DENPASAR – Sidang perkara dugaan pencabulan dengan terdakwa Putu Arif Mahendra alias Arif, 32, seorang oknum guru di SMA swasta
di Denpasar yang mencabuli anak didiknya sendiri, akhirnya bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar kemarin.
Sidang dengan Majelis Hakim pimpinan Novita Riama digelar secara tertutup. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Oka Surya Atmaja
mendakwa pria yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah (wakasek) bidang kesiswaan, ini dengan dakwaan komulatif.
Yakni dakwaan Primer Pasal 81 Ayat (3) Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP dan Subsider Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang
yang sama dengan ancaman hukuman pidana maksimal selama 20 tahun dan denda maksimal sebesar Rp 5 miliar.
Sesuai surat dakwaan, hingga kasus pria kelahiran Busungbiu, Buleleng bergulir, berawal dari penangkapan terdakwa oleh petugas Satreskrim Polresta Denpasar, pada Rabu (21/3) lalu.
Terdakwa yang juga guru seni budaya di SMA Dwijendra ini dituding melalukan pelecehan/pencabulan dan persetubuhan yang diawali dengan pemaksaan dan pengancaman terhadap anak didiknya sendiri berinisial AC, 16.
Korban dan terdakwa sudah lama kenal yakni sejak korban SMP yang bersekolah di tempat yang sama.
Terlebih dari SMP, korban ikut ekstrakulikuler seni tari yang saat itu terdakwa juga sebagai guru pembimbing tari dari korban.
Singkat cerita, pada Kamis (28 Desember 2017), korban menghubungi terdakwa melalui aplikasi Line untuk menanyakan siapa pasangan menarinya.
Namun terdakwa malah mencoba merayu. Terdakwa memberikan balasan dengan kalimat, ” Bisa gak kita ketemuan kapan-kapan? Kita pacaran yuk,”.
Dari sanalah, terdakwa mulai berani terhadap korban. Dua hari kemudian, saat latihan menari korban diminta menemui terdakwa lebih awal di ruang Akreditasi lantai 1 dekat ruang guru.
Terdakwa seketika mulai melecehkan korban. Mulai dari mencium dan lainnya namun tak sampai persetubuhan.
Korban tak melawan karena takut atas ancaman terdakwa yang meminta tak usah ikut menari lagi jika menolak keinginan terdakwa.
Ulah terdakwa terus terulang, hingga terdakwa sering video call sex dengan korban melalui aplikasi medsos.
Hingga puncaknya, Januari 2018, terdakwa mengajak korban ketemu di Hotel Oranje di Jalan Hayam Wuruk Denpasar sekitar pukul 13.30,
Usai latihan menari persiapan HUT Yayasan Dwijendra. Korban mengaku sempat menolak bertemu, namun lagi-lagi korban diancam untuk tak diikutkan menari lagi.
Atas ancaman itu, korban akhirnya datang, dan persetubuhan itupun terjadi. Terdakwa yang sebagai guru pembimbing terus memanfaatkan profesinya untuk menekan korban.
Kejadian berulang di tempat yang sama dan terjadi hingga Maret. Bahkan terdakwa juga mengajak satu korban lagi yang tak lain masih teman korban AC.
Persetubuhan tiga orang itu pun terjadi. Pada 3 Maret, terdakwa kembali menghubungi korban untuk melakukan hal yang sama.
Korban diminta menunggu di depan sekolah SMP di Jalan Trengguli untuk diajak ke Penginaan Pondok Wisata di Jalan Siulan, Dentim.
Tanpa diketaui terdakwa, sebelum bertemu, korban ternyata sempat bercerita dengan salah satu temannya yang lain berinisial TK lewat percakapan di salah satu aplikasi medsos.
Oleh TK, obrolan itu pun diinfokan ke orang lain dengan menyebarkan isi percakapan tersebut. Screenshot atau foto percakapan yang akhirnya menyebar
di jejaring media sosial bahkan menjadi viral di Instagram dan Facebook itupun sampai ke telinga Dewa AE, yang tak lain ibu kandung korban.
Tanpa menunggu lagi, ibi korban kemudian melaporkan tindakan yang dialami anaknya ke Polresta Denpasar.
Hasil visum menyebutkan jika pada organ intim korban memang ditemukan tanda-tanda robekan bekas persetubuhan yang sudah lama.
Selanjutnya atas dakwaan JPU, terdakwa yang didampingi tim Penasehat Hukumnya Iswahyudi dan Ketut Rinata menyatakan keberatan dan akan mengajukan eksepsi pekan depan