DENPASAR – Modus korupsi di Desa Pemecutan Kaja, Denpasar Utara dengan terdakwa perbekel AA Ngurah Arwatha, 47, akhirnya terungkap gamblang di Pengadilan Tipikor Denpasar.
Uang pungutan dari pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Jaba Puri Agung Jero Kuta dan pengusaha/pemilik toko dijadikan bancakan atau dibagi-bagi dan dinikmati perbekel beserta perangkatnya.
Mulai kepala dusun hingga anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mendapatkan dum-duman. Akibatnya, negara dalam hal ini Desa Pemecutan Kaja menderita kerugian Rp 190.102.000.
Ironisnya, terdakwa sebagai perbekel yang menginisiasi perbuatan melanggar hukum itu. Saat didudukkan di kursi pesakitan, terdakwa terlihat pasrah meski mendapat dukungan moril dari belasan anggota keluarganya.
“Pada 2017 hasil pungutan dari PKL dan pengusaha toko tidak dimasukkan ke dalam APBDes. Demikian pula dengan pungutan yang sama tidak dianggarkan sebagai penerimaan
pendapatan desa tahun anggaran 2018,” beber jaksa penuntut umum (JPU) Gusti Ayu Rai Artini dan I Nengah Astawa di hadapan majelis hakim yang diketuai Angeliky Handajani Day.
JPU Rai membeberkan musabab korupsi yang disponsori terdakwa. Terdakwa sebagai perbekel sekaligus sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan desa,
dalam memperoleh pendapatan desa dengan melakukan pungutan pada pedagang yang ada di pasar desa terletak di Jalan Sutomo, Denpasar.
Pelaksanaan pungutan itu didasarkan pada SK Kepala Desa Nomor 02/2005 tentang Pengenaan Sumbangan Pembangunan Desa.
Pemungutan terhadap pedagang dilakukan petugas perlindungan masyarakat (linmas). Praktiknya, linmas dibagi menjadi tiga grup dalam melakukan pungutan kepada pedagang, pengusaha atau pemilik toko di Desa Pemecutan Kaja.
“Petugas linmas memberikan pungutan dengan cara memberikan karcis senilai Rp 3.000 jika pengunjungnya ramai. Jika pengunjungnya sepi diberi karcis senilai Rp 2.000,” imbuh JPU Kejari Denpasar itu.
Karcis bertuliskan punia BUMDes itu dipungut setiap hari. Hasil pungutan kemudian disetorkan ke bendahara desa.
Selain melakukan pungutan pada pedagang pasar, juga melakukan pungutan pada pengusaha toko dengan karcis kisaran Rp 15.000 – 250.000 tiap bulan per toko, tergantung jenis usaha.
Petugas melakukan pungutan terhadap 27 – 30 pedagang dengan setoran Rp 125.000/hari atau sekitar Rp 3.000.000 per bulan.
Pada 2014 – 2016, terdakwa masih memasukkan pungutan ke dalam kas desa. Namun, sejak 2017 ketika Desa Pemecutan Kaja mendirikan BUMDes yang didirikan
berdasar peraturan desa Nomor 3/2016 tangal 1 Juni 2016. Pendapatan asli desa berdasar pungutan pedagang pasar dimasukkan ke dalam BUMDes.
Nah, dari sinilah perbuatan culas itu terjadi. Pendapatan yang bersumber dari pedagang yang sudah disetorkan ke bendahara desa,
dalam periode Januari 2017 – Februari 2018 sebesar Rp 190.102.000 malah dibagikan kepada kepala desa, aparatur desa, dan anggota BPD desa sebesar Rp 117.509.500.
Uang itu dijadikan tunjangan penghasilan kepala desa beserta jajarannya. Berdasar hasil audit keuangan negara dari BPKP Perwakilan Provinsi Bali ditemuakn potensi penerimaan sebesar Rp 190.102.000.
Setelah dilakukan pemeriksaan pada APBDes 2017 tidak terdapat laporan penerimaan pendapatan asli desa dari PKL dan pungutan pengusaha toko.
“Uang penerimaan hasil desa dipotong dan dibag-bagikan kepada kepala desa, aparatur desa, dan BPD desa, sebesar Rp 117 juta. Dan, disetorkan ke dalam kas BUMDes sebagai penyertaan modal Rp 72 juta,” jelas jaksa.
Terdakwa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa telah mengabaikan asas-asas keuangan desa sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2 ayat (3) Permendagri Nomor 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang diatur berdasar asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif, disiplin, dan tertib anggaran.
Terdakwa selaku kepala desa dalam menetapkan anggaran dan belanja desa juga tidak memasukkan uang pungutan pedagang kaki lima,
pungutan pengusaha toko, perusahaan, dan setoran Pasar Jaba Pui Agung Jero Kuta ke dalam APBDes 2017 dan APBDes perubahan 2017.
Perbuatan terdakwa tidak memasukkan pendapatan desa ke dalam BUMDes secara mandiri tanpa melalui mekanisme APBDes bertentangan dengan Permendes PDTT Nomor 4/2015.
“Terdakwa telah memperkaya diri sendiri, perangkat desa, kepala dusun, dan anggota BPD sebesar Rp 117.509.500 dan memperkaya BUMDes Rp 72.592.500, mengakibatkan kerugian negara Rp 190.102.000,” tegas JPU Rai.
Dalam dakwaan primer, perbuatan terdakwa diancam pidana Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedang dalam dakwaan subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b UU yang sama.Menanggapi dakwaan jaksa, terdakwa melalui pengacaranya tidak mengajukan eksepsi. Sidang lanjutan ditunda dua pekan lagi.