31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 9:47 AM WIB

Sudah Dua Kali Ramadan Tinggal di Tenda, Harap Lebaran Bisa di Rumah

Masih ingat warga Kampung Bugis, Pulau Serangan, yang tergusur  3 Januari 2017 lalu? Penggusuran yang  diwarnai kericuhan itu kini sudah 1,5 tahun.

Sebagian mereka masih tetap tinggal di tenda. Sudah dua kali bulan puasa. Dan, akan melewati dua kali Lebaran di pengungsian.

 

 

NI KADEK NOVI FEBRIANI, Denpasar

SENJA tetap menampakkan sinarnya sore itu. Tiga orang anak kecil tampak asyik bermain ayunan di depan pintu masuk pengungsian warga Kampung Bugis, Serangan.

Tampak ada tulisan BNPB di tenda biru, tempat tinggal sementara. Maklum, tenda itu memang punya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Ini sejak rumah mereka dihancurkan alat berat  karena digusur paksa,  persoalan tanah satu tahun silam. Para warga tersebut terpaksa tinggal di tenda dan mengungsi. 

Sembari menunggu berbuka puasa, beberapa warga tampak asyik  bercengkrama di bawah pohon. Di situ ada bangku untuk duduk-dudk. Sekadar bersantai. 

Seperti itulah rutinitas setiap sore. Apalagi pada bulan puasa, menunggu beduk Magrib tiba, mereka ngabuburit dengan duduk –duduk dan mengobrol 

“Kami di sini (mengungsi) sudah dua kali bulan puasa. Nanti dua kali Lebaran sudah kami di sini. Rindu pengin punya rumah ingin puasa di rumah,

dulu ingat punya rumah tapi sekarang ya, gini ” ucap Ibu Putri dengan nada sedih , saat Jawa Pos Radar Bali ini mengajak mengobrol kemarin.

Sejak tinggal di tenda, Ibu Putri selalu sakit. Menurutnya,  karena di tempat pengungsian banyak kotoran tikus. Di tambah juga, kalau siang hari kondisi sangat panas.

Sehingga dia pun tidak pernah  tidur siang. Sulit. Tidak nyaman. “Ini sejak di sini saya sakit jantung. Terus sakit juga. Dulu waktu di rumah tidak pernah sakit kayak begini,” begitu, tuturnya.

Pernyataan Ibu Putri pun juga disetujui oleh rekannya, Pak Amung. Pak Amung sudah beberapa hari ini tidak puasa karena sakit tenggorokan. Beberapa kali juga dia jatuh sakit karena tempatnya panas, menyesak.

“Saya sudah beberapa hari ini sakit tenggorokan. Tidak puasa. Di sini sesak juga. Tidak pernah tidur siang sejak tinggal di tenda karena panas,” jelas Pak Amung, sambil memegang bagian tenggorokannya.

Hal yang paling miris, kamar mandi di tempat pengungsian hanya ada lima unit saja. Sedangkan yang tinggal di sana ada 25 kepala keluarga (KK).

Untuk cuci maupun mandi, selain pakai air sumur, mereka juga terpaksa membeli air isi ulang untuk mendapatkan air bersih. Bahkan, saat Lebaran tahun lalu.  Para pengungsi harus rela antre mandi dari pukul 03.00 pagi, dini hari.

“ Ya, cuma lima WC- nya. Tapi kami kan berbanyak. Kadang-kadang terpaksa ke kamar mandi yang dekat masjid atau di depan kuburan ya lokasinya jauh dari  sini (tempat pengungsian),” ucap ibu Putri.

Meski begitu, tidak dimungkiri dengan penderitaan  itu, mereka mendapat saudara. Seperti ketika sahur, saling membangunkan dari tidur. Walau tidak berbuka bersama tapi sesama pengungsi saling membantu dan mengingatkan.

Kendati demikian, para pengungsi Kampung Bugis ini merindukan rumah. Mereka berharap punya tempat berlindung yang nyaman dari sinar matahari dan hujan.

Kata mereka, pemerintah tak pernah datang atau sekadar menjenguk mereka. “Tidak pernah pemerintah datang ke sini. Sama sekali tidak pernah,” ujar mereka.

Harapan para pengungsi ini, mereka ingin diberi tempat  yang layak. Sejauh ini, sudah setahun lebih, pemerintah hanya memberi tenda,

untuk selanjutnya tidak pernah datang.  Tanah yang dipakai saat ini pun tanah pribadi, milik salah seorang warga.  

Masih ingat warga Kampung Bugis, Pulau Serangan, yang tergusur  3 Januari 2017 lalu? Penggusuran yang  diwarnai kericuhan itu kini sudah 1,5 tahun.

Sebagian mereka masih tetap tinggal di tenda. Sudah dua kali bulan puasa. Dan, akan melewati dua kali Lebaran di pengungsian.

 

 

NI KADEK NOVI FEBRIANI, Denpasar

SENJA tetap menampakkan sinarnya sore itu. Tiga orang anak kecil tampak asyik bermain ayunan di depan pintu masuk pengungsian warga Kampung Bugis, Serangan.

Tampak ada tulisan BNPB di tenda biru, tempat tinggal sementara. Maklum, tenda itu memang punya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Ini sejak rumah mereka dihancurkan alat berat  karena digusur paksa,  persoalan tanah satu tahun silam. Para warga tersebut terpaksa tinggal di tenda dan mengungsi. 

Sembari menunggu berbuka puasa, beberapa warga tampak asyik  bercengkrama di bawah pohon. Di situ ada bangku untuk duduk-dudk. Sekadar bersantai. 

Seperti itulah rutinitas setiap sore. Apalagi pada bulan puasa, menunggu beduk Magrib tiba, mereka ngabuburit dengan duduk –duduk dan mengobrol 

“Kami di sini (mengungsi) sudah dua kali bulan puasa. Nanti dua kali Lebaran sudah kami di sini. Rindu pengin punya rumah ingin puasa di rumah,

dulu ingat punya rumah tapi sekarang ya, gini ” ucap Ibu Putri dengan nada sedih , saat Jawa Pos Radar Bali ini mengajak mengobrol kemarin.

Sejak tinggal di tenda, Ibu Putri selalu sakit. Menurutnya,  karena di tempat pengungsian banyak kotoran tikus. Di tambah juga, kalau siang hari kondisi sangat panas.

Sehingga dia pun tidak pernah  tidur siang. Sulit. Tidak nyaman. “Ini sejak di sini saya sakit jantung. Terus sakit juga. Dulu waktu di rumah tidak pernah sakit kayak begini,” begitu, tuturnya.

Pernyataan Ibu Putri pun juga disetujui oleh rekannya, Pak Amung. Pak Amung sudah beberapa hari ini tidak puasa karena sakit tenggorokan. Beberapa kali juga dia jatuh sakit karena tempatnya panas, menyesak.

“Saya sudah beberapa hari ini sakit tenggorokan. Tidak puasa. Di sini sesak juga. Tidak pernah tidur siang sejak tinggal di tenda karena panas,” jelas Pak Amung, sambil memegang bagian tenggorokannya.

Hal yang paling miris, kamar mandi di tempat pengungsian hanya ada lima unit saja. Sedangkan yang tinggal di sana ada 25 kepala keluarga (KK).

Untuk cuci maupun mandi, selain pakai air sumur, mereka juga terpaksa membeli air isi ulang untuk mendapatkan air bersih. Bahkan, saat Lebaran tahun lalu.  Para pengungsi harus rela antre mandi dari pukul 03.00 pagi, dini hari.

“ Ya, cuma lima WC- nya. Tapi kami kan berbanyak. Kadang-kadang terpaksa ke kamar mandi yang dekat masjid atau di depan kuburan ya lokasinya jauh dari  sini (tempat pengungsian),” ucap ibu Putri.

Meski begitu, tidak dimungkiri dengan penderitaan  itu, mereka mendapat saudara. Seperti ketika sahur, saling membangunkan dari tidur. Walau tidak berbuka bersama tapi sesama pengungsi saling membantu dan mengingatkan.

Kendati demikian, para pengungsi Kampung Bugis ini merindukan rumah. Mereka berharap punya tempat berlindung yang nyaman dari sinar matahari dan hujan.

Kata mereka, pemerintah tak pernah datang atau sekadar menjenguk mereka. “Tidak pernah pemerintah datang ke sini. Sama sekali tidak pernah,” ujar mereka.

Harapan para pengungsi ini, mereka ingin diberi tempat  yang layak. Sejauh ini, sudah setahun lebih, pemerintah hanya memberi tenda,

untuk selanjutnya tidak pernah datang.  Tanah yang dipakai saat ini pun tanah pribadi, milik salah seorang warga.  

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/