DENPASAR– Dalam kondisi hamil besar, terdakwa Ni Putu Ary Wangi menjadi pesakitan. Perempuan 28 tahun itu didakwa melakukan penggelapan uang nasabah sebersar Rp 260 juta. Ari Wangi sendiri bekerja sebagai manager sekaligus kolektor di Koperasi Sri Kandi.
Yang menarik, meski telah mengakui menggelapkan uang Rp 260 juta, terdakwa mengatakan tidak ingat uang dipakai untuk apa. Jaksa dan hakim yang berusaha mengulik kegunaan uang tersebut tidak berhasil.
Dalam sidang daring, terdakwa juga tampak tenang. Dia sama sekali tidak terlihat tertekan. Semua jawaban hakim dan jaksa dijawab dengan lancar. “Saya mengakui mengambil uang itu (Rp 260 juta). Saya juga menyesali perbuatan saya. Tapi, saya lupa pakai apa uang itu,” ujar Ari Wangi.
“Ya, uangnya kamu pakai untuk kepentingan pribadi, tapi kepentingan pribadinya itu apa? Bangun rumah atau makan? Rp 260 juta itu uang besar, lo,” kejar hakim Putu Ayu Sudairiasih.
Terdakwa tetap tidak mau berterus terang. “Saya lupa, Yang Mulia,” jawabnya santai. Terdakwa kelahiran Denpasar itu juga mengakui dirinya tidak mengembalikan uang yang digelapkan. “Tapi, saya mengakui dan menyesali perbuatan saya, Yang Mulia,” ucapnya.
Hakim meminta JPU Dina Sitepu dari Kejari Denpasar untuk segera membuat tuntutan. Pasalnya, terdakwa dijadwalkan melahirkan 6 September 2022. Hakim memerintahkan sebelum lahiran perkara ini sudah selesai disidangkan.
Sementara itu, dalam dakwaan JPU Heppi Maulida dijelaskan, pada 2019 di dalam Pasar Pidada, Kecamatan Ubung, Kota Denpasar, saksi Ni Komang Dewi Fitriani bertemu dengan terdakwa yang bekerja sebagai manager merangkap sebagai kolektor di Koperasi Srikandi.
Saksi yang sudah lama menabung di Koperasi Srikandi kemudian menanyakan kepada terdakwa, apakah ada program simpanan berjangka (deposito). Terdakwa menjelaskan jika di Koperasi Srikandi ada program simpanan berjangka dengan bunga 1,25 persen perbulan, dan bunganya langsung dimasukkan ke rekening tabungan nasabah.
Atas penjelasan terdakwa, saksi tertarik untuk menyimpan uangnya. Pada 14 Maret 2019 di dalam Pasar Pidada Ubung, saksi memberikan uang sebesar Rp 100 juta secara tunai kepada terdakwa untuk mengikuti program deposito.
Beberapa bulan kemudian, terdakwa memberitahu saksi jika bunga simpanan berjangka sudah masuk ke rekening tabungan saksi. “Namun, saksi saat itu yang sudah percaya dengan terdakwa tidak mengecek tabungan,” jelas JPU.
Saksi kembali tertarik mendepositkan uangnya sebesar Rp 100 juta secara tunai kepada terdakwa. Beberapa waktu kemudian, saksi kembali mendepositkan uang sebesar Rp 60 juta di Koperasi Srikandi. Terdakwa mengambil uang secara tunai di tempat usaha saksi.
Nah, saat deposito jatuh tempo, saksi bermaksud melakukan pencairan terhadap dana miliknya. Saksi kemudian menghubungi terdakwa meminta melakukan proses pencairan.
Pada saat itu terdakwa mengatakan akan segera memproses pencairan dalam jangka waktu sekitar dua hingga tiga hari. Namun, ditunggu hingga sepekan, saksi tidak mendapat kabar dari terdakwa.
Terdakwa beralasan masih menunggu proses karena atasannya masih sibuk dan menjanjikan akan mencairkan dana tersebut keesokan harinya. Akan tetapi beberapa lama kemudian, terdakwa tak kunjung melakukan pencairan. Bahkan, terdakwa tidak pernah lagi datang ke pasar menemui saksi.
Saksi yang merasa curiga lalu mendatangi kantor Koperasi Srikandi. Ternyata terdakwa tidak pernah menyerahkan uang simpanan berjangka milik saksi dengan jumlah keseluruhan Rp 260 juta ke koperasi.
Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP atau Pasal 378 KUHP juncto UU yang sama. (san)