DENPASAR – Terkait diberlakukannya SE Gubernur, terutama syarat swab untuk PPDN, praktisi pariwisata I Gede Gian Saputra yang diwawancarai terpisah mengaku sempat bicara dengan pengelola hotel.
Pengelola hotel tersebut mengatakan harus siap-siap menerima pembatalan tamu kalau benar SE ini diterapkan.
Banyak tamu takut berangkat ke Bali, karena harus swab test. Selain alasan biaya, mereka juga takut menjalani tes.
“Silakan kalau tetap harus ada tes, cukup swab test, rapid tes dihapus saja. Tapi pembiayaan agar dibantu, atau biaya swab test dipermurah.
Ini akan sangat membantu pariwisata bangkit, di sisi lain juga tetap memprioritaskan kesehatan masyarakat,” tutur Gian.
Menurut Gian, SE ini memang sangat dilematis. Ia melihat apa yg dilakukan Pemprov Bali bertujuan agar Bali tidak menjadi klaster penyebaran Covid-19, atau bahkan terjadi gelombang kedua.
Ia menambahkan, rapid test merupakan filter untuk memastikan turis yang berkunjung ke daerah memiliki risiko menularkan yang lebih rendah.
Walaupun belum tentu menjamin 100 persen benar bahwa orang yang sudah test, hasilnya negatif/positif.
“Di lingkungan saya, banyak orang OTG, kondisinya bagus, tapi pas dites ternyata reaktif atau kadang dinyatakan positif Covid-19,” ujar Gian.
Tapi, lanjut Gian, kalau memang untuk alasan kesehatan, rapid test dihapus saja. Toh tidak menjamin 100 persen kebenarannya.
Banyak kejadian dari adanya tes ini justru menjadi polemik di masyarakat, baru reaktif, informasi tersebar sudah positif. Sehingga terjadi tekanan psikologis, stress, imun menurun, dan akhirnya benar virus masuk.
“Menurut saya, kalau wisatawan yang terpenting pada penerapan protokol kesehatan. Cek suhu tubuh, pakai masker, rajin cuci tangan, jaga jarak, jauhi kerumunan.
Begitu juga dari sisi penyedia jasa pariwisata, agar benar menerapkan prokes,” tandas pria yang juga dosen pariwisata itu.
Gian mengungkapkan, dari hasil penelitian yang dilakukan Kemenparekraf bekerjasama dengan Poltekpar Bali,
menunjukan Bali sudah siap meskipun dengan catatan bahwa wisatawan menginginkan adanya akselerasi penerapan prokes, agar liburannya benar-benar aman dan nyaman.
Mana yang harus diutamakan, ekonomi atau pariwisata? Gian menyebut yang harus didahulukan tentunya kesehatan.
Untuk mencapai sehat, tentunya kondisi harus happy. “Jangan kebanyakan tes. Karena kalau tes, psikologis orang sudah khawatir, ini justru menimbulkan sakit,” sentilnya.
Saat ini kondisi pariwisata sangat sulit. Yang membuat sulit karena orang dilarang melakukan perjalanan. Ini yang tidak pas.
“Kalau mau ekonomi pariwisata bangkit, ya harus didorong orang melakukan perjalanan. Bukan dilarang. Dengan syarat bukan dites, tapi penerapan prokes yang diperketat,” imbuhnya.
Gian memiliki pengalaman penerapan prokes masih longgar saat naik pesawat. Sebelum naik pesawat ia sudah menjalani swab test, hasilnya negative.
Saat di bandara divalidasi sebanyak tiga kaki. Tapi, saat duduk di pesawat ternyata bersebelahan dan tidak jaga jarak. “Ya, sama saja. Masih ada risiko dengan tidak jaga jarak,” sentilnya.
Pelaku pariwisata berharap pemerintah membantu pembiayaan swab test jika masih menjadi persyaratan.
Selama swab test dan rapid test diwajibkan tanpa disubsidi, ia yakin banyak orang yang akan membatalkan kunjungannya ke Bali.
“Yang terjadi multiflyer effect, dampaknya pasti panjang ke mana-mana,” tandasnya. Untuk bertahan hidup, yang perlu dilakukan adalah beradaptasi.
Manfaatkan teknologi, perluas jejaring, dan kreatif. Semua metode belajar sangat dipermudah. Pasar global bisa terjangkau asal mau belajar.
Yang penting juga adalah dukungan dari pemerintah. Tidak saja bantuan langsung, tapi bantuan akses modal, akses kerja.
“Bagi kita masyarakat biasa, jangan milih-milih kerjaan. Yang masih punya kerjaan saatnya saling support. Dalam pariwisata, fokuskan kembangkan pariwisata dalam negeri,” pungkasnya.