32.8 C
Jakarta
20 September 2024, 16:44 PM WIB

Hidup Sebatang Kara di Rumah Sempit, Hasil Salak Tidak Menjanjikan

Kehidupan kakek I Ketut Pande Sriasih, 74, di penghujung usia sungguh miris. Kakek perajin pisau ini tinggal sebatang kara di rumahnya yang sempit dan tidak layak huni. Seperti apa?

 

WAYAN PUTRA, Amlapura

KAKEK I Ketut Pande Sriasih hidup seorang diri di Banjar Pengawan, Desa Sibetan, Bebandem, Karangasem. Dia tinggal di rumahnya yang tergolong sangat sederhana dan tidak layak huni.

Sehari-hari kakek bekerja sebagai perajin pisau dan petani. Namun, belakangan ini dirinya sudah tidak bisa bekerja lagi karena sudah lanjut usia.

Tepatnya dia menganggur sejak sang isri meninggal dunia. Kakek Pande sendiri punya lima orang anak, namun empat anaknya sudah meninggal dunia.

Sementara satu orang anaknya lagi sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari rumah sang kakek. Sang anak inilah yang sewaktu waktu menengok orang tuanya.

Menurut sang anak Komang Sunarti, 40, sejak tiga bulan lalu orang tuanya mengalami sesak nafas. Bahkan kalau kambuh sampai dilarikan di rumah sakit.

Kondisi ini membuat sang kakek tidak bisa bekerja lagi. Yang bersangkutan memang memiliki JKN KIS sehingga sejauh ini biaya perawatan rumah sakit tidak ada masalah.

“Sesak nafas sejak tiga bulan lalu, praktis tidak bisa bekerja lagi,” ujar Sunarti. Kakek Pande punya kebun salak yang tidak begitu luas.

Kebun ini ada di sekeliling rumahnya. Hanya saja karena harga salak anjlok, hasil kebun tersebut tidak bisa membantu untuk hidup sehari hari.

Sekali panen sang kakek hanya mampu menghasilkan uang Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu. Ini pun jika musim salak tiba.

Karena saat tidak musim salak tidak bisa mengasilkan buah. Untuk menyambung hidup, sang kakek terpaksa berjualan pisau.

Pisau ini dia garap sendiri terlebih lagi saat ini sudah tidak mampu lagi berkebun. Dia mengaku untuk membuat  satu pisau perlu waktu tiga hari.

Pisau inilah yang dia pasarkan ke pasar pasar tradisional di mana per buah dia jual seharga Rp 15 ribu sampai Rp 25 ribu per buah.

Terkadang sehari laku satu buahm bahkan terkadang tidak laku. Kalau tidak laku pisau tersebut akan di jual keesokan harinya.

Kakek Pande menurut kawil setempat memang sudah mendapat perhatian dari pemerintah desa. “Ya sudah kerap mendapat bantuan,” ujar Perbekel Sibetan Made Beru Suryawan.

Hanya saja kondisi rumahnya memang sederhana dan kurang layak huni. Belakangan ini sang kakek kerap mendapat perhatian dari berbagai relawan Karangasem.

Di antaranya adalah Eastribution, sebuah relawan yang bergerak di bidang kemanusiaan. Kemarin mereke sempat datang ke rumah sang kakek dan memberikan bantuan.

“Ya kita datang untuk sekedar berbagi pada sang kakek,” ujar Undish yang juga ketua relawan. (*)

 

Kehidupan kakek I Ketut Pande Sriasih, 74, di penghujung usia sungguh miris. Kakek perajin pisau ini tinggal sebatang kara di rumahnya yang sempit dan tidak layak huni. Seperti apa?

 

WAYAN PUTRA, Amlapura

KAKEK I Ketut Pande Sriasih hidup seorang diri di Banjar Pengawan, Desa Sibetan, Bebandem, Karangasem. Dia tinggal di rumahnya yang tergolong sangat sederhana dan tidak layak huni.

Sehari-hari kakek bekerja sebagai perajin pisau dan petani. Namun, belakangan ini dirinya sudah tidak bisa bekerja lagi karena sudah lanjut usia.

Tepatnya dia menganggur sejak sang isri meninggal dunia. Kakek Pande sendiri punya lima orang anak, namun empat anaknya sudah meninggal dunia.

Sementara satu orang anaknya lagi sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari rumah sang kakek. Sang anak inilah yang sewaktu waktu menengok orang tuanya.

Menurut sang anak Komang Sunarti, 40, sejak tiga bulan lalu orang tuanya mengalami sesak nafas. Bahkan kalau kambuh sampai dilarikan di rumah sakit.

Kondisi ini membuat sang kakek tidak bisa bekerja lagi. Yang bersangkutan memang memiliki JKN KIS sehingga sejauh ini biaya perawatan rumah sakit tidak ada masalah.

“Sesak nafas sejak tiga bulan lalu, praktis tidak bisa bekerja lagi,” ujar Sunarti. Kakek Pande punya kebun salak yang tidak begitu luas.

Kebun ini ada di sekeliling rumahnya. Hanya saja karena harga salak anjlok, hasil kebun tersebut tidak bisa membantu untuk hidup sehari hari.

Sekali panen sang kakek hanya mampu menghasilkan uang Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu. Ini pun jika musim salak tiba.

Karena saat tidak musim salak tidak bisa mengasilkan buah. Untuk menyambung hidup, sang kakek terpaksa berjualan pisau.

Pisau ini dia garap sendiri terlebih lagi saat ini sudah tidak mampu lagi berkebun. Dia mengaku untuk membuat  satu pisau perlu waktu tiga hari.

Pisau inilah yang dia pasarkan ke pasar pasar tradisional di mana per buah dia jual seharga Rp 15 ribu sampai Rp 25 ribu per buah.

Terkadang sehari laku satu buahm bahkan terkadang tidak laku. Kalau tidak laku pisau tersebut akan di jual keesokan harinya.

Kakek Pande menurut kawil setempat memang sudah mendapat perhatian dari pemerintah desa. “Ya sudah kerap mendapat bantuan,” ujar Perbekel Sibetan Made Beru Suryawan.

Hanya saja kondisi rumahnya memang sederhana dan kurang layak huni. Belakangan ini sang kakek kerap mendapat perhatian dari berbagai relawan Karangasem.

Di antaranya adalah Eastribution, sebuah relawan yang bergerak di bidang kemanusiaan. Kemarin mereke sempat datang ke rumah sang kakek dan memberikan bantuan.

“Ya kita datang untuk sekedar berbagi pada sang kakek,” ujar Undish yang juga ketua relawan. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/