31.4 C
Jakarta
26 April 2024, 11:14 AM WIB

Gelar Pameran Viewpoint, Jango dan Uuk Terinspirasi Kisah Sang Ibu

DENPASAR – Kartunis Bali tidak tidur. Hal tersebut dibuktikan oleh Jango Pramartha yang menggelar pameran bersama dengan Uuk Paramahita.

Pameran bertajuk Viewpoint tersebut digelar di Maya Art Gallery, yang berada di jalan Danau Tamblingan, Sanur yang digelar dalam rentan waktu 7 Mei -16 Juni 2019.

Yang menarik, Jango dan Uuk menggelar pameran dengan mengambil inspirasi dari sosok Ibu yang dianggapnya telah hadir dalam karya-karyanya.

Jango Pramartha dan Uuk Paramahita adalah seniman yang memiliki sejarah perjalanan berkesenian yang berbeda.

Sebagai catatan, Jango Pramartha adalah alumni desain grafis Universitas Udayana (1991) dan Uuk alumni Seni Lukis ISI Denpasar (2003).

Jango berproses seni dalam tahab mula melului karya-karya kartun yang sarat protes dan kaya makna dalam mengkritisi kebudayaan Bali dan dinamika perubahannya.

Namun, seiring perjalanan kreatifnya ia mengolah dan menggeser bentuk kartunnya ke dalam bentuk-bentuk baru dalam ruang bicara karya seni rupa.

Begitu halnya Uuk Paramahita yang menggeluti seni rupa melalui pemikiran yang lebih mengarah pada penyajian kontemplasi sebagai praktek seni rupa sosial.

Sama seperti karya-karya perupa yang sejalan dengan praktek seni rupa soasial, namun karya Uuk  terlihat lebih berbicara pada  sebuah penggugatan berdamai dengan keadaan. 

Mengenai karya-karya yang dipamerkan, Jango mengatakan, banyak datang dari pengalaman personal yang bersentuhan dengan alam, berbagai karakter manusia, baik di Bali maupun selama bergaul dengan kalangan internasional.

“Ini menjadikan karya saya dalam lukisan yang dipenuhi dengan interaksi simbolik, disimbolkan dengan wajah-wajah, tanaman, binatang, beragam gerak dan pose manusia,” ujarnya.

Karya Jango “Face Value” misalnya, sangat jelas  pengalaman personal berupa simbolisme wajah-wajah ia hadirkan dalam berbagai karakter.

Karya “Fish”, menurutnya, adalah sepenggal pengalaman untuk mengganti memori ketika melihat ikan dalam keramaian, meskipun dengan sadar ia harus menghilangkan suasana keramaian itu. 

Sedangkan karya “Between Us” tergambarkan bagaimana dirinya atau siapapun yang disimbolkan dengan wajah anatara dirinya dan orang lain di sampingnya. 

Ada satu karya yang menarik lainnya, yakni judul “Sympaty for the Devil”. Karya ini sepertinya terinspirasi dari lagu Rolling Stones dengan judul yang sama. Jango dengan jelas menggarap “devil” dengan garis membentuk figur bertanduk. 

Begitu halnya pengalaman personalnya ketika di Australia yang ia simbolkan dengan “Cow and Koala”, karya ini cukup menarik karena

Bali dan Australia telah menjadi bagian dialog penting dalam pete kebudayaan yang telah lama ia geluti, bahkan sampai sekarang.

Bagaimana dengan Karya Uuk Paramahita ? Uuk mengatakan karyanya memang kontemplatif.

“Karena saya ingin memperluas subyek sosial, artinya subyek atau pelaku dalam peristiwa yang mempengaruhi karya kontemplasi ini bisa diterima oleh siapa saja, dan dibelahan mana saja,” ungkapnya.
Walaupun demikian kiranya susah dilepaskan dari cara pandang setiap orang yang menikmati dan memaknai. 
“Ada kompromi yang bisa diletakkan dalam memahami karya kontemplasi saya yaitu mengembalikan pada perenungan dari alur pikiran yang saya sampaikan,” ujarnya.

Meskipun masih seperti yang terdahulu, lukisan-lukisan Uuk kali ini terasa terkurangi keriuhanya, semisal  pada warna dan figur-figur imajinernya.

Uuk sendiri adalah pelukis yang sangat obsesif dengan warna. Ia selalu ingin memaknai ruang dengan warna.

Karya “Sunday Morning” memperlihatkan bagaimana dirinya ingin menguraikan jarak ruang dalam tatanan teras berundak, lengkap dengan imajinasi kehidupan di dalamnya. 

Sangat berbeda dengan karya “Play in Balance” yang berfokus pada kehadiran dua figur imajinasinya. Karya ini berisi pesan tentang keseimbangan meskipun terlihat dalam dunia permainan. 

Sedangkan pada karya “See Mountain from the Behind Wall” justru menampakkan kebalikan pada fokus pemandangan gunung daripada figur image yang dihadirkan.

Keindahan gunung  dengan lansekap yang hijau, subur dan damai menjadi sangat istimewa, dan tanpa pemandangan gunung itu maka lukisan ini akan memiliki kesan sendiri, sunyi dan sepi.

Lukisan Uuk itu berisi pesan kontemplatif tentang kedamaian, alam dan kehidupan manusia dalam siklus waktu terasa harmoni.

Karya “Before Sunrise” yang mengabadikan kehidupan pada bentang alam pantai menjadi ingatan kuat pada siapapun yang pernah menikmati suasana terbenamnya matahari.

Sedangkan karya-karya yang lainnya hampir serupa, hanya bahasa ungkap yang berbeda dalam memperkaya tematik karya. 

Pameran bersama di Maya Art Gallery Sanur, Bali yang akan berlangsung dari tanggal 7 Mei sampai 15 Juni 2019  sejatinya memang sebagai “tribute” buat ibundanya.

Namun pameran ini menjadi sangat menarik karena tidak hanya membicarakan pertemuan mereka yang pertama kali dalam satu ruang pameran,

akan tetapi lewat karya-karyanya mereka telah membagi penggalan-penggalan pengalaman visual maupun batinnya. 

Kehidupan itu memang indah, tapi jika keindahan itu terlewatkan tanpa kenangan, maka akan menjadi kesia-siaan.

Dan menurut Jango dan Uuk kenangan yang sangat terindah adalah ketika Ibunya merawatnya, membesarkannya dan menjaganya dengan penuh kasih sayang. 

DENPASAR – Kartunis Bali tidak tidur. Hal tersebut dibuktikan oleh Jango Pramartha yang menggelar pameran bersama dengan Uuk Paramahita.

Pameran bertajuk Viewpoint tersebut digelar di Maya Art Gallery, yang berada di jalan Danau Tamblingan, Sanur yang digelar dalam rentan waktu 7 Mei -16 Juni 2019.

Yang menarik, Jango dan Uuk menggelar pameran dengan mengambil inspirasi dari sosok Ibu yang dianggapnya telah hadir dalam karya-karyanya.

Jango Pramartha dan Uuk Paramahita adalah seniman yang memiliki sejarah perjalanan berkesenian yang berbeda.

Sebagai catatan, Jango Pramartha adalah alumni desain grafis Universitas Udayana (1991) dan Uuk alumni Seni Lukis ISI Denpasar (2003).

Jango berproses seni dalam tahab mula melului karya-karya kartun yang sarat protes dan kaya makna dalam mengkritisi kebudayaan Bali dan dinamika perubahannya.

Namun, seiring perjalanan kreatifnya ia mengolah dan menggeser bentuk kartunnya ke dalam bentuk-bentuk baru dalam ruang bicara karya seni rupa.

Begitu halnya Uuk Paramahita yang menggeluti seni rupa melalui pemikiran yang lebih mengarah pada penyajian kontemplasi sebagai praktek seni rupa sosial.

Sama seperti karya-karya perupa yang sejalan dengan praktek seni rupa soasial, namun karya Uuk  terlihat lebih berbicara pada  sebuah penggugatan berdamai dengan keadaan. 

Mengenai karya-karya yang dipamerkan, Jango mengatakan, banyak datang dari pengalaman personal yang bersentuhan dengan alam, berbagai karakter manusia, baik di Bali maupun selama bergaul dengan kalangan internasional.

“Ini menjadikan karya saya dalam lukisan yang dipenuhi dengan interaksi simbolik, disimbolkan dengan wajah-wajah, tanaman, binatang, beragam gerak dan pose manusia,” ujarnya.

Karya Jango “Face Value” misalnya, sangat jelas  pengalaman personal berupa simbolisme wajah-wajah ia hadirkan dalam berbagai karakter.

Karya “Fish”, menurutnya, adalah sepenggal pengalaman untuk mengganti memori ketika melihat ikan dalam keramaian, meskipun dengan sadar ia harus menghilangkan suasana keramaian itu. 

Sedangkan karya “Between Us” tergambarkan bagaimana dirinya atau siapapun yang disimbolkan dengan wajah anatara dirinya dan orang lain di sampingnya. 

Ada satu karya yang menarik lainnya, yakni judul “Sympaty for the Devil”. Karya ini sepertinya terinspirasi dari lagu Rolling Stones dengan judul yang sama. Jango dengan jelas menggarap “devil” dengan garis membentuk figur bertanduk. 

Begitu halnya pengalaman personalnya ketika di Australia yang ia simbolkan dengan “Cow and Koala”, karya ini cukup menarik karena

Bali dan Australia telah menjadi bagian dialog penting dalam pete kebudayaan yang telah lama ia geluti, bahkan sampai sekarang.

Bagaimana dengan Karya Uuk Paramahita ? Uuk mengatakan karyanya memang kontemplatif.

“Karena saya ingin memperluas subyek sosial, artinya subyek atau pelaku dalam peristiwa yang mempengaruhi karya kontemplasi ini bisa diterima oleh siapa saja, dan dibelahan mana saja,” ungkapnya.
Walaupun demikian kiranya susah dilepaskan dari cara pandang setiap orang yang menikmati dan memaknai. 
“Ada kompromi yang bisa diletakkan dalam memahami karya kontemplasi saya yaitu mengembalikan pada perenungan dari alur pikiran yang saya sampaikan,” ujarnya.

Meskipun masih seperti yang terdahulu, lukisan-lukisan Uuk kali ini terasa terkurangi keriuhanya, semisal  pada warna dan figur-figur imajinernya.

Uuk sendiri adalah pelukis yang sangat obsesif dengan warna. Ia selalu ingin memaknai ruang dengan warna.

Karya “Sunday Morning” memperlihatkan bagaimana dirinya ingin menguraikan jarak ruang dalam tatanan teras berundak, lengkap dengan imajinasi kehidupan di dalamnya. 

Sangat berbeda dengan karya “Play in Balance” yang berfokus pada kehadiran dua figur imajinasinya. Karya ini berisi pesan tentang keseimbangan meskipun terlihat dalam dunia permainan. 

Sedangkan pada karya “See Mountain from the Behind Wall” justru menampakkan kebalikan pada fokus pemandangan gunung daripada figur image yang dihadirkan.

Keindahan gunung  dengan lansekap yang hijau, subur dan damai menjadi sangat istimewa, dan tanpa pemandangan gunung itu maka lukisan ini akan memiliki kesan sendiri, sunyi dan sepi.

Lukisan Uuk itu berisi pesan kontemplatif tentang kedamaian, alam dan kehidupan manusia dalam siklus waktu terasa harmoni.

Karya “Before Sunrise” yang mengabadikan kehidupan pada bentang alam pantai menjadi ingatan kuat pada siapapun yang pernah menikmati suasana terbenamnya matahari.

Sedangkan karya-karya yang lainnya hampir serupa, hanya bahasa ungkap yang berbeda dalam memperkaya tematik karya. 

Pameran bersama di Maya Art Gallery Sanur, Bali yang akan berlangsung dari tanggal 7 Mei sampai 15 Juni 2019  sejatinya memang sebagai “tribute” buat ibundanya.

Namun pameran ini menjadi sangat menarik karena tidak hanya membicarakan pertemuan mereka yang pertama kali dalam satu ruang pameran,

akan tetapi lewat karya-karyanya mereka telah membagi penggalan-penggalan pengalaman visual maupun batinnya. 

Kehidupan itu memang indah, tapi jika keindahan itu terlewatkan tanpa kenangan, maka akan menjadi kesia-siaan.

Dan menurut Jango dan Uuk kenangan yang sangat terindah adalah ketika Ibunya merawatnya, membesarkannya dan menjaganya dengan penuh kasih sayang. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/