27.8 C
Jakarta
22 November 2024, 23:53 PM WIB

Rekonsiliasi Tidak Sebatas Bagi Kursi

Pilpres dan Pileg 2019 telah berakhir  dengan diputuskan oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 27 Juni 2019 lalu; artinya semua permasalahan dan perdebatan selama Pemilu 2019 berakhir kembali menyatukan diri sebagai sebuah bangsa. persaudaraan dan persatuan;

 

Oleh : I Made Pria Dharsana

 

Perdebatan dan perseteruan kampanye sangat keras dan tajam sampai mempolarisasi masyarakat tidak bisa dianggap sepele.

Di tengah menguatnya populisme kanan yang diwacanakan dalam masa kampanye baik elit paslon dengan tim relawan mengeras di tingkat akar rumput.

Pemilu bukanlah pertaruhan hidup mati. Perhelatan pemilu  per lima tahunan sebagai implementasi yang sesungguhnya dalam demokrasi era reformasi.

Pemilu menjadi barometer tumbuh dan dewasanya tingkat pemahaman warga bangsa terhadap demokrasi.

Tapi tidak seperti itu kenyataannya, media masa dan sosial begitu cepat terserap di masyarakat tanpa adanya kemampuan menyaring informasi yang didasarkan kepada data dan fakta. 

Jika demikian berita bohong, hoaks termakan dengan mudah.

Apalagi tingkat literasi yang masih tendah.

Semangat dukungan dan militansi tanpa ukuran kapabelitas paslon yang kuat dalam masa dan waktu yang tepat.

Kapasitas dan kapabelitas diperlukan untuk benar-benar dibutuhkan masyarakat yang sungguh-sungguh menyerap aspirasi, yang dibutuhkan  masyarakat.

Bukan hanya menjadi life service dan berdebu di rak-rak perpustakaan.

 

Di era reformasi, kontestasi politik telah mengalami perubahan yang sangat drastis.

Termasuk perubahan menyangkut pemilu, pembatasan kekuasaan ekskutif, legislatif serta partai politik. (Dwight Y King dalam Haryanto, Prisma, 2017).

Pelembagaan sistem elektoral baru membuka ruang demokratis, berbeda jauh pada era Orde Baru.

Sistem elektoral baru mendorong kehidupan politik di Indonesia menjadi lebih inklusif dan sekaigus meningkatkan kinerja institusi-institusi penopang demokrasi.

Walaupun semangat orde baru di lembaga birokrasi masih perlu dikikis habis terutama mental melayani kepentingan rakyat. 

Penerapan kebijakan desentralisasi di era reformasi kemudian menjadi berubah dari semula poros peta kekuasaan dari semula berporos dan dikendalikan secara terpusat sekarang menjadi  tersebar di sejumlah daerah, dengan diberlakukan nya  UU Nomor 22 tahun 1999, tentang Otonomi Daerah, UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Proses demokrakratisasi di Indonesia menjadi lebih dinamis dan kian inklusif. 

Kebijakan politik ini menjadi ancaman politisi era orde Baru karena rekam jejak nya jelas tak dapat dipungkiri.

Sehingga persaingan di tingkat lokal semakin sengit dengan munculnya banyak politisi baru.

Hal ini lah menjadi dasar yang cukup baik muncul nya orang-orang baru memasuki dunia politik baru dikancah pemilu dan pemilukada.

Demokrasitasi yang dapat menumbuhkan partisipasi dan kontrol langsung atas kebijakan yang diambil tidak dapat dilakukan sembarangan.

Otonomi diartikan sebagai pengambilan keputusan secara cepat langsung dan mengena kepada kepentingan rakyat dan bukan kepentingan elite.

Perkembangan populisme atas demokrasi di tingkat elite lokal tak dapat disangkal dan dihindari.

Politik identitas berkembang dengan kecepatan globalisasi yang tak dapat ditangkal.

Politik identitas yang dibungkus dalam populisme menjadi ancaman bagi demokrasi yang sedang kita bangun di Indonesia.

Kampanye yang didasarkan atas perbedaan agama, suku, dan ras begitu kuat, yang merenggangkan sendi-sendi kebangsaan kita.

Ancaman perpecahan begitu tinggi. 

Karena itulah pentingnya rekonsiliasi.

Pernyataan Presiden Jokowi maupun Prabowo adalah penyeruan suatu rekonsiliasi. “Bersatu kembali” dan “Keutuhan bangsa dan negara” adalah cerminan rekonsiliasi dari kedua tokoh bahwa sesungguhnya Pemilu 2019 sudah selesai.

Mari kembali merajut persatuan bangsa.

Penyeruan keduanya adalah bentuk negarawan,  keduanya dalam menyelesaikan berbagai polarisasi politik yang terjadi selama ini sudah sepatutnya diapresiasi seluruh pendukung. (Hendrik Zhuo) .

Jika dapat dimaknai sebagai simbul rekonsiliasi,  terjadi dengan pertemuan Jokowi dengan Prabowo tanggal 13 Juli 2019 di MRT.

Sungguh suatu yang dinantikan oleh masyarakat dengan gembira.

Dinantikan oleh masyarakat ekonomi nasional maupun global.

Ini menjadi bukti kedewasaan bangsa Indonesia dalam berdemokrasi.

Naiknya harapan pelaku usaha bahwa iklim investasi yang dicanangkan Jokowi-Ma’ruf Amin ke depan semakin terlaksana.

Walaupun tidak mudah di tengah perang dagang antara Amerika dengan Cina.

Dengan demikian apakah rekonsiliasi pasca pemilu begitu penting? 

Rekonsiliasi adalah penting dan suatu keharusan.

Bahkan mutlak harus dilakukan mengingat suatu polarisasi telah terjadi cukup lama, delapan bulan masa kampanye.

Memang kampanye pemilu seharusnya mendewasakan demokrasi masyarakat Indonesia.

Kampanye seharusnya didasari atas ide, gagasan dan peta besar pembangunan rakyat bangsa ke depan.

Bukan didasari atas SARA  apalagi atas dasar fitnah dan identitas sempit, caci maki, dan hujatan-hujatan.

Namun dalam wacana rekonsiliasi berkembang  bukan diranah abu-abu.

Harga rekonsiliasi apakah  kami dapat apa dan berapa.?

Ditekankan lagi bahwa rekonsiliasi yang benar selain bukan soal bagi kursi jabatan pemerintahan tetapi lebih soal ambil posisi dalam peranan membangun bangsa.

Sehingga rekonsiliasi di sini sudah lebih dewasa lagi. Lebih pada saling berkontribusi bangun negeri.

Maka sebagai pihak oposisi atau di luar pemerintahan maupun pemerintah adalah sama mulianya.

 

Jadi Oposisi Itu Mulia

Dalam konteks masih adanya penumpang gelap yang belum terima Prabowo bersalaman dengan Jokowi kemarin menunjukkan pada kita bahwa terhadap mereka ini tidak perlu diberi ruang rekonsiliasi.

Apalagi jika jelas-jelas berseberangan dengan ideologi negara.

Disini  letak ke hati-hatian ber -rekonsiliasi itu. Jadi rekonsiliasi tidak seperti itu.

Persatuan bangsa bukanlah matematika apalagi hanya hitungan kursi.

Terlalu naif.

Jadi oposisi juga sangat mulia.

Kata Jokowi saat menyampaikan visi Indonesia 2019-2024 di Sentul semalem.

“Dalam Demokrasi mendukung mati-matian seseorang kandidat itu boleh.

Mendukung dengan militansi yang tinggi itu juga boleh.

Menjadi oposisi  itu juga mulia.

Silakan, asal jangan oposisi menimbulkan dendam.

“Asal jangan oposisi menimbulkan kebencian. apalagi disertai dengan hinaan, cacian dan makian”.

Di dalam era demokrasi oposisi tidak lah buruk, chek balance itu sangat penting sebagai bagian kontrol jalannya pemerintahan yang baik

Rekonsiliasi sebagai bagaian pendewasaan demokrasi rakyat Indonesia untuk mengembalikan masyarakat dari polarisasi dan merekatkan pembelahan rakyat selama pilpres 2019 kembali utuh.

Rekonsiliasi bukanlah sebatas bagi-bagi kursi tanpa solusi besar membangun masyarakat adil dan sejahtera.

Rekonsiliasi tidak hanya berorintasi kekuasaan belaka, tetapi bagaimana membawa Indonesia maju tanpa korupsi

Pilpres dan Pileg 2019 telah berakhir  dengan diputuskan oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 27 Juni 2019 lalu; artinya semua permasalahan dan perdebatan selama Pemilu 2019 berakhir kembali menyatukan diri sebagai sebuah bangsa. persaudaraan dan persatuan;

 

Oleh : I Made Pria Dharsana

 

Perdebatan dan perseteruan kampanye sangat keras dan tajam sampai mempolarisasi masyarakat tidak bisa dianggap sepele.

Di tengah menguatnya populisme kanan yang diwacanakan dalam masa kampanye baik elit paslon dengan tim relawan mengeras di tingkat akar rumput.

Pemilu bukanlah pertaruhan hidup mati. Perhelatan pemilu  per lima tahunan sebagai implementasi yang sesungguhnya dalam demokrasi era reformasi.

Pemilu menjadi barometer tumbuh dan dewasanya tingkat pemahaman warga bangsa terhadap demokrasi.

Tapi tidak seperti itu kenyataannya, media masa dan sosial begitu cepat terserap di masyarakat tanpa adanya kemampuan menyaring informasi yang didasarkan kepada data dan fakta. 

Jika demikian berita bohong, hoaks termakan dengan mudah.

Apalagi tingkat literasi yang masih tendah.

Semangat dukungan dan militansi tanpa ukuran kapabelitas paslon yang kuat dalam masa dan waktu yang tepat.

Kapasitas dan kapabelitas diperlukan untuk benar-benar dibutuhkan masyarakat yang sungguh-sungguh menyerap aspirasi, yang dibutuhkan  masyarakat.

Bukan hanya menjadi life service dan berdebu di rak-rak perpustakaan.

 

Di era reformasi, kontestasi politik telah mengalami perubahan yang sangat drastis.

Termasuk perubahan menyangkut pemilu, pembatasan kekuasaan ekskutif, legislatif serta partai politik. (Dwight Y King dalam Haryanto, Prisma, 2017).

Pelembagaan sistem elektoral baru membuka ruang demokratis, berbeda jauh pada era Orde Baru.

Sistem elektoral baru mendorong kehidupan politik di Indonesia menjadi lebih inklusif dan sekaigus meningkatkan kinerja institusi-institusi penopang demokrasi.

Walaupun semangat orde baru di lembaga birokrasi masih perlu dikikis habis terutama mental melayani kepentingan rakyat. 

Penerapan kebijakan desentralisasi di era reformasi kemudian menjadi berubah dari semula poros peta kekuasaan dari semula berporos dan dikendalikan secara terpusat sekarang menjadi  tersebar di sejumlah daerah, dengan diberlakukan nya  UU Nomor 22 tahun 1999, tentang Otonomi Daerah, UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Proses demokrakratisasi di Indonesia menjadi lebih dinamis dan kian inklusif. 

Kebijakan politik ini menjadi ancaman politisi era orde Baru karena rekam jejak nya jelas tak dapat dipungkiri.

Sehingga persaingan di tingkat lokal semakin sengit dengan munculnya banyak politisi baru.

Hal ini lah menjadi dasar yang cukup baik muncul nya orang-orang baru memasuki dunia politik baru dikancah pemilu dan pemilukada.

Demokrasitasi yang dapat menumbuhkan partisipasi dan kontrol langsung atas kebijakan yang diambil tidak dapat dilakukan sembarangan.

Otonomi diartikan sebagai pengambilan keputusan secara cepat langsung dan mengena kepada kepentingan rakyat dan bukan kepentingan elite.

Perkembangan populisme atas demokrasi di tingkat elite lokal tak dapat disangkal dan dihindari.

Politik identitas berkembang dengan kecepatan globalisasi yang tak dapat ditangkal.

Politik identitas yang dibungkus dalam populisme menjadi ancaman bagi demokrasi yang sedang kita bangun di Indonesia.

Kampanye yang didasarkan atas perbedaan agama, suku, dan ras begitu kuat, yang merenggangkan sendi-sendi kebangsaan kita.

Ancaman perpecahan begitu tinggi. 

Karena itulah pentingnya rekonsiliasi.

Pernyataan Presiden Jokowi maupun Prabowo adalah penyeruan suatu rekonsiliasi. “Bersatu kembali” dan “Keutuhan bangsa dan negara” adalah cerminan rekonsiliasi dari kedua tokoh bahwa sesungguhnya Pemilu 2019 sudah selesai.

Mari kembali merajut persatuan bangsa.

Penyeruan keduanya adalah bentuk negarawan,  keduanya dalam menyelesaikan berbagai polarisasi politik yang terjadi selama ini sudah sepatutnya diapresiasi seluruh pendukung. (Hendrik Zhuo) .

Jika dapat dimaknai sebagai simbul rekonsiliasi,  terjadi dengan pertemuan Jokowi dengan Prabowo tanggal 13 Juli 2019 di MRT.

Sungguh suatu yang dinantikan oleh masyarakat dengan gembira.

Dinantikan oleh masyarakat ekonomi nasional maupun global.

Ini menjadi bukti kedewasaan bangsa Indonesia dalam berdemokrasi.

Naiknya harapan pelaku usaha bahwa iklim investasi yang dicanangkan Jokowi-Ma’ruf Amin ke depan semakin terlaksana.

Walaupun tidak mudah di tengah perang dagang antara Amerika dengan Cina.

Dengan demikian apakah rekonsiliasi pasca pemilu begitu penting? 

Rekonsiliasi adalah penting dan suatu keharusan.

Bahkan mutlak harus dilakukan mengingat suatu polarisasi telah terjadi cukup lama, delapan bulan masa kampanye.

Memang kampanye pemilu seharusnya mendewasakan demokrasi masyarakat Indonesia.

Kampanye seharusnya didasari atas ide, gagasan dan peta besar pembangunan rakyat bangsa ke depan.

Bukan didasari atas SARA  apalagi atas dasar fitnah dan identitas sempit, caci maki, dan hujatan-hujatan.

Namun dalam wacana rekonsiliasi berkembang  bukan diranah abu-abu.

Harga rekonsiliasi apakah  kami dapat apa dan berapa.?

Ditekankan lagi bahwa rekonsiliasi yang benar selain bukan soal bagi kursi jabatan pemerintahan tetapi lebih soal ambil posisi dalam peranan membangun bangsa.

Sehingga rekonsiliasi di sini sudah lebih dewasa lagi. Lebih pada saling berkontribusi bangun negeri.

Maka sebagai pihak oposisi atau di luar pemerintahan maupun pemerintah adalah sama mulianya.

 

Jadi Oposisi Itu Mulia

Dalam konteks masih adanya penumpang gelap yang belum terima Prabowo bersalaman dengan Jokowi kemarin menunjukkan pada kita bahwa terhadap mereka ini tidak perlu diberi ruang rekonsiliasi.

Apalagi jika jelas-jelas berseberangan dengan ideologi negara.

Disini  letak ke hati-hatian ber -rekonsiliasi itu. Jadi rekonsiliasi tidak seperti itu.

Persatuan bangsa bukanlah matematika apalagi hanya hitungan kursi.

Terlalu naif.

Jadi oposisi juga sangat mulia.

Kata Jokowi saat menyampaikan visi Indonesia 2019-2024 di Sentul semalem.

“Dalam Demokrasi mendukung mati-matian seseorang kandidat itu boleh.

Mendukung dengan militansi yang tinggi itu juga boleh.

Menjadi oposisi  itu juga mulia.

Silakan, asal jangan oposisi menimbulkan dendam.

“Asal jangan oposisi menimbulkan kebencian. apalagi disertai dengan hinaan, cacian dan makian”.

Di dalam era demokrasi oposisi tidak lah buruk, chek balance itu sangat penting sebagai bagian kontrol jalannya pemerintahan yang baik

Rekonsiliasi sebagai bagaian pendewasaan demokrasi rakyat Indonesia untuk mengembalikan masyarakat dari polarisasi dan merekatkan pembelahan rakyat selama pilpres 2019 kembali utuh.

Rekonsiliasi bukanlah sebatas bagi-bagi kursi tanpa solusi besar membangun masyarakat adil dan sejahtera.

Rekonsiliasi tidak hanya berorintasi kekuasaan belaka, tetapi bagaimana membawa Indonesia maju tanpa korupsi

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/