SEMARAPURA– Ada yang unik dalam pelaksanaan upacara Melasti yang dilakukan warga Desa Pakraman Semaagung, Desa Tusan,
Kecamatan Banjarangan, Kungkung yang digelar bertepatan dengan hari Purnama Kedasa di Pantai Lepang, kemarin (31/3).
Jika pada umumnya dalam menggelar Melasti hanya diiringi gambelan, beda halnya upacara Melasti Desa Pakraman Semaagung.
Selain diiringi gamelan, upacara Melasti atau oleh warga desa pakraman setempat disebut dengan Melasti Kedasa
Makekobok Nangluk Desa ini dilakukan dengan diiringi Gong Dewa Tektekan (sejenis kentongan bambu) dan semprong.
Tidak sampai di sana, para pemudanya juga berhias menggunakan hiasan kepala berupa topi tani atau capil yang terbuat dari anyaman slepan atau janur berwarna hijau dan dilengkapi dengan beberapa tangkai bunga.
Pemuda-muda ini lah yang bertugas membawa serta membunyikan tektekan yang sudah dipasupati dan semprong yang terbuat dari bambu itu.
Selain itu ada sejumlah anak-anak yang bertugas membawa berok atau pancangan yang dihiasi berbagai macam bunga sebanyak enam buah.
Rangkaian prosesi Melasti di Desa Pakraman Semaagung ini dimulai sekitar pukul 04.00 dan diikuti oleh seluruh warga desa pakraman.
Jero Mangku Pura Dalem Penyarikan Ketut Purna mengatakan, tujuan pelaksanaan Melasti Kedasa Makekobok Nangluk Desa ini adalah untuk melakukan penyucian terhadap Pakuluh, Pralingga dan Arug sebagai setana Ida Betara.
Tradisi ini diyakini mampu menetralisir wabah penyakit dan menolak marabahaya, terutama di wilayah Desa Pakraman Semaagung.
“Tradisi Tektekan ini, serangkaian Karya Ngusaba Desa, saat Purnama Kadasa. Selain untuk kesucian lingkungan desa, juga untuk kesucian jasmani dan rohani masyarakat Desa Pekraman Semaagung,” katanya.
Pihaknya tidak tahu secara pasti kapan tradisi itu dimulai itu lantaran babad atau purana yang menjelaskan tentang tradisi itu belum ditemukan hingga saat ini.
Namun yang pasti, upacara pemelastian ini dilaksanakan setahun sekali, tepatnya saat Purnama Kedasa.
Begitu pun dengan alasan penggunaan Tektekan dan semprong itu sendiri juga tidak diketahui alasannya karena memang merupakan tradisi turun temurun.
“Entah apakah karena zaman dulu tidak ada gong atau bagaimana, kami tidak tahu pasti. Hanya saja setelah memiliki gong, kulkul dan semprong itu tetap kami gunakan karena memang sudah tradisi sejak dulu,” imbuhnya.
Jero Mangku Purna menuturkan jika menurut cerita turun temurun yang dipercaya warga Desa Pekraman Semaagung, saat prosesi Melasti digelar pada zaman dulu, bukan capil dari slepan yang digunakan, melainkan kukusan.
Para lelaki bertelanjang dada dan menghiasi wajah dan badan mereka dengan kapur dan arang.
Ketua STT Satria Mandala I Made Oktayana Putra mengungkapkan biasanya prosesi Melasti ini digelar di Pantai Tegal Besar.
Hanya saja karena abrasi terjadi cukup parah maka prosesi Melasti dilakukan ke Pantai Lepang. “Setelah berkoordinasi ternyata tidak memungkinkan untuk Mekekobok jadi melasti kami gelar di Pantai Lepang,” ungkapnya.