26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 3:18 AM WIB

Remisi Pembunuh Wartawan Radar Kental Nuansa Politis, Ini Jejaknya…

DENPASAR – Kecaman atas putusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pengampunan hukuman terhadap I Nyoman Susrama, dalang pembunuhan wartawan Jawa Pos Radar Bali, semakin kencang.

Langkah Jokowi yang mengubah hukuman Susrama dari seumur hidup menjadi hanya 20 tahun dinilai tidak tepat dan terkesan berbau politis.

“Meski Presiden memiliki hak prerogeratif, tiyang (saya, Red) sangat menyayangkan keputusan Presiden. Kenapa itu (pengampunan) diberikan menjelang pemilu?

Kalau Presiden pertimbangannya murni atas dasar kemanusiaan, maka seharusnya dilakukan setelah pemilu,” ujar ahli hukum pidana Universitas Udayana (Unud), I Gusti Ketut Ariawan, kemarin.

Tidak berlebihan jika Ariawan berpandangan demikian. Pasalnya, pengampunan hukuman dari seumur hidup menjadi 20 tahun penjara diberikan untuk 115 orang se-Indonesia.

Semuanya adalah kasus pembunuhan, sebagian besar pembunuhan berencana sebagaimana dilakukan Susrama.

“Kondisinya seperti ini ada kesan semacam untuk memperoleh dukungan. Ini (pengampunan hukuman) kesannya politis,” sentil Ariawan.

Susrama sendiri adalah adik mantan Bupati Bangli dua periode, I Nengah Arnawa yang juga politisi senior PDIP.

Catatan Jawa Pos Radar Bali, Arnawa beberapa kali terlihat di Kantor DPD PDIP Bali selama masa perhelatan Pilgub Bali.

Selain Arnawa, tampak juga istri Susrama yaitu Hening Puspitarini yang terlihat wira-wiri di Kantor DPD PDIP Bali. Sebelumnya Arnawa dan Hening pernah sama-sama masuk penjara.

Ariawan menyatakan tidak sepakat dengan pengampunan hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun penjara.

Apalagi Susrama dinyatakan bersalah di pengadilan sebagai otak intelektual pembunuhan terhadap Prabangsa yang dilakukan secara berencana.

Menurut dia, jika sudah pembunuhan berencana maka hukumannya mesti berat. Dalam KUHP Pasal 340 tentang pembunuha berencana ancaman hukumannya maksimal adalah hukuman mati.

“Siapapun korbannya, dihukum seumur hidup menjadi 20 tahun penjara itu hal itu tidak wajar,” tandas akademisi kelahiran Buleleng, 9 Juni 1957 itu.

DENPASAR – Kecaman atas putusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pengampunan hukuman terhadap I Nyoman Susrama, dalang pembunuhan wartawan Jawa Pos Radar Bali, semakin kencang.

Langkah Jokowi yang mengubah hukuman Susrama dari seumur hidup menjadi hanya 20 tahun dinilai tidak tepat dan terkesan berbau politis.

“Meski Presiden memiliki hak prerogeratif, tiyang (saya, Red) sangat menyayangkan keputusan Presiden. Kenapa itu (pengampunan) diberikan menjelang pemilu?

Kalau Presiden pertimbangannya murni atas dasar kemanusiaan, maka seharusnya dilakukan setelah pemilu,” ujar ahli hukum pidana Universitas Udayana (Unud), I Gusti Ketut Ariawan, kemarin.

Tidak berlebihan jika Ariawan berpandangan demikian. Pasalnya, pengampunan hukuman dari seumur hidup menjadi 20 tahun penjara diberikan untuk 115 orang se-Indonesia.

Semuanya adalah kasus pembunuhan, sebagian besar pembunuhan berencana sebagaimana dilakukan Susrama.

“Kondisinya seperti ini ada kesan semacam untuk memperoleh dukungan. Ini (pengampunan hukuman) kesannya politis,” sentil Ariawan.

Susrama sendiri adalah adik mantan Bupati Bangli dua periode, I Nengah Arnawa yang juga politisi senior PDIP.

Catatan Jawa Pos Radar Bali, Arnawa beberapa kali terlihat di Kantor DPD PDIP Bali selama masa perhelatan Pilgub Bali.

Selain Arnawa, tampak juga istri Susrama yaitu Hening Puspitarini yang terlihat wira-wiri di Kantor DPD PDIP Bali. Sebelumnya Arnawa dan Hening pernah sama-sama masuk penjara.

Ariawan menyatakan tidak sepakat dengan pengampunan hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun penjara.

Apalagi Susrama dinyatakan bersalah di pengadilan sebagai otak intelektual pembunuhan terhadap Prabangsa yang dilakukan secara berencana.

Menurut dia, jika sudah pembunuhan berencana maka hukumannya mesti berat. Dalam KUHP Pasal 340 tentang pembunuha berencana ancaman hukumannya maksimal adalah hukuman mati.

“Siapapun korbannya, dihukum seumur hidup menjadi 20 tahun penjara itu hal itu tidak wajar,” tandas akademisi kelahiran Buleleng, 9 Juni 1957 itu.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/