DENPASAR – Kisah warga Banyuwangi, Roswanto dan Slamet dalam menjalani kehidupan pascatragedi 1965 akhirnya diangkat ke layar lebar oleh Dliyaur, mahasiswa Universitas Jember.
Film yang mengangkat kisah nyata itu diberi judul Nyala; Nyanyian Yang Tak Lampus. Film ini telah diputar di sejumlah komunitas.
Salah satunya Komunitas I Ni Timpal Kopi dan dipertontonkan di Taman Baca Kesiman (TBK) Denpasar.
Film ini mengisahkan perjuangan Ruswanto dan Slamet AR lolos dari tragedi genosida dengan caranya sendiri-sendiri.
Ruswanto sendiri pernah berkecimpung di organisasi Pemuda Rakyat sekaligus tergabung di PGRI Non-Vaksentral pada masa sebelum pecah peristiwa 1965.
Dia sekarang dikenal sebagai orang tua yang rajin silahturahmi ke sesama keluarga penyintas 1965 di daerahnya, serta ke gereja dengan sepeda kayuhnya.
Ia juga mendorong rekonsiliasi dengan mengupayakan jenasah korban di pindah ke lahan kuburan
Sedangkan Slamet AR yang pernah bergabung dengan LEKRA, sejak muda dikenal di lingkungannya sebagai seorang seniman pencipta tari-tarian.
Kini, dia masih punya semangat tinggi melestarikan kesenian lokal, semangat itu berwujud kerja keras membangun sanggar seni bernama Angklung Soreang.
Film yang berdurasi 85 menit ini pun mampu menyihir para penonton malam itu. Dalam diskusi yang digelar, Dliyaur, pembuat film ini ingin menyampaikan tentang apa yang dilakukan Slamet membangun sanggar seni.
Bukan sekedar bangunan fisik, tetapi melanjutkan apa yang sudah pernah dia kerjakan sebelum 1965.
“Slamet dengan masa traumatiknya akibat tragedi 65, namun masih bersemangat melestarikan kesenian yang ia percayai bisa membangun Banyuwangi,” ujar Dliyaur.
Film Nyala ini adalah sebuah projek tugas akhir kuliahnya. Pegiat komunitas screening film Layar Kamisan Banyuwangi ini
mengaku tertarik dengan isu ini karena melihat semangat Roswanto dan Slamet menjalani hidup pasca tragedi 1965.
Sebelum membuat film, Mahasiswa Universitas Jember ini bergaul terlebih dahulu dengan kedua subyek film yang ia kenal dari teman-temannya di For Banyuwangi
yang saat itu sedang mengadvokasi warga dalam menolak keberadaan pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu.
Saat itu, salah satu petani dan pedagang buah naga yang menolak keberadaan tambang emas sedang menghadapi kasus kriminalisasi
dengan tuduhan menyebarkan paham komunis hal ini membuat semakin terbuka pemahamannya mengenai tragedi 1965.
“Jadi seperti ada irisan, waktu bertemu Pak Slamet saya sadar sedang mengambil gambar seorang penyintas 65,
pulang ke kontrakan yang dibahas teman-teman adalah kasus tuduhan penyebaran komunisme,” terangnya.