24 C
Jakarta
13 September 2024, 1:46 AM WIB

9 Kali Naik Gunung Agung saat Status Naik, Selalu Bawa Sarana Ritual

Ketut Artha alias Jro Mangku Mokoh belakangan ini jadi sorotan karena ulah nekatnya yang kontroversial mendaki ke puncak Gunung Agung.

Di balik itu semua, dia mengaku punya alasan khusus untuk melakukan itu semua.

 

WAYAN PUTRA, Rendang

SAAT Jawa Pos Radar Bali bertandang ke tempat jualan Mangku Mokoh di jaba Pura Tap Sai, Dusun Pura Gae, Desa Pempatan, Rendang, Karangasem, pria 43 tahun ini dengan santai menyambut.

Mangku Mokoh sedang  bersantai di warungnya dengan hanya mengenakan kaus oblong putih, berkain sarung.

Begitu dipersilakan duduk, mulailah pembicaraan mengalir tentang kenapa pria yang juga pengayah di Pura Pandawa ini nekat naik Gunung Agung. Padahal kondisinya sudah di level 4, di level awas.

Pemangku ini mengaku tiga hari lalu baru saja naik ke puncak Gunung Agung bersama tiga orang rekanya.

Dia naik mulai pukul 09.00 dan sampai di puncak  hari Minggu, 24 Desember pagi. Jalur yang digunakan adalah dari jalur utara atau Desa Ban, Kubu.

Sekitar pukul 06.00 sore dua hari lalu dia tiba  di rumah. Dalam penuturannya, dia mengatakan bahwa ini adalah yang kesembilan kali dia naik ke Gunung Agung sejak aktivitas vulkanik meningkat drastis.

Bahkan, menurutnya perjalanan kali ini adalah yang paling berat dirasakan selama ini. Karena hujan turun sangat deras dan medan puncak gunung berketinggian  3.142 di atas permukaan laut ini sedang  licin.

“Saya sempat kedinginan. Makanya sedikit lama waktu naiknya,” ujarnya. Hanya saja, pada perjalanan kali ini dia menemukan sensasi yang luar biasa di puncak Gunung.

Dituturkan olehnya, bahwa tepat ada di puncak sedang sembahyang Gunung Agung tiba- tiba erupsi.  Ini sangat mengagetkannya.

Gunung bergetar sementara dari kawah keluar abu disertai dengan debu vulkanis. Badan dan rambutnya penuh dengan debu karena letusan tersebut.

Hanya saja dia mengakui bahwa memang letusan tersebut tidak panas. Tapi, bau belerangnya yang cukup menyengat.

Dia juga menceritakan bahwa saat itu lubang kawah sempat berlubang di bagian tengah. Namun tertimbun kembali. 

Dia juga sempat melihat mata kepala sendiri bahwa dari kawah gunung ada api setinggi sekitar tiga meteran, dan di pinggir kawah mengandung air.

Sementara dibandingkan dengan saat dia naik 13 Desember lalu isi kawah kali ini lebih banyak dari sebelumnya. “Ada peningkatan isi kawah sekitar tiga meter,” imbuhnya.

Saat naik 24 Desember lalu,  dia sejatinya sempat melakukan ritual mendem pedagingan di puncak Gunung Agung. 

Dia juga tiga kali melakukan ritual,  yakni di bawah gunung, pertengahan  dan di puncak gunung. Ini semua adalah sebagai bentuk ritual yang harus dia lakukan karena telah membuka lontar rahasia milik orang tuanya.

Sehingga kalau tidak melakukannya maka menurutnya dia  keluarganya bisa terkena bencana.

Dituturkan, awal  pertama kali naik 9 Agustus lalu. Dan Gunung Agung baru awal- awalnya mengalami peningkatan aktivitas vulkanis.

Saat naik pertama kali ini dia membawa benang Tridatu (benang tiga warga, merah, hitam putih) yang merupakan lambang Tri Murni, Brahma, Wisnu Siwa.

Saat itu dia membawa 18 ribu benang  Tridatu. Ini menurutnya tidak sembarangan. Ini sesuai dengan apa yang didapat dari petunjuk di lontar yang dia baca.

Lontar yang dibacanya tersebut sebagai lontar Purana Tujuh Sastra. Lontar tersebut dikatakan tidak sengaja dibaca karena waktu itu sejatinya tengah mencari hari baik dewasa ayu untuk menanam sayuran.

Karena kebetulan Jro Mangku adalah petani sayur hijau. Dengan dewasa ayu berharap sayuran yang ditanam akan berhasil baik.

Namun,  tanpa sengaja dia malah membaca lembaran yang terkait dengan tujuh aksara dan berkaitan dengan gempa dan bencana.

Saat itu disebutkan akan terjadi gempa sekitar bulan September. “Saya sudah tahu kalau akan terjadi gempa di lereng Gunung Agung sebelum gempa- gempa belakangan ini terjadi, karena telah membaca dalam lontar,” ujarnya.

Dan, menurutnya,  ternyata benar saja gempa pun terjadi dan Gunung Agung mengalami peningkatan aktivitas vulkanik.

Dia pun harus mendaki ke atas untuk melakukan ritual karena merasa bersalah telah membaca lontar tersebut.

Diakui saat letusan ini terjadi ada tiga kali embusan abu dan juga asap. Namun yang dirasakan di bawah hanya satu kali.

”Kalau kemarin baru belerang cukup keras. Sementara saat naik (13/12 lalu) belum begitu kuat bau belerangnya,” paparnya, menuturkan cerita.

Bahkan saat itu dia naik tidak menggunakan masker. Dia naik bertiga bersama dengan Jro Mangku Bon dan Jro Mangku Polih asal Singaraja.  

Namun,  Jro Mangku Polih langsung balik duluan setelah terjadi erupsi. Mangku Mokoh mengaku tidak takut karena apa yang dilakukan sebagai ritual untuk keselamatan dan kerahayuan  atau keselamatan  bersama.

“Kalau Mangku Polih sempat sampai puncak. Hanya saja usai muspa dia langsung balik,” jelasnya. Mangku Mokoh sendiri mengaku saat naik memang menggunakan sepatu.

Sementara Mangku Bon malah tanpa alas kaki. Sedangkan  ritual yang dilakukan ada beberapa tahapan. Di antaranya naik pertama membawa 333 buah pucuk daun sebagai sarana.

Daun ini ditanam di kawah Gunung Agung sebagai pekelem. Daun yang diambil pertama adalah daun lateng (sejenis daun tumbuhan yang beracun).

Naik kedua membawa 77 jenis kembang. Sewaktu  naik ketiga membawa pala bungkah dan pala gantung.

Selanjutnya, saat mendaki keempat kali melakukan ritual dengan membawa sarana bebek, angsa dan ayam yang sedang mengerami telurnya sebanyak sembilan butir.

Ayam itu menurutnya  didapat di Buleleng dan sedang bertelur di Merajan Rong Tiga (Kemulan). Kemudian sewaktu mendaki kelima kali dengan membawa sarana bebek, angsa yang langsung dilarung ke kawah.

Setelah itu  baru dilakukan nunas tirta dan menempatkan benang Tridatu saat naik ke enam kali. Tepat 42 hari setelah Hari Raya Galungan naik ketujuh kalinya untuk mengambil sebagian benang Tridatu.

Benang Tridatu ini memang tidak diambil sekalian dan akan diambil sebanyak dua kali. Kemarin mestinya bisa diambil habis.

Tapi,  karena terjadi gempa dan di atas hujan serta banyak lumpur benang Tridatu sempat tertindih badannya yang saat itu dengan tiarap langsung masuk lumpur.

Maka benang tersebut akan diambil lagi saat pendakian berikutnya. Sementara pengambilan benang  Tridatu dan Tirta yang kedua dilakukan saat naik kedelapan kali.

Saat naik yang terakhir, yang kesembilan, dua hari lalu melakukan mendem pedagingan dan juga nunas tirta.  Sedangkan benang Tridatu yang sudah diambil disimpan untuk dibagikan kepada warga sekitar. 

Ketut Artha alias Jro Mangku Mokoh belakangan ini jadi sorotan karena ulah nekatnya yang kontroversial mendaki ke puncak Gunung Agung.

Di balik itu semua, dia mengaku punya alasan khusus untuk melakukan itu semua.

 

WAYAN PUTRA, Rendang

SAAT Jawa Pos Radar Bali bertandang ke tempat jualan Mangku Mokoh di jaba Pura Tap Sai, Dusun Pura Gae, Desa Pempatan, Rendang, Karangasem, pria 43 tahun ini dengan santai menyambut.

Mangku Mokoh sedang  bersantai di warungnya dengan hanya mengenakan kaus oblong putih, berkain sarung.

Begitu dipersilakan duduk, mulailah pembicaraan mengalir tentang kenapa pria yang juga pengayah di Pura Pandawa ini nekat naik Gunung Agung. Padahal kondisinya sudah di level 4, di level awas.

Pemangku ini mengaku tiga hari lalu baru saja naik ke puncak Gunung Agung bersama tiga orang rekanya.

Dia naik mulai pukul 09.00 dan sampai di puncak  hari Minggu, 24 Desember pagi. Jalur yang digunakan adalah dari jalur utara atau Desa Ban, Kubu.

Sekitar pukul 06.00 sore dua hari lalu dia tiba  di rumah. Dalam penuturannya, dia mengatakan bahwa ini adalah yang kesembilan kali dia naik ke Gunung Agung sejak aktivitas vulkanik meningkat drastis.

Bahkan, menurutnya perjalanan kali ini adalah yang paling berat dirasakan selama ini. Karena hujan turun sangat deras dan medan puncak gunung berketinggian  3.142 di atas permukaan laut ini sedang  licin.

“Saya sempat kedinginan. Makanya sedikit lama waktu naiknya,” ujarnya. Hanya saja, pada perjalanan kali ini dia menemukan sensasi yang luar biasa di puncak Gunung.

Dituturkan olehnya, bahwa tepat ada di puncak sedang sembahyang Gunung Agung tiba- tiba erupsi.  Ini sangat mengagetkannya.

Gunung bergetar sementara dari kawah keluar abu disertai dengan debu vulkanis. Badan dan rambutnya penuh dengan debu karena letusan tersebut.

Hanya saja dia mengakui bahwa memang letusan tersebut tidak panas. Tapi, bau belerangnya yang cukup menyengat.

Dia juga menceritakan bahwa saat itu lubang kawah sempat berlubang di bagian tengah. Namun tertimbun kembali. 

Dia juga sempat melihat mata kepala sendiri bahwa dari kawah gunung ada api setinggi sekitar tiga meteran, dan di pinggir kawah mengandung air.

Sementara dibandingkan dengan saat dia naik 13 Desember lalu isi kawah kali ini lebih banyak dari sebelumnya. “Ada peningkatan isi kawah sekitar tiga meter,” imbuhnya.

Saat naik 24 Desember lalu,  dia sejatinya sempat melakukan ritual mendem pedagingan di puncak Gunung Agung. 

Dia juga tiga kali melakukan ritual,  yakni di bawah gunung, pertengahan  dan di puncak gunung. Ini semua adalah sebagai bentuk ritual yang harus dia lakukan karena telah membuka lontar rahasia milik orang tuanya.

Sehingga kalau tidak melakukannya maka menurutnya dia  keluarganya bisa terkena bencana.

Dituturkan, awal  pertama kali naik 9 Agustus lalu. Dan Gunung Agung baru awal- awalnya mengalami peningkatan aktivitas vulkanis.

Saat naik pertama kali ini dia membawa benang Tridatu (benang tiga warga, merah, hitam putih) yang merupakan lambang Tri Murni, Brahma, Wisnu Siwa.

Saat itu dia membawa 18 ribu benang  Tridatu. Ini menurutnya tidak sembarangan. Ini sesuai dengan apa yang didapat dari petunjuk di lontar yang dia baca.

Lontar yang dibacanya tersebut sebagai lontar Purana Tujuh Sastra. Lontar tersebut dikatakan tidak sengaja dibaca karena waktu itu sejatinya tengah mencari hari baik dewasa ayu untuk menanam sayuran.

Karena kebetulan Jro Mangku adalah petani sayur hijau. Dengan dewasa ayu berharap sayuran yang ditanam akan berhasil baik.

Namun,  tanpa sengaja dia malah membaca lembaran yang terkait dengan tujuh aksara dan berkaitan dengan gempa dan bencana.

Saat itu disebutkan akan terjadi gempa sekitar bulan September. “Saya sudah tahu kalau akan terjadi gempa di lereng Gunung Agung sebelum gempa- gempa belakangan ini terjadi, karena telah membaca dalam lontar,” ujarnya.

Dan, menurutnya,  ternyata benar saja gempa pun terjadi dan Gunung Agung mengalami peningkatan aktivitas vulkanik.

Dia pun harus mendaki ke atas untuk melakukan ritual karena merasa bersalah telah membaca lontar tersebut.

Diakui saat letusan ini terjadi ada tiga kali embusan abu dan juga asap. Namun yang dirasakan di bawah hanya satu kali.

”Kalau kemarin baru belerang cukup keras. Sementara saat naik (13/12 lalu) belum begitu kuat bau belerangnya,” paparnya, menuturkan cerita.

Bahkan saat itu dia naik tidak menggunakan masker. Dia naik bertiga bersama dengan Jro Mangku Bon dan Jro Mangku Polih asal Singaraja.  

Namun,  Jro Mangku Polih langsung balik duluan setelah terjadi erupsi. Mangku Mokoh mengaku tidak takut karena apa yang dilakukan sebagai ritual untuk keselamatan dan kerahayuan  atau keselamatan  bersama.

“Kalau Mangku Polih sempat sampai puncak. Hanya saja usai muspa dia langsung balik,” jelasnya. Mangku Mokoh sendiri mengaku saat naik memang menggunakan sepatu.

Sementara Mangku Bon malah tanpa alas kaki. Sedangkan  ritual yang dilakukan ada beberapa tahapan. Di antaranya naik pertama membawa 333 buah pucuk daun sebagai sarana.

Daun ini ditanam di kawah Gunung Agung sebagai pekelem. Daun yang diambil pertama adalah daun lateng (sejenis daun tumbuhan yang beracun).

Naik kedua membawa 77 jenis kembang. Sewaktu  naik ketiga membawa pala bungkah dan pala gantung.

Selanjutnya, saat mendaki keempat kali melakukan ritual dengan membawa sarana bebek, angsa dan ayam yang sedang mengerami telurnya sebanyak sembilan butir.

Ayam itu menurutnya  didapat di Buleleng dan sedang bertelur di Merajan Rong Tiga (Kemulan). Kemudian sewaktu mendaki kelima kali dengan membawa sarana bebek, angsa yang langsung dilarung ke kawah.

Setelah itu  baru dilakukan nunas tirta dan menempatkan benang Tridatu saat naik ke enam kali. Tepat 42 hari setelah Hari Raya Galungan naik ketujuh kalinya untuk mengambil sebagian benang Tridatu.

Benang Tridatu ini memang tidak diambil sekalian dan akan diambil sebanyak dua kali. Kemarin mestinya bisa diambil habis.

Tapi,  karena terjadi gempa dan di atas hujan serta banyak lumpur benang Tridatu sempat tertindih badannya yang saat itu dengan tiarap langsung masuk lumpur.

Maka benang tersebut akan diambil lagi saat pendakian berikutnya. Sementara pengambilan benang  Tridatu dan Tirta yang kedua dilakukan saat naik kedelapan kali.

Saat naik yang terakhir, yang kesembilan, dua hari lalu melakukan mendem pedagingan dan juga nunas tirta.  Sedangkan benang Tridatu yang sudah diambil disimpan untuk dibagikan kepada warga sekitar. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/