26.6 C
Jakarta
25 April 2024, 0:35 AM WIB

CATAT!Tanpa Hearing, Remisi Susrama Terselubung, Jokowi Layak Batalkan

DENPASAR – Seharusnya tidak ada lagi alasan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan remisi I Nyoman Susrama, dalang pembunuhan jurnalis Jawa Pos Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.

Tuntutan pencabutan remisi itu masif dilakukan di seluruh Indonesia, tak terkecuali di Bali. Jumat pagi (25/1) pukul 09.30, ratusan orang dari berbagai latar belakang,

mulai jurnalis, advokat, gabungan mahasiswa, hingga tokoh masyarakat Bali bergabung menyuarakan pencabutan remisi Susrama.

Beragam pamflet dan spanduk meminta Presiden mencabut Kepres Nomor 29/2018 yang megubah hukuman seumur hidup Susrama menjadi 20 tahun penjara.

Pamflet yang dibawa massa antara lain bertuliskan “Cabut Remisi Pembunuh Jurnalis”, “Tegakkan Kebebasan Pers Tuan Presiden” dan “Cabut Remisi Susrama”.

Penasihat hukum Serikat Jurnalis Bali (SJB), I Made “Ariel” Suardana menyebut remisi Presiden yang diberikan khusus untuk Susrama telah melukai kemerdekaan pers.

Suardana yang dari awal ikut mengawal pengusutan kasus Prabangsa ini mengaku kecewa dengan keputusan Presiden.

Ada dua hal yang membuat remisi Susrama harus ditolak. Pertama, jelas Suardana, kasus Prabangsa adalah kasus yang menjadi perhatian publik Bali, bahkan nasional.

Kedua yang menjadi korban adalah simbol pilar demokrasi. Kasus Prabangsa disamakan dengan kasus lainnya.

“Ada proses ketidakcermatan yang dilakukan Rutan Bangli, Kanwil Hukum dan HAM Bali, yang meneruskan usulan remisi ke pemerintah pusat,” kata Suardana.

Dia juga menilai bahwa remisi Susrama adalah remisi terselubung. Sebab, Kanwil Hukum dan HAM Bali tidak melakukan hearing atau dengar pendapat dengan publik sebelum mengajukan usulan remisi.

“Kasus Prabansa ini kasus publik. Karena tidak ada hearing, remisi ini terselubung yang tidak dapat diketahui masyarakat,” imbuhnya.

Suardana juga mengaku tidak paham dengan pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, yang menyatakan Susrama akan dipenjara 20 tahun lagi dan ditambah masa pidana 10 tahun yang dijalani.

Jadi total 30 tahun di penjara. Padahal, berdasar Keppres 147/1999, dalam pasal 9 ayat (1) pemberian remisi menjadi penjara sementara, maka tidak boleh menjalankan pidana 15 tahun lagi.

“Artinya, Susrama tidak lama lagi bebas. Cabut remisi Susrama,” beber Suardana. “Tidak ada yang tidak mungkin di Republik ini, pencabutan remisi itu sangat mungkin

asal ada keinginan Kanwil Hukum dan HAM Bali meneruskan permintaan menganulir remisi pada pemerintah pusat,” desaknya.

Menanggapi tuntutan massa, Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Bali, Sutrisno mengaku mengerti suasana kebatinan jurnalis yang kehilangan Prabangsa dalam menjalankan tugas profesi.

Namun, pria berkumis itu mengaku hanya sebagai pelaksana tugas, bukan sebagai pengambil keputusan.

Sutrisno mengklaim remisi Susrama sudah sesuai aturan. “Tapi, yang bersangkutan memenuhi pengajuan remisi. Antara lain berkelakuan baik dan sudah dihukum lima tahun penjara,” katanya.

“Kalau usulan Susrama dilakukan sejak 2014. Tahun 2015, 2016, ditolak. Barulah tahun 2017 mengusulkan dan Desember 2018 dikabulkan,” jelas pria yang baru sepekan menjadi Kepala Kanwil Hukum dan Ham Bali, itu.

Sontak, jawaban itu membuat massa langsung naik pitam. Massa meminta Sutrisno membuka dokumen pengusulan Remisi Susrama.

“Ah, berkelakuan baik hanya untuk mendapat remisi, modus itu,” celetuk salah seorang massa.

Sustrisno terlihat kewalahan membendung protes massa. Akhrinya Sutrisno menyanggupi membuka dokumen tersebut yang akan diberikan pada Senin depan.

Sutrisno lantas meminta massa menyerahkan petisi. Sutrisno janji membawa langsung petisi tersebut ke Kementerian Hukum dan HAM. Kesanggupan itu tak membuat massa percaya.

Akhirnya salah seorang massa meminta Sutrisno menuangkan komitmennya dalam surat pernyataan yang diteken di atas meterai 6.000.

Sutrisno menyanggupi sambil mengatakan masak tidak percaya dengan dirinya. “Saya tidak akan lari,” ujar pria berkumis itu.

“Kepercayaan itu perlu dibuktikan, Pak. Buat surat pernyataan hitam di atas putih, baru kami percaya,” sahut salah satu massa.

Sutrisno akhirnya meneken surat pernyataan akan membawa langsung petisi Serikat Jurnalis Bali (SJB) ke Kemnterian Hukum dan HAM RI.

Massa memberi waktu sepekan kepada Sutrisno untuk menyampaikan hasil pertemuan itu. Jumat depan massa akan kembali mendatangi Sutrisno guna menagih janji yang sudah diucapkan.

 

 

 

DENPASAR – Seharusnya tidak ada lagi alasan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan remisi I Nyoman Susrama, dalang pembunuhan jurnalis Jawa Pos Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.

Tuntutan pencabutan remisi itu masif dilakukan di seluruh Indonesia, tak terkecuali di Bali. Jumat pagi (25/1) pukul 09.30, ratusan orang dari berbagai latar belakang,

mulai jurnalis, advokat, gabungan mahasiswa, hingga tokoh masyarakat Bali bergabung menyuarakan pencabutan remisi Susrama.

Beragam pamflet dan spanduk meminta Presiden mencabut Kepres Nomor 29/2018 yang megubah hukuman seumur hidup Susrama menjadi 20 tahun penjara.

Pamflet yang dibawa massa antara lain bertuliskan “Cabut Remisi Pembunuh Jurnalis”, “Tegakkan Kebebasan Pers Tuan Presiden” dan “Cabut Remisi Susrama”.

Penasihat hukum Serikat Jurnalis Bali (SJB), I Made “Ariel” Suardana menyebut remisi Presiden yang diberikan khusus untuk Susrama telah melukai kemerdekaan pers.

Suardana yang dari awal ikut mengawal pengusutan kasus Prabangsa ini mengaku kecewa dengan keputusan Presiden.

Ada dua hal yang membuat remisi Susrama harus ditolak. Pertama, jelas Suardana, kasus Prabangsa adalah kasus yang menjadi perhatian publik Bali, bahkan nasional.

Kedua yang menjadi korban adalah simbol pilar demokrasi. Kasus Prabangsa disamakan dengan kasus lainnya.

“Ada proses ketidakcermatan yang dilakukan Rutan Bangli, Kanwil Hukum dan HAM Bali, yang meneruskan usulan remisi ke pemerintah pusat,” kata Suardana.

Dia juga menilai bahwa remisi Susrama adalah remisi terselubung. Sebab, Kanwil Hukum dan HAM Bali tidak melakukan hearing atau dengar pendapat dengan publik sebelum mengajukan usulan remisi.

“Kasus Prabansa ini kasus publik. Karena tidak ada hearing, remisi ini terselubung yang tidak dapat diketahui masyarakat,” imbuhnya.

Suardana juga mengaku tidak paham dengan pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, yang menyatakan Susrama akan dipenjara 20 tahun lagi dan ditambah masa pidana 10 tahun yang dijalani.

Jadi total 30 tahun di penjara. Padahal, berdasar Keppres 147/1999, dalam pasal 9 ayat (1) pemberian remisi menjadi penjara sementara, maka tidak boleh menjalankan pidana 15 tahun lagi.

“Artinya, Susrama tidak lama lagi bebas. Cabut remisi Susrama,” beber Suardana. “Tidak ada yang tidak mungkin di Republik ini, pencabutan remisi itu sangat mungkin

asal ada keinginan Kanwil Hukum dan HAM Bali meneruskan permintaan menganulir remisi pada pemerintah pusat,” desaknya.

Menanggapi tuntutan massa, Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Bali, Sutrisno mengaku mengerti suasana kebatinan jurnalis yang kehilangan Prabangsa dalam menjalankan tugas profesi.

Namun, pria berkumis itu mengaku hanya sebagai pelaksana tugas, bukan sebagai pengambil keputusan.

Sutrisno mengklaim remisi Susrama sudah sesuai aturan. “Tapi, yang bersangkutan memenuhi pengajuan remisi. Antara lain berkelakuan baik dan sudah dihukum lima tahun penjara,” katanya.

“Kalau usulan Susrama dilakukan sejak 2014. Tahun 2015, 2016, ditolak. Barulah tahun 2017 mengusulkan dan Desember 2018 dikabulkan,” jelas pria yang baru sepekan menjadi Kepala Kanwil Hukum dan Ham Bali, itu.

Sontak, jawaban itu membuat massa langsung naik pitam. Massa meminta Sutrisno membuka dokumen pengusulan Remisi Susrama.

“Ah, berkelakuan baik hanya untuk mendapat remisi, modus itu,” celetuk salah seorang massa.

Sustrisno terlihat kewalahan membendung protes massa. Akhrinya Sutrisno menyanggupi membuka dokumen tersebut yang akan diberikan pada Senin depan.

Sutrisno lantas meminta massa menyerahkan petisi. Sutrisno janji membawa langsung petisi tersebut ke Kementerian Hukum dan HAM. Kesanggupan itu tak membuat massa percaya.

Akhirnya salah seorang massa meminta Sutrisno menuangkan komitmennya dalam surat pernyataan yang diteken di atas meterai 6.000.

Sutrisno menyanggupi sambil mengatakan masak tidak percaya dengan dirinya. “Saya tidak akan lari,” ujar pria berkumis itu.

“Kepercayaan itu perlu dibuktikan, Pak. Buat surat pernyataan hitam di atas putih, baru kami percaya,” sahut salah satu massa.

Sutrisno akhirnya meneken surat pernyataan akan membawa langsung petisi Serikat Jurnalis Bali (SJB) ke Kemnterian Hukum dan HAM RI.

Massa memberi waktu sepekan kepada Sutrisno untuk menyampaikan hasil pertemuan itu. Jumat depan massa akan kembali mendatangi Sutrisno guna menagih janji yang sudah diucapkan.

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/