31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 10:55 AM WIB

Rilis Taman Perangkap Bulan, Tenyata Ini Niat Mulia Nuryana…

SINGARAJA – Penulis dan sastrawan, Nuryana Asmaudi melahirkan buku antologi puisi keduanya yang berjudul Taman Perangkap Bulan.

Buku antologi puisi itu diluncurkan sekaligus dibedah di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, pada Senin (19/11) malam lalu.

Dalam buku keduanya, termuat 97 puisi yang ditulis dalam kurun waktu 1989 hingga 2017. Tema puisi yang ditulis pun beragam.

Mulai dari penyikapan terhadap hidup sehari-hari dan realitas sosial. Termasuk dari pengalaman-pengalaman yang berasal dari pemikiran, perenungan, maupun pergulatan eksistensi dan spiritual.

“Termasuk kenyataan yang saya hadapi dan saya rasakan terkait dengan tradisi dan keyakinan yang ada di tanah rantau, sejak saya bermukim di Bali pada tahun 1996.

Keunikan-keunikan dan keindahan hidup yang menyentuh jiwa pemikiran sehingga melahirkan banyak anak-anak rohani (puisi, Red) yang terangkum dalam buku ini,” kata Nuryana.

Selain itu ada beberapa puisi bertema mitologi pewayangan, namun tampil dengan penafsiran baru.

Nuryana memasukkan pemahaman terhadap teks asal, dengan cara melakukan perombakan yang menjadikan teks baru dengan gaya satire serta kelakar.

Ada pula puisi-puisi yang menyangkut tema cinta dan romantisme kehidupan. Puisi-puisi itu hadir dalam gaya, bentuk, dan teknik penyajian yang beragam.

Meski begitu, karakternya masih nampak serumpun. “Tidak ada niat muluk-muluk saat menerbitkan buku ini. saya hanya ingin merumahkan puisi-puisi saya agar tidak hilang.

Selama ini tercecer di mana-mana. Kliping koran, majalah, di laci, map, dan file komputer. Saya kumpulkan biar

saya tidak kualat dan berdosa, karena membiarkan anak-anak rohani saya keleleran tidak jelas nasibnya,” kelakar Nuryana.

Sementara itu penulis muda Agus Wiratama yang membedah buku puisi itu menyebut Nuryana mengeksplorasi berbagai sudut dari satu hal yang diminati.

Salah satunya romantisme Kintamani yang terangkum dalam puisi berjudul Sajak Cinta Bidadari.

“Visual yang muncul dalam kepala saya ketika membaca puisi itu adalah tentang keromantisan Kintamani dengan kabut, danau, dan seorang gadis yang benrnama Rosalina,” kata Agus.

Namun, di buku kumpulan puisi Taman Perangkap Bulan, Kintamani muncul lagi dengan sudut yang berbeda. Puisi itu berjudul “Di Mulut Goa Jepang Kintamani”.

Pada puisi ini Nuryana bercerita tentang Goa Jepang yang memanggil ingatan tentang masa penjajahan jepang.

“Pada puisi itu muncul anjing, sampah, dan kelaparan sebagai jembatan menuju masa penjajahan jepang. Pada puisi ini Nuryana seolah mengajak pembaca untuk merenung tanpa menggurui.

Dengan kata lain, Nuryana seolah merenungi masa yang berbeda dengan gerutuan di dalam hati dan disampaikan dengan gaya puitik Nuryana,” kata Agus.

Asal tahu saja buku Taman Perangkap Bulan merupakan antologi puisi kedua yang ia tulis. Antologi puisi pertamanya berjudul Doa Bulan Untuk Pungguk yang diterbitkan oleh Akar Indonesia pada tahun 2016 lalu.

Nuryana mengaku masih ada ratusan puisi lagi yang belum terangkum dalam buku. Puisi-puisi itu ia serahkan pada Raudal Tanjung Banua sebagai penyunting,

untuk diseleksi. Puisi-puisi itu kemudian bermetamorfosa menjadi dua buah buku yang telah ia buat hingga kini.

SINGARAJA – Penulis dan sastrawan, Nuryana Asmaudi melahirkan buku antologi puisi keduanya yang berjudul Taman Perangkap Bulan.

Buku antologi puisi itu diluncurkan sekaligus dibedah di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, pada Senin (19/11) malam lalu.

Dalam buku keduanya, termuat 97 puisi yang ditulis dalam kurun waktu 1989 hingga 2017. Tema puisi yang ditulis pun beragam.

Mulai dari penyikapan terhadap hidup sehari-hari dan realitas sosial. Termasuk dari pengalaman-pengalaman yang berasal dari pemikiran, perenungan, maupun pergulatan eksistensi dan spiritual.

“Termasuk kenyataan yang saya hadapi dan saya rasakan terkait dengan tradisi dan keyakinan yang ada di tanah rantau, sejak saya bermukim di Bali pada tahun 1996.

Keunikan-keunikan dan keindahan hidup yang menyentuh jiwa pemikiran sehingga melahirkan banyak anak-anak rohani (puisi, Red) yang terangkum dalam buku ini,” kata Nuryana.

Selain itu ada beberapa puisi bertema mitologi pewayangan, namun tampil dengan penafsiran baru.

Nuryana memasukkan pemahaman terhadap teks asal, dengan cara melakukan perombakan yang menjadikan teks baru dengan gaya satire serta kelakar.

Ada pula puisi-puisi yang menyangkut tema cinta dan romantisme kehidupan. Puisi-puisi itu hadir dalam gaya, bentuk, dan teknik penyajian yang beragam.

Meski begitu, karakternya masih nampak serumpun. “Tidak ada niat muluk-muluk saat menerbitkan buku ini. saya hanya ingin merumahkan puisi-puisi saya agar tidak hilang.

Selama ini tercecer di mana-mana. Kliping koran, majalah, di laci, map, dan file komputer. Saya kumpulkan biar

saya tidak kualat dan berdosa, karena membiarkan anak-anak rohani saya keleleran tidak jelas nasibnya,” kelakar Nuryana.

Sementara itu penulis muda Agus Wiratama yang membedah buku puisi itu menyebut Nuryana mengeksplorasi berbagai sudut dari satu hal yang diminati.

Salah satunya romantisme Kintamani yang terangkum dalam puisi berjudul Sajak Cinta Bidadari.

“Visual yang muncul dalam kepala saya ketika membaca puisi itu adalah tentang keromantisan Kintamani dengan kabut, danau, dan seorang gadis yang benrnama Rosalina,” kata Agus.

Namun, di buku kumpulan puisi Taman Perangkap Bulan, Kintamani muncul lagi dengan sudut yang berbeda. Puisi itu berjudul “Di Mulut Goa Jepang Kintamani”.

Pada puisi ini Nuryana bercerita tentang Goa Jepang yang memanggil ingatan tentang masa penjajahan jepang.

“Pada puisi itu muncul anjing, sampah, dan kelaparan sebagai jembatan menuju masa penjajahan jepang. Pada puisi ini Nuryana seolah mengajak pembaca untuk merenung tanpa menggurui.

Dengan kata lain, Nuryana seolah merenungi masa yang berbeda dengan gerutuan di dalam hati dan disampaikan dengan gaya puitik Nuryana,” kata Agus.

Asal tahu saja buku Taman Perangkap Bulan merupakan antologi puisi kedua yang ia tulis. Antologi puisi pertamanya berjudul Doa Bulan Untuk Pungguk yang diterbitkan oleh Akar Indonesia pada tahun 2016 lalu.

Nuryana mengaku masih ada ratusan puisi lagi yang belum terangkum dalam buku. Puisi-puisi itu ia serahkan pada Raudal Tanjung Banua sebagai penyunting,

untuk diseleksi. Puisi-puisi itu kemudian bermetamorfosa menjadi dua buah buku yang telah ia buat hingga kini.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/