DENPASAR – Kepala BBPOM Denpasar I Gusti Ayu Adhi Aryapatni menyebut temuan produk ilegal kali ini relatif menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Ini karena tak lepas dari tindakan tegas pada 2012 silam. Saat itu BBPOM membawa ke ranah hukum salah satu pengimpor besar.
Hal itu diyakini membuat improtir lain berpikir ulang untuk menjual produknya di Bali. Untuk makanan dan minuma impor banyak ditemukan di pusat pariwisata seperti Ubud dan Kuta.
Makanan dan minuman impor ini tidak memiliki izin edar. “Karena Ubud dan Kuta adalah daerah wisata, mungkin untuk kebutuhan turis,” papar Ayu.
Selama melakukan operasi dari Januari hingga Maret, total BBPOM mengamankan 178 item dan 615 buah berbagai produk ilegal.
Kerugian ditaksir mencapai Rp 120 juta. Operasi BBPOM menyasar Kabupaten Gianyar, Badung dan Kota Denpasar.
BBPOM cukup kesulitan menemukan sumber produk ilegal serta memutus mata rantai penjualan. Ini karena pengedaran produk ilegal karena adanya modus beli putus.
“Kami belum pernah menemukan sumbernya karena biasanya didapat dari Jawa. Penjual di sini (Bali) saat ditanya asalannya tidak tahu, katanya sudah ada yang datang mengantar pakai sepeda motor,” tukas perempuan berkacamata itu.
Untuk temuan makanan berupa sarden berisi cacing yang banyak viral, Ayu membenarkan. Namun itu terjadi di Riau. Sementara di Bali masih belum ditemukan.
Ayu menambahkan, informasi viral tentang mikroplastik atau air kemasan yang menginap di dalam kabin mobil berbahaya tidak perlu dicemaskan.
Menurut dia, air minum dalam kemasan yang sudah terdafar dengan kode khusus MD sudah dijamin keamanannya.
“Pesan kami cerdas memilih produk. Kemasan harus utuh, tidak penyok, tidak karatan. Baca label harus ada izin edar. Serta baca tanggal kedaluwarsa,” tukasnya.
Lalu apa tindakan selanjutnya? BBPOM selain memusnahkan barang juga akan membangkan ke langkah hukum.
Jika buktinya cukup maka akan ditindaklanjuti ke penyidikan. Selama 2018 ini, BBPOM sudah menyiapkan empat perkara ke tahapan penyidikan berdasar hasil temuan di lapangan.
Berdasar UU kesehatan, pasal 196 disebutkan setiap orang yang sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar keamanan dan mutu diancam pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Sementara memproduksi dan mengedarkan tanpa izin edar, sesuai pasal 197 diancam 15 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar.