DENPASAR-Pernyataan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Wisnuthama Kusbandio dan Wakil Menparekraf Angela Tanoesudibyo di sejumlah media untuk menyulap Bali dan Toba lebih ramah wisman muslim kembali membuat “gaduh”.
Tak hanya kembali bikin polemik, pernyataan dua pejabat baru di Kementerian Parekraf itu juga banyak disesalkan oleh para tokoh di Bali.
Tak terkecuali Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dapil Bali I Wayan Sudirta SH.
Bahkan atas pernyataan pengganti dari Menpar Arief Yahya di media itu, Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI ini meminta agar Mantan CEO PT. Net Mediatama Televisi (Net TV) tidak melontarkan pernyataan yang mengkotakkan dan menyudutkan kelompok tertentu
“Tetapi Menparekraf mesti melihat fakta obyektif secara sosial dan historis,”tegas Sudirta.
Alasan agar Wisnuthama melihat fakta obyektif itu, lanjut Sudirta, karena sejak ratusan tahun, masyarakat Bali sangat ramah dan toleran terhadap pendatang.
Baik itu pendatang beragama Budha, Kristen, Muslim, dan lainnya.
‘’Kalau benar ada pernyataan seperti itu, itu memojokkan orang dan pariwisata Bali yang seakan-akan tidak ramah terhadap wisatawan Muslim.
Padahal, sampai Raja Salman berlibur di Bali dan memperpanjangnya beberapa hari, satu pun tidak ada keluhan bahwa Bali tidak ramah bagi Muslim.
Karena sejatinya, Bali mengembangkan Kepariwisataan berbasis budaya, keramahannya untuk semua umat manusia, bahkan semua makhluk, sesuai ajaran Tri Hita Karana; memuliakan sesama manusia, alam dan Tuhan,’’ jelas Sudirta.
Kalau Menpar mau membuka catatan sejarah, bagaimana raja-raja Bali di Buleleng, Jembrana, Badung, Klungkung, Karangasem, dan lainnya, bersikap sangat baik terhadap saudara Muslim,
dengan diberikannya tanah-tanah untuk membangun perkampungan Muslim, itu mematahkan ujaran seakan Bali tidak ramah bagi wisatawan Muslim.
‘’Jangankan wisatawan, semeton Muslim sudah ratusan tahun berinteraksi sosial dengan masyarakat Hindu di Bali tanpa pernah ada diskriminasi, toleransi yang sangat indah.
Justru wacana-wacana seperti yang dilontarkan Menpar bisa memprovokasi suasana yang sudah rukun akan tergosok-gosok, membuat orang tersingggung, dan menimbulkan suasana psikologis yang tidak nyaman.
Jangan sampai tanpa disadarinya, pernyataan Menpar justru mengadu domba umat Hindu dengan umat Muslim,’’ sambungnya.
Bahkan dalam konteks pengembangan pariwisatanya menampilkan kearifan lokal Bali dengan mengembangkan Kepariwisataan Budaya, dan tahun 2012 diketok palu menjadi Perda No. 2 Tahun 2012.
Isi Perda tersebut merupakan sari-sari kearifan lokal Bali yang telah dibangun ratusan tahun dan tidak pernah ada wacana pariwisata Bali bersifat diskriminatif pada golongan wisatawan tertentu.
Sudirta minta Menteri Pariwisata Wisnuthama mendengar dan menyerap lebih banyak lagi tentang nilai-nilai budaya Bali, menyandingkannya dengan prinsip-prinsip bernegara yang berdasarkan Pancasila dan menjaga budaya Nusantara yang Bhinneka ini secara baik.
Sudirta coba menggambarkan bagaimana saudara Muslim di Bali telah berinteraksi sosial sangat dekat, dengan menggabungkan nama Bali dengan nama Muslim, seperti misalnya nama Ketut Syahruwardi Abbas, dimana Ketut diambil dari nama Bali, dan Syahruwardi jelas nama Muslim.
‘’Saudara Muslim dan Hindu di Bali sudah ratusan tahun saling menghargai, sama-sama memberikan keramahan, apalagi bagi wisatawan Muslim.
Tidak pernah ada diskriminasi, karena Bali menyediakan keramahannya bagi semua wisatawan.
Soal makanan halal yang menjadi kebutuhan wisatawan Muslim, ada restoran yang menyediakan makanan halal, tapi banyak wisatawan asing yang suka menikmati kuliner dari daging babi, dan semuanya dipisahkan secara baik, agar tetap nyaman bagi yang tidak suka.
Bahkan resto vegetarian pun berkembang bagus, bisa menjadi pilihan wisatawan yang tidak makan daging sama sekali,’’ jelas Sudirta.
Lagi pula, pengertian pariwisata yang ramah bagi wisatawan Muslim, belum dielaborasi dengan baik, sehingga mudah menimbulkan reaksi apriori.
Sudirta memahami, mengapa banyak yang apriori, karena sebelum gagasan Menpar Wisnuthama ini, sudah ada wacana sebelumnya, diantaranya mengembangkan pariwisata halal yang sudah ditolak, dan sebelum itu ada wacana pariwisata syariah, yang juga menjadi kontroversi.
‘’Sebaiknya Menteri fokus pada pengembangan kepariwisataan, untuk Bali, yang menyumbang devisa sangat besar kepada Negara, dirasakan belum mendapat kontribusi balik yang seimbang untuk merawat berbagai sumber penghasil devisa tersebut, diantaranya kebudayaan.
Menpar tolong mendengar juga beban yang dipikul oleh masyarakat Bali dalam pembangunan, yang menarik wisatawan datang ke Bali,’’ tukasnya.