Warning: Undefined variable $reporternya in /var/www/devwpradar/wp-content/themes/Newspaper/functions.php on line 229
26.1 C
Jakarta
24 Juli 2024, 5:54 AM WIB

Jago PDIP Diuntungkan Pemilih Tradisional, Dosen Politik Ajak Rasional

DENPASAR – Pengumuman 75 pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara live streaming tahap III yang digelar DPP PDI Perjuangan, Selasa (11/8/2020) membuat banyak pihak penasaran. Dag-dig-dug tersebut sirna sesaat lantaran dari 75 nama pasangan calon yang mendapat restu Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri, tak satu pun berasal dari Bali.

Tak ada nama I Gusti Ngurah Jaya Negara- I Kadek Agus Arya Wibawa yang digadang-gadang berpasangan di Kota Denpasar; I Made Kembang Hartawan- I Ketut Sugiasa duet di Kabupaten Jembrana; I Komang Gede Sanjaya, Made Edi Wirawan, I Made Dirga, I Gede Made Dedy, atau Putu Eka Nurcahyadi berjuang bersama mempertahankan dominasi banteng Tabanan; Sang Nyoman Sedana Artha- I Wayan Diar di Bangli; I Gede Dana- I Wayan Artha Dipa di Karangasem, dan Nyoman Giri Prasta- Ketut Suiasa di Badung.

 

Tak sedikit masyarakat yang berceloteh terkait kembali mundurnya rekomendasi parpol berlambang moncong putih untuk Pilkada Serentak 2020 di Bali. Komentar yang paling mencolok dan mengundang perhatian banyak pihak ditulis oleh pemilik akun Facebook Made Sila, Selasa (11/8/2020). 

“Clepuk barong pesuang PDI di Tabanan, rage tetap pilih PDI. (Burung hantu barong dikeluarkan PDI di Tabanan, saya tetap pilih PDI),” tulisnya. 

Jika paslon yang diusung PDI Perjuangan berkualitas hal ini tak jadi masalah. Sebaliknya, akan menjadi problem luar biasa dan berdampak buruk bagi masyarakat luas jika paslon yang diusung tidak berintegritas. Hal ini mengingatkan istilah, “pejah gesang nderek Bung Karno”, yang artinya mati-hidup ikut Bung Karno. Atau ganti saja, kata: Bung Karno, menjadi PDI Perjuangan atau Megawati, ketum PDIP. Bahasa kasarnya, busuk sekalipun, tetap dipilih.

Ini juga juga mengingatkan celoteh AAN Oka Ratmadi, penglingsir Puri Satria dalam Pilkada di Bali beberapa tahun silam. Kala itu, Cok Rat, demikian disapa, melontarkan pernyataan, monyet sekalipun bila itu yang dicalonkan dari PDIP, akan terpilih.

Menyikapi perilaku politik “asal merah, coblos” yang marak terjadi di Bali, Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Udayana, Dr. Kadek Dwita Apriani, S.Sos, MIP buka suara. Doktor politik perempuan pertama di Bali itu menyebut ditinjau menggunakan teori voting behavior (perilaku memilih), pemilih tersebut tergolong kelompok dengan party-identification (party id) tinggi. Party id dimaksud merupakan derajat kedekatan warga dengan partai yang diyakininya.

Rata-rata angka party id di Indonesia pada tahun 2014-2019 adalah 14 persen. Tapi Bali punya angka jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional, yaitu di kisaran angka 24 persen. Ini keuntungan “jago” dari PDIP di Bali.

“Dengan kata lain, mereka akan memilih siapapun yang dicalonkan oleh PDI Perjuangan. Mereka pemilih loyal dan di Bali jumlahnya di kisaran seperempat dari total pemilih,” ucap Dwita. Istilah memilih siapapun yang dicalonkan pasti menang inilah yang sering diplesetkan oleh masyarakat.

Disinggung soal upaya penyeleksian dan perwakilan pemilih sebagai upaya tandingan party-id yang tinggi, Dwita menjawab sesuai ketentuan semua warga negara yang berusia 17 tahun ke atas, punya KTP, dan atau sudah menikah di satu wilayah yang mengadakan kontestasi adalah sah sebagai pemilih. “Pemilih tidak boleh diseleksi-seleksi karena prinsipnya one person, one vote, one value,” ucapnya.

Party-Id tinggi, terangnya bukan satu hal yang salah. Di Amerika Serikat sekalipun party id ini terjadi. “Ungkapan khasnya “I’m a Republican”. Yang dipercaya itu nilai-nilai partainya. Party-id kata peneliti voting mirip seperti agama. Sulit berubah kalau tidak ada goncangan besar dalam hidup seseorang. Party-id ini umumnya merupakan warisan dari orang tua ke anaknya. Di Bali, mekanisme rekruitmen calon di internal partai yang bermasalah sehingga party id ini acapkali berdampak buruk,” ungkap alumni SMA Negeri 1 Denpasar itu.

Dwita menggarisbawahi tidak ada yang salah dengan pemilih yang berparty-id. Yang salah bila partai politik tidak menjalani fungsinya dengan baik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya konstituen alias pemilihnya.

“Pemilih bisa kita kategorikan sebagai pemilih tradisional dan pemilih rasional. Pemilih rasional khususnya kaum terdidik, menengah perkotaan cirinya berbeda. Si rasional umumnya mempertimbangkan untung rugi, program kerja, visi-misi, track record kandidat. Sebaliknya, si tradisional umumnya pertimbangannya partai, tokoh agama, puri, ormas, dan sejenisnya,” tandasnya sembari mengajak masyarakat untuk menjadi pemilih rasional dan mempertimbangkan track record dan tawaran kandidat via visi-misi dan program.

Perlu dicatat, Dwita mengatakan pemilih tradisional itu tidak selalu ada di desa. Hal ini berhubungan dengan pola pikir. Di negara maju selevel Amerika Serikat masih ada pemilih berparty id yang termasuk pemilih tradisional jika dilihat dari teori voting behavior.

“Pemilih tradisional itu sulit dipoles jadi rasional karena basisnya sosialisasi politik tentang nilai dalam keluarga atau yang dikenal sebagai sosialisasi politik jangka panjang. Agak berat, tapi bukan berarti nggak mungkin. Klungkung dan Karangasem buktinya. Pemilih di Badung juga pernah memilih sosok Anak Agung Gede Agung yang dikenal super cerdas dan memiliki integritas tinggi sehingga di akhir masa jabatannya pada 2017 menyisakan Silpa hingga Rp 1,3 Triliun rupiah,” bebernya.

DENPASAR – Pengumuman 75 pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara live streaming tahap III yang digelar DPP PDI Perjuangan, Selasa (11/8/2020) membuat banyak pihak penasaran. Dag-dig-dug tersebut sirna sesaat lantaran dari 75 nama pasangan calon yang mendapat restu Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri, tak satu pun berasal dari Bali.

Tak ada nama I Gusti Ngurah Jaya Negara- I Kadek Agus Arya Wibawa yang digadang-gadang berpasangan di Kota Denpasar; I Made Kembang Hartawan- I Ketut Sugiasa duet di Kabupaten Jembrana; I Komang Gede Sanjaya, Made Edi Wirawan, I Made Dirga, I Gede Made Dedy, atau Putu Eka Nurcahyadi berjuang bersama mempertahankan dominasi banteng Tabanan; Sang Nyoman Sedana Artha- I Wayan Diar di Bangli; I Gede Dana- I Wayan Artha Dipa di Karangasem, dan Nyoman Giri Prasta- Ketut Suiasa di Badung.

 

Tak sedikit masyarakat yang berceloteh terkait kembali mundurnya rekomendasi parpol berlambang moncong putih untuk Pilkada Serentak 2020 di Bali. Komentar yang paling mencolok dan mengundang perhatian banyak pihak ditulis oleh pemilik akun Facebook Made Sila, Selasa (11/8/2020). 

“Clepuk barong pesuang PDI di Tabanan, rage tetap pilih PDI. (Burung hantu barong dikeluarkan PDI di Tabanan, saya tetap pilih PDI),” tulisnya. 

Jika paslon yang diusung PDI Perjuangan berkualitas hal ini tak jadi masalah. Sebaliknya, akan menjadi problem luar biasa dan berdampak buruk bagi masyarakat luas jika paslon yang diusung tidak berintegritas. Hal ini mengingatkan istilah, “pejah gesang nderek Bung Karno”, yang artinya mati-hidup ikut Bung Karno. Atau ganti saja, kata: Bung Karno, menjadi PDI Perjuangan atau Megawati, ketum PDIP. Bahasa kasarnya, busuk sekalipun, tetap dipilih.

Ini juga juga mengingatkan celoteh AAN Oka Ratmadi, penglingsir Puri Satria dalam Pilkada di Bali beberapa tahun silam. Kala itu, Cok Rat, demikian disapa, melontarkan pernyataan, monyet sekalipun bila itu yang dicalonkan dari PDIP, akan terpilih.

Menyikapi perilaku politik “asal merah, coblos” yang marak terjadi di Bali, Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Udayana, Dr. Kadek Dwita Apriani, S.Sos, MIP buka suara. Doktor politik perempuan pertama di Bali itu menyebut ditinjau menggunakan teori voting behavior (perilaku memilih), pemilih tersebut tergolong kelompok dengan party-identification (party id) tinggi. Party id dimaksud merupakan derajat kedekatan warga dengan partai yang diyakininya.

Rata-rata angka party id di Indonesia pada tahun 2014-2019 adalah 14 persen. Tapi Bali punya angka jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional, yaitu di kisaran angka 24 persen. Ini keuntungan “jago” dari PDIP di Bali.

“Dengan kata lain, mereka akan memilih siapapun yang dicalonkan oleh PDI Perjuangan. Mereka pemilih loyal dan di Bali jumlahnya di kisaran seperempat dari total pemilih,” ucap Dwita. Istilah memilih siapapun yang dicalonkan pasti menang inilah yang sering diplesetkan oleh masyarakat.

Disinggung soal upaya penyeleksian dan perwakilan pemilih sebagai upaya tandingan party-id yang tinggi, Dwita menjawab sesuai ketentuan semua warga negara yang berusia 17 tahun ke atas, punya KTP, dan atau sudah menikah di satu wilayah yang mengadakan kontestasi adalah sah sebagai pemilih. “Pemilih tidak boleh diseleksi-seleksi karena prinsipnya one person, one vote, one value,” ucapnya.

Party-Id tinggi, terangnya bukan satu hal yang salah. Di Amerika Serikat sekalipun party id ini terjadi. “Ungkapan khasnya “I’m a Republican”. Yang dipercaya itu nilai-nilai partainya. Party-id kata peneliti voting mirip seperti agama. Sulit berubah kalau tidak ada goncangan besar dalam hidup seseorang. Party-id ini umumnya merupakan warisan dari orang tua ke anaknya. Di Bali, mekanisme rekruitmen calon di internal partai yang bermasalah sehingga party id ini acapkali berdampak buruk,” ungkap alumni SMA Negeri 1 Denpasar itu.

Dwita menggarisbawahi tidak ada yang salah dengan pemilih yang berparty-id. Yang salah bila partai politik tidak menjalani fungsinya dengan baik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya konstituen alias pemilihnya.

“Pemilih bisa kita kategorikan sebagai pemilih tradisional dan pemilih rasional. Pemilih rasional khususnya kaum terdidik, menengah perkotaan cirinya berbeda. Si rasional umumnya mempertimbangkan untung rugi, program kerja, visi-misi, track record kandidat. Sebaliknya, si tradisional umumnya pertimbangannya partai, tokoh agama, puri, ormas, dan sejenisnya,” tandasnya sembari mengajak masyarakat untuk menjadi pemilih rasional dan mempertimbangkan track record dan tawaran kandidat via visi-misi dan program.

Perlu dicatat, Dwita mengatakan pemilih tradisional itu tidak selalu ada di desa. Hal ini berhubungan dengan pola pikir. Di negara maju selevel Amerika Serikat masih ada pemilih berparty id yang termasuk pemilih tradisional jika dilihat dari teori voting behavior.

“Pemilih tradisional itu sulit dipoles jadi rasional karena basisnya sosialisasi politik tentang nilai dalam keluarga atau yang dikenal sebagai sosialisasi politik jangka panjang. Agak berat, tapi bukan berarti nggak mungkin. Klungkung dan Karangasem buktinya. Pemilih di Badung juga pernah memilih sosok Anak Agung Gede Agung yang dikenal super cerdas dan memiliki integritas tinggi sehingga di akhir masa jabatannya pada 2017 menyisakan Silpa hingga Rp 1,3 Triliun rupiah,” bebernya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/