27.4 C
Jakarta
13 September 2024, 11:00 AM WIB

Kembar Buncing, Dua Karya Unik Oka Rusmini, Seperti Apa?

DENPASAR – Penulis Oka Rusmini akhirnya menelurkan dua karya terbarunya yang ia sebut kembar buncing.

Dua buku yang mengidentifikasi mewakili perempuan dan laki-laki ini diberi judul Men Coblong dan Koplak.

Ini adalah simbol anak rohani dari Oka Rusmini dalam merespon feminisme yang berada di dua sisi yakni tidak hanya kaum perempuan, namun juga ada di kalangan laki-laki.

“Feminisme nggak bisa hanya diidentikkan perempuan saja tapi juga identik terhadap kaum laki-laki. Misalnya di ranah domestik, peran laki-laki juga bisa mengurus anak,

memasak, dan lainnya. Di zaman saat ini, batasan-batasan tersebut sudah tidak ada lagi,” tutur Oka Rusmini kemarin.

Dari cerita yang ditulis itu, Oka tampak punya konsep amat jelas kenapa cerita itu ditulis, dan kenapa harus bernama Koplak, seorang lelaki Bali yang hidup di desa dan memiliki kekuasaan kecil-kecilan.

Bagaimana seorang Koplak bisa menjalankan tugas sebagai seorang perempuan dengan mengasuh anak perempuannya setelah ditinggal oleh sang istri saat melahirkan anaknya.

Belum lagi, Koplak yang memiliki tanggung jawab sebagai kepala desa yang kerap dihadapkan dengan permasalahan sosial, politik, demokrasi dan kesetaraan gender yang lumrah terjadi di sebuah desa.

“Konsep itu, saya pikir, untuk membuktikan bahwa lelaki Bali bisa juga jadi feminis lelaki,” tutur Oka Rusmini.

Untuk mencapai tujuan dari konsep-konsep itu, dia dengan sangat perhitungan menciptakan tokoh imajinatif yang tentu saja masih bisa ditemukan di dunia kenyataan di Bali.

Dalam buku ini diceritakan Koplak yang memandang beragam persoalan hidup dengan cara karikatural. Apapun yang terjadi bagi Koplak adalah lelucon.

Ia seorang petani, hidup dari hasil-hasil pertanian di sebuah desa yang tenang dengan warga yang saling cinta.

“Koplak diciptakan sebagai manusia yang punya rasa cinta, bahkan rasa cinta khas dari desa yang kadang konyol tapi tak mudah dipahami.

Maka jangan heran, saat membaca serial Koplak, kita berpikir Koplak adalah penguasa yang cengeng, gampang menangis, dan terkesan lemah,

jika berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang keluarga, hubungan antarwarga, dan hubungan kemanusiaan antar pejabat dan rakyatnya,” terang perempuan satu anak ini.

Sementara untuk buku Men Coblong sendiri, perempuan kelahiran Jakarta, 11 Juli 1967 ini menuturkan Men Coblong dibuat karena dia merasa bahwa fakta di negeri ini makin lama makin absurd dan aneh dibandingkan fiksi surealis sekalipun.

Karena itu, Men Coblong berusaha memotret, menyenggol, dan membenturkan segala hiruk-pikuk dan kebisingan yang terjadi di negara bernama Indonesia ini.

“Tulisan ini berangkat dari pengalaman pribadi, sebagai perempuan, manusia Bali, ibu, istri, ataupun buruh di media lokal.

Sebagai ibu dan perempuan, Men Coblong juga mewakili sudut pandang emak-emak. Mereka yang resah melihat kian beratnya tantangan yang dihadapi anak ABG di antara begitu banyak pula peluang yang mereka miliki saat ini,” tandasnya. 

DENPASAR – Penulis Oka Rusmini akhirnya menelurkan dua karya terbarunya yang ia sebut kembar buncing.

Dua buku yang mengidentifikasi mewakili perempuan dan laki-laki ini diberi judul Men Coblong dan Koplak.

Ini adalah simbol anak rohani dari Oka Rusmini dalam merespon feminisme yang berada di dua sisi yakni tidak hanya kaum perempuan, namun juga ada di kalangan laki-laki.

“Feminisme nggak bisa hanya diidentikkan perempuan saja tapi juga identik terhadap kaum laki-laki. Misalnya di ranah domestik, peran laki-laki juga bisa mengurus anak,

memasak, dan lainnya. Di zaman saat ini, batasan-batasan tersebut sudah tidak ada lagi,” tutur Oka Rusmini kemarin.

Dari cerita yang ditulis itu, Oka tampak punya konsep amat jelas kenapa cerita itu ditulis, dan kenapa harus bernama Koplak, seorang lelaki Bali yang hidup di desa dan memiliki kekuasaan kecil-kecilan.

Bagaimana seorang Koplak bisa menjalankan tugas sebagai seorang perempuan dengan mengasuh anak perempuannya setelah ditinggal oleh sang istri saat melahirkan anaknya.

Belum lagi, Koplak yang memiliki tanggung jawab sebagai kepala desa yang kerap dihadapkan dengan permasalahan sosial, politik, demokrasi dan kesetaraan gender yang lumrah terjadi di sebuah desa.

“Konsep itu, saya pikir, untuk membuktikan bahwa lelaki Bali bisa juga jadi feminis lelaki,” tutur Oka Rusmini.

Untuk mencapai tujuan dari konsep-konsep itu, dia dengan sangat perhitungan menciptakan tokoh imajinatif yang tentu saja masih bisa ditemukan di dunia kenyataan di Bali.

Dalam buku ini diceritakan Koplak yang memandang beragam persoalan hidup dengan cara karikatural. Apapun yang terjadi bagi Koplak adalah lelucon.

Ia seorang petani, hidup dari hasil-hasil pertanian di sebuah desa yang tenang dengan warga yang saling cinta.

“Koplak diciptakan sebagai manusia yang punya rasa cinta, bahkan rasa cinta khas dari desa yang kadang konyol tapi tak mudah dipahami.

Maka jangan heran, saat membaca serial Koplak, kita berpikir Koplak adalah penguasa yang cengeng, gampang menangis, dan terkesan lemah,

jika berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang keluarga, hubungan antarwarga, dan hubungan kemanusiaan antar pejabat dan rakyatnya,” terang perempuan satu anak ini.

Sementara untuk buku Men Coblong sendiri, perempuan kelahiran Jakarta, 11 Juli 1967 ini menuturkan Men Coblong dibuat karena dia merasa bahwa fakta di negeri ini makin lama makin absurd dan aneh dibandingkan fiksi surealis sekalipun.

Karena itu, Men Coblong berusaha memotret, menyenggol, dan membenturkan segala hiruk-pikuk dan kebisingan yang terjadi di negara bernama Indonesia ini.

“Tulisan ini berangkat dari pengalaman pribadi, sebagai perempuan, manusia Bali, ibu, istri, ataupun buruh di media lokal.

Sebagai ibu dan perempuan, Men Coblong juga mewakili sudut pandang emak-emak. Mereka yang resah melihat kian beratnya tantangan yang dihadapi anak ABG di antara begitu banyak pula peluang yang mereka miliki saat ini,” tandasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/