020 lalu. Sehingga saat ini pihaknya fokus untuk menangani perkara terdakwa.
Sementara itu, sebagaimana tercantum dalam website resmi PN Denpasar, putusan kasasi terhadap Harijanto Karjadi ini dibacakan noleh hakim tunggal Sri Murwahyuni, tanggal 10 Agustus 2020 lalu.
Dalam amar putusan tersebut, hakim menyatakan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar dan mengadili sendiri dengan menyatakan terdakwa Harijanto Karjadi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menggunakan akta autentik yang dipalsukan.
“Menjatuhkan pidana terhadap Harijanto Karjadi dengan pidana penjara selama 2 tahun. menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,” demikian bunyi putusan sebagaimana termuat dalam website PN Denpasar.
Sebelumnya, kasus yang menjerat bos Paradiso Grup ini terjadi pada 14 November 2011 bertempat di Notaris I Gusti Ayu Nilawati yang beralamat di Jalan Raya Kuta, Nomor 87, Kuta, Badung.
Kasus bermula dari pemberian kredit No 8 tanggal 28 November 1995 yang dibuat di notaris Hendra Karyadi yang ditandatangani PT Geria Wijaya Prestige (GWP). Saat itu diwakili oleh Harijanto Karjadi selaku Direktur Utama dan Hermanto Karjadi sebagai Direktur.
Selanjutnya, PT GWP mendapat pinjaman dari Bank Sindikasi (gabungan 7 bank) sebesar USD 17.000.000. Pinjaman kredit tersebut digunakan PT GWP untuk membangun Hotel Sol Paradiso yang kini telah berganti nama menjadi Hotel Kuta Paradiso di Jalan Kartika Plasa Kuta, Badung.
Sebagai jaminan kredit, PT GWP menyerahkan tiga sertifkat HGB di Kuta serta gadai saham PT GWP milik Harijanto Karjadi, Hermanto Karjadi dan Hartono Karjadi kepada Bambang Irawan sebagai kuasa PT Bank PDFCI yang nantinya bergabung dengan Bank Danamon sebagai agen jaminan.
Dalam rapat kreditur PT GWP yang digelar Maret 2005, Bank Danamon mengundurkan diri sebagai agen jaminan dan menunjuk PT Bank Multicor selaku agen pengganti. Bank Multicor sendiri akhirnya berubah hingga akhirnya piutang PT GWP dipegang PT Bank China Cntruction Bank Indonesia (CCB Indonesia).
Selanjutnya korban Tommy Winata membeli piutang PT GWP. Harga piutang yang dialihkan CCB Indonesia kepada pembeli adalah Rp 2 miliar. “Dengan adanya akta tersebut, Tomy Winata merupakan orang yang berhak menagih utang kepada PT GWP,” tegas JPU beberapa waktu lalu.
Namun, saat dicek oleh Dezrizal yang merupakan kuasa hukum Tomy Winata, ada beberapa kejanggalan dalam kredit PT GWP. Termasuk jual beli saham antara Hartono Karjadi dengan Sri Karjadi yang merupakan adiknya. Dimana Harijanto Karjadi yang memberikan persetujuan pergantian pemegang saham PT GWP.
“Padahal dia mengetahui bahwa Hartono bersama-sama terdakwa Harijanto telah menjaminkan sahamnya kepada Bank Sindikasi sesuai akta gadai saham No 28 tanggal 28 November 2005,” jelas JPU.
Sehingga akibat perbuatan terdakwa Harijanto Karjadi dan Hartono Karjadi (DPO) mengakibatkan korban Tomy Winata mengalami kerugian USD 20.389.661 atau sekitar Rp 285 miliar.