27.1 C
Jakarta
1 Mei 2024, 7:27 AM WIB

Idap Kolestasis, Warna Tubuh Kuning, Feses Putih, Biaya Operasi Rp 2 M

Baru berusia 8 bulan, I Gede Dipa Adnyana harus menghadapi cobaan mahaberat. Anak keempat dari pasangan I Gede Putu Wiryawan, 44, dan Ni Ketut Sudiani, 41, didiagnosis mengidap gangguan empedu.

 

 

DEWA AYU PITRI ARISANTI, Amlapura

DI usianya yang baru hitungan bulan, I Gede Dipa Adnyana, 8 bulan, anak dari pasangan suami-istri asal Banjar Sigar, Desa Nongan,

Karangasem, I Gede Putu Wiryawan, 44, dan Ni Ketut Sudiani, 41, sudah akrab dengan obat-obatan dan tindakan medis.

Namun, pengobatan yang telah dilakukan itu belum mampu mengobati tubuh mungilnya hingga geraknya pun tidak bisa leluasa akibat kondisi perut yang terus membesar setiap harinya.

Uang minimal Rp 2 miliar harus disiapkan pihak keluarga untuk menyembuhkan anak laki-laki itu dari penyakitnya.

Sang ayah, I Gede Putu Wiryawan menuturkan, anak keempat dari empat bersaudara itu sebenarnya lahir normal.

Menurut bidan yang membantu persalinan, Dipa dikatakan tidak memiliki kelainan apapun. Sampai akhirnya ketika berusia 3 bulan, tubuh Dipa terlihat berwarna kuning.

Begitu juga dengan urine yang juga berwarna kuning pekat. Sementara feses atau kotorannya berwarna putih pucat.

“Di usia 4 bulan, dianjurkan periksa ke dokter spesialis orang bidan yang sebelumnya menangani,” katanya.

Berbekal rujukan, akhirnya Dipa dirujuk ke RS Permata Hati. Namun, penyakit yang diderita Dipa tidak bisa ditangani di sana sehingga dirujuk ke RSUD Klungkung.

Oleh pihak RSUD Klungkung, Dipa lalu dirujuk ke RS Sanglah. Di RS Sanglah, Dipa akhirnya diopname selama seminggu untuk menjalani beberapa tahapan pengecekan kesehatan.

“Selama seminggu di RS Sanglah akhirnya keluar diagnosis dokternya. Jadi, anak saya mengidap kolestasis istilah kedokterannya.

Gangguan saluran empedu yang mengakibatkan racun makanan menyebar ke seluruh tubuh sehingga merusak sel hati,” ujarnya.

Akibat terinfeksinya organ hati, perut Dipa akhirnya membesar. Oleh dokter yang menangani, Dipa dikatakan harus menjalani operasi yang ternyata peralatannya ada di rumah sakit di Jakarta.

Tidak hanya lokasi pengobatan yang cukup jauh, biaya operasi pun tidak main-main. Untuk tindakan operasi, menurutnya, membutuhkan biaya sekitar Rp 2 miliar.

Uang sebanyak itu belum termasuk biaya rawat pascaoperasi. “Karena kalau operasi, yang paling vital kata dokternya transplantasi hati.

Karena harus di donor oleh hati ibunya. Sementara dari biaya operasi itu, yang ditanggung BPJS sekitar Rp 800 juta. Setelah operasi organ hati, baru akan dilanjutkan

dengan pembuatan saluran empedu. Mendengar penjelasan dokter, saya tidak bisa berbicara apa-apa, sementara istri menangis sejadi-jadinya,” bebernya.

Dengan pekerjaannya sebagai reseller kayu dan sementara istri bekerja sebagai pengecer kue dan reseller babi, menurutnya, sangat sulit baginya untuk mengumpulkan biaya sebesar itu dengan cepat.

Apalagi selama Dipa menjalani pengobatan beberapa bulan terakhir ini, ia dan istrinya tidak bekerja sehingga akhirnya mengandalkan tabungan yang kini sudah habis.

“Kemarin mengandalkan simpanan, sekarang bantuan dari saudara-saudara dekat. Kadang kalau ada orderan, saya tinggal sebentar biar ada saja bekal untuk kontrol dan beli obat yang tidak ditanggung BPJS,” terangnya.

Pada 29 Juni 2019 atau sekitar seminggu diopname di RS Sanglah, akhirnya Dipa melakukan rawat jalan. Setiap bulannya, Dipa harus melakukan kontrol ke RS Sanglah.

Mengingat biaya pengobatan medis yang sulit ia jangkau, selain rutin kontrol pihaknya juga mencoba pengobatan alternatif.

Ada enam paranormal tersebar di Klungkung, Bangli, Tabanan dan lainnya yang telah dimintai bantuannya, namun hasilnya nihil.

“Semua petunjuk sudah saya jalani. Disarankan nunas Ice (memohon) di Hyang Guru, Merajapati, dan Pura Dalem,” ungkapnya.

Dengan penyakit yang diderita anaknya dan operasi yang belum bisa dilakukan, perut Dipa terus membesar setiap harinya.

Kondisi itu membuat Dipa tidak bisa leluasa bergerak. “Kalau siang hari, biasa-biasa saja walau geraknya terbatas karena perut anak saya besar.

Tapi, kalau sudah malam, anak saya menangis terus seperti merasa sakit di bagian perut karena terus memegang perut.

Saya sangat berharap ada bantuan donatur untuk kesembuhan anak saya karena untuk mengandalkan kemampuan sendiri saya sudah tidak mampu,” tandasnya. (*)

 

Baru berusia 8 bulan, I Gede Dipa Adnyana harus menghadapi cobaan mahaberat. Anak keempat dari pasangan I Gede Putu Wiryawan, 44, dan Ni Ketut Sudiani, 41, didiagnosis mengidap gangguan empedu.

 

 

DEWA AYU PITRI ARISANTI, Amlapura

DI usianya yang baru hitungan bulan, I Gede Dipa Adnyana, 8 bulan, anak dari pasangan suami-istri asal Banjar Sigar, Desa Nongan,

Karangasem, I Gede Putu Wiryawan, 44, dan Ni Ketut Sudiani, 41, sudah akrab dengan obat-obatan dan tindakan medis.

Namun, pengobatan yang telah dilakukan itu belum mampu mengobati tubuh mungilnya hingga geraknya pun tidak bisa leluasa akibat kondisi perut yang terus membesar setiap harinya.

Uang minimal Rp 2 miliar harus disiapkan pihak keluarga untuk menyembuhkan anak laki-laki itu dari penyakitnya.

Sang ayah, I Gede Putu Wiryawan menuturkan, anak keempat dari empat bersaudara itu sebenarnya lahir normal.

Menurut bidan yang membantu persalinan, Dipa dikatakan tidak memiliki kelainan apapun. Sampai akhirnya ketika berusia 3 bulan, tubuh Dipa terlihat berwarna kuning.

Begitu juga dengan urine yang juga berwarna kuning pekat. Sementara feses atau kotorannya berwarna putih pucat.

“Di usia 4 bulan, dianjurkan periksa ke dokter spesialis orang bidan yang sebelumnya menangani,” katanya.

Berbekal rujukan, akhirnya Dipa dirujuk ke RS Permata Hati. Namun, penyakit yang diderita Dipa tidak bisa ditangani di sana sehingga dirujuk ke RSUD Klungkung.

Oleh pihak RSUD Klungkung, Dipa lalu dirujuk ke RS Sanglah. Di RS Sanglah, Dipa akhirnya diopname selama seminggu untuk menjalani beberapa tahapan pengecekan kesehatan.

“Selama seminggu di RS Sanglah akhirnya keluar diagnosis dokternya. Jadi, anak saya mengidap kolestasis istilah kedokterannya.

Gangguan saluran empedu yang mengakibatkan racun makanan menyebar ke seluruh tubuh sehingga merusak sel hati,” ujarnya.

Akibat terinfeksinya organ hati, perut Dipa akhirnya membesar. Oleh dokter yang menangani, Dipa dikatakan harus menjalani operasi yang ternyata peralatannya ada di rumah sakit di Jakarta.

Tidak hanya lokasi pengobatan yang cukup jauh, biaya operasi pun tidak main-main. Untuk tindakan operasi, menurutnya, membutuhkan biaya sekitar Rp 2 miliar.

Uang sebanyak itu belum termasuk biaya rawat pascaoperasi. “Karena kalau operasi, yang paling vital kata dokternya transplantasi hati.

Karena harus di donor oleh hati ibunya. Sementara dari biaya operasi itu, yang ditanggung BPJS sekitar Rp 800 juta. Setelah operasi organ hati, baru akan dilanjutkan

dengan pembuatan saluran empedu. Mendengar penjelasan dokter, saya tidak bisa berbicara apa-apa, sementara istri menangis sejadi-jadinya,” bebernya.

Dengan pekerjaannya sebagai reseller kayu dan sementara istri bekerja sebagai pengecer kue dan reseller babi, menurutnya, sangat sulit baginya untuk mengumpulkan biaya sebesar itu dengan cepat.

Apalagi selama Dipa menjalani pengobatan beberapa bulan terakhir ini, ia dan istrinya tidak bekerja sehingga akhirnya mengandalkan tabungan yang kini sudah habis.

“Kemarin mengandalkan simpanan, sekarang bantuan dari saudara-saudara dekat. Kadang kalau ada orderan, saya tinggal sebentar biar ada saja bekal untuk kontrol dan beli obat yang tidak ditanggung BPJS,” terangnya.

Pada 29 Juni 2019 atau sekitar seminggu diopname di RS Sanglah, akhirnya Dipa melakukan rawat jalan. Setiap bulannya, Dipa harus melakukan kontrol ke RS Sanglah.

Mengingat biaya pengobatan medis yang sulit ia jangkau, selain rutin kontrol pihaknya juga mencoba pengobatan alternatif.

Ada enam paranormal tersebar di Klungkung, Bangli, Tabanan dan lainnya yang telah dimintai bantuannya, namun hasilnya nihil.

“Semua petunjuk sudah saya jalani. Disarankan nunas Ice (memohon) di Hyang Guru, Merajapati, dan Pura Dalem,” ungkapnya.

Dengan penyakit yang diderita anaknya dan operasi yang belum bisa dilakukan, perut Dipa terus membesar setiap harinya.

Kondisi itu membuat Dipa tidak bisa leluasa bergerak. “Kalau siang hari, biasa-biasa saja walau geraknya terbatas karena perut anak saya besar.

Tapi, kalau sudah malam, anak saya menangis terus seperti merasa sakit di bagian perut karena terus memegang perut.

Saya sangat berharap ada bantuan donatur untuk kesembuhan anak saya karena untuk mengandalkan kemampuan sendiri saya sudah tidak mampu,” tandasnya. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/