MUSI – Budi daya komoditas anggur laut kini mulai dilirik. Komoditas yang lebih dikenal dengan sebutan bulung mice itu mulai digeluti karena nilainya yang sangat menjanjikan.
Meski belum menembus pasar ekspor, warga yang melakukan aktivitas budi daya sudah kewalahan memenuhi permintaan pasar.
Anggur laut sebenarnya tergolong makanan yang unik. Komoditas ini kerap dikonsumsi masyarakat di Okinawa, Jepang.
Bahkan di Jepang, komoditas ini hanya banyak ditemukan di sekitar Okinawa. Konon anggur laut merupakan salah satu resep masyarakat setempat awet muda.
Maklum saja, selama ini orang Okinawa dikenala sebagai orang yang “lupa mati”. Sebab rata-rata masyarakat di sana masih terlihat fit pada usia 90 tahun.
Kadek Lila Antara, adalah salah satu generasi awal yang melakukan budidaya anggur laut di Desa Musi, Kecamatan Gerokgak.
Kadek Lila sendiri mengaku baru mengenal anggur laut pada tahun 2008 silam. Ia mengaku saat itu bekerja pada orang Jepang yang mengenalkan dengan anggur laut.
Ia pun disarankan mengembangkan komoditas itu di Indonesia, mengingat kondisi iklim lebih stabil ketimbang di Jepang.
Pada tahun 2012 ia mulai mengembangkan anggur laut di Buleleng. Namun ia belum menemukan formulasi yang cocok.
Lila terus bereksperimen, hingga akhirnya pada tahun 2017 ia menemukan model yang dianggap cocok untuk pengembangan anggur laut di Indonesia.
“Kesulitan sebenarnya ada banyak ya. Apalagi yang saya kembangkan ini masuk golongan sensitif. Paling sulit itu mencari suhu yang pas, intensitas cahaya yang pas, sampai pupuk natural yang cocok,” jelas Lila.
Kerja kerasnya selama lima tahun terakhir pun terbayar. Kini komoditas yang ia kembangkan sudah banyak dipesan di pasar lokal.
Baik itu Pulau Bali, Jawa, maupun Kalimantan. Sebagian besar hasil budidaya justru dipesan di lokal Bali.
Ia bahkan kesulitan memenuhi permintaan yang terlampau tinggi. Meski anggur laut dijual dengan harga Rp 550 ribu per kilogram, permintaan masih tetap tinggi.