DENPASAR – Untuk mengawasi jalannya pilkada di Bali, jajaran DPD I Golkar Bali membentuk tim hukum untuk mendampingi tim pemenangan pasangan calon dalam pilkada di enam kabupaten/kota.
Ketua Tim Hukum Dewa Ayu Putu Sri Wigunawati didampingi Sekretaris Tim Hukum Muammar Kaddafi mengatakan,
tim hukum juga diberi mandat induk partai untuk mengawasi distribusi berbagai bantuan yang lagi ramai di musim pandemi Covid-19 agar tidak dipolitisasi.
Tim tersebut resmi dibentuk kemarin (25/11) di Sekretariat DPD I Partai Golkar Bali. Ketua DPD Golkar Bali I Nyoman Sugawa Korry menyatakan,
tim hukum dibentuk untuk memberikan pengawalan terhadap semua bantuan pemerintah, BLT, bantuan UKM, dan bantuan lainnya agar dipastikan betul-betul disampaikan ke masyarakat.
“Tidak diselewengkan untuk pemenangan salah satu pasangan calon,” kata Sugawa Korry. Hal yang menjadi titik fokus adalah distribusi bantuan itu merupakan salah satu tugas dari tim bentukan internal partainya tersebut.
Disinggung apakah ada penyelewengan, Sugawa Korry menegaskan, walaupun tidak ada atau ada gelagat, semuanya bergantung pada informasi atau masukan di tingkat bawah.
“Kami untuk antisipasi saja,” imbuhnya. Selebihnya tim hukum akan memberikan pendampingan bagi tim di kabupaten/kota yang sedang menghadapi pilkada.
Pun demikian kepada para pasangan calon yang diusung Golkar bersama dengan partai politik lainnya di dalam koalisi.
“Kami khusus (bentuk tim) di Golkar. Kalau di koalisi ada, ya kami kerja sama,” ucap Wakil Ketua DPRD Bali ini.
Selain mendampingi pasangan calon beserta tim di masing-masing kabupaten/kota, tim bentukan DPD I Golkar Bali ini juga bertujuan untuk mengawal terlaksananya pilkada yang tertib, aman, damai, dan demokratis.
Kemudian, memastikan penyelenggara pilkada, KPU, maupun Bawaslu menjalankan tugasnya secara profesional. Serta mengawal instruksi Kapolri agar semua jajaran Kepolisian bersikap netral di dalam pelaksanaan pilkada.
“Pendampingan kepada pasangan calon ini konteks tentu yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Misalnya terjadi kecurangan.
Terjadi intimidasi. Atau, terjadi potensi sengketa hasil pilkada sampai ke MK (Mahkamah Konstitusi),” pungkasnya.