31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 10:36 AM WIB

Mebuug-buugan, Tradisi Unik Memoles Tubuh dengan Lumpur, Maknanya…

MANGUPURA – Ragam tradisi mewarnai Ngembak Geni, Minggu (18/3) kemarin, atau sehari setelah Hari Raya Nyepi. Seperti di Kabupaten Badung.

Salah satu yang lestari di Bumi Keris Badung adalah tradisi mebuug-buugan yang berlangsung di Desa Adat Kedonganan. Tradisi ini dari tiga tahun belakangan rutin digelar.

Prosesi mebuug-buugan ini dilaksanakan pukul 16.00, diikuti oleh ratusan warga setempat. Diawali dari berkumpul di Pura Desa untuk matur piuning.

Selanjutnya, para peserta mebuug-buugan ini menuju jalan Pura Dalem Kedongana atau menuju pantai segara  hutan mangrove.

Sebelum turun ke hutan, para peserta diperciki air suci (tirta). Kemudian satu per satu mereka langsung menuju hutan bakau.

Tak berselang lama, mereka kembali keluar hutan dengan tubuh dibalut lumpur. Peserta yang ikut tradisi tersebut dari berbagai kalangan.

Mulai anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Bahkan para remaja wanita dan juga ibu-ibu turut ikut perayaan tradisi tersebut.

Tak perlu takut gatal karena lumpur yang tercemar. Pasalnya, mereka meyakini lumpur yang berada di dalam tidak membuat gatal.

Asalkan, cara mengambil lumpur harus menggali setengah tangan, kemudian ditemukan lumpur berwarna cokelat kemerah-merahan.

Itu berati lumpur aman untuk dioleskan ke dalam tubuh. Setelah itu, mereka pun berjalan kaki menuju catus pata, Pura Desa dan terakhir menuju Pantai kedonganan untuk melakukan pembersihan diri, baik jasmani  mau pun rohani.

Bendesa adat Kedonganan I Wayan Mertha menerangkan,  tradisi ini sudah lama sekali, hanya saja tidak tercatat.

Namun dari informasi, tradisi ini pernah berjalan, berhenti dan berjalan lagi. Namun, sejak tiga tahun belakangan ini intens berjalan. 

Filosofi Mebuug-Buugan berdasarkan cerita orang tua dulu, ini adalah terkait  kegembiraan dari anak-anak  menyambut hari raya nyepi.

Sebab dulu tidak ada ogoh-ogoh dan aktivitas ini dipakai. Kedua, Mebuug-Buugan sebagai ungkapan rasa syukur. Sebab, sekali waktu desa adat Kedonganan panen ikannya melimpah.

 “Yang terlibat, ada seribu anak-anak yang ikut. Mereka sangat antusias. Selain ini bagian milik mereka, kami juga mengajukan tradisi sebagai warisan tak benda

Nasional lewat Dinas Kebudayaan Badung dan sekarang masih melengkapi informasinya. Kami harap Mebuug-buugan ini bisa menjadi ikon Kedonganan, ” jelasnya. 

MANGUPURA – Ragam tradisi mewarnai Ngembak Geni, Minggu (18/3) kemarin, atau sehari setelah Hari Raya Nyepi. Seperti di Kabupaten Badung.

Salah satu yang lestari di Bumi Keris Badung adalah tradisi mebuug-buugan yang berlangsung di Desa Adat Kedonganan. Tradisi ini dari tiga tahun belakangan rutin digelar.

Prosesi mebuug-buugan ini dilaksanakan pukul 16.00, diikuti oleh ratusan warga setempat. Diawali dari berkumpul di Pura Desa untuk matur piuning.

Selanjutnya, para peserta mebuug-buugan ini menuju jalan Pura Dalem Kedongana atau menuju pantai segara  hutan mangrove.

Sebelum turun ke hutan, para peserta diperciki air suci (tirta). Kemudian satu per satu mereka langsung menuju hutan bakau.

Tak berselang lama, mereka kembali keluar hutan dengan tubuh dibalut lumpur. Peserta yang ikut tradisi tersebut dari berbagai kalangan.

Mulai anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Bahkan para remaja wanita dan juga ibu-ibu turut ikut perayaan tradisi tersebut.

Tak perlu takut gatal karena lumpur yang tercemar. Pasalnya, mereka meyakini lumpur yang berada di dalam tidak membuat gatal.

Asalkan, cara mengambil lumpur harus menggali setengah tangan, kemudian ditemukan lumpur berwarna cokelat kemerah-merahan.

Itu berati lumpur aman untuk dioleskan ke dalam tubuh. Setelah itu, mereka pun berjalan kaki menuju catus pata, Pura Desa dan terakhir menuju Pantai kedonganan untuk melakukan pembersihan diri, baik jasmani  mau pun rohani.

Bendesa adat Kedonganan I Wayan Mertha menerangkan,  tradisi ini sudah lama sekali, hanya saja tidak tercatat.

Namun dari informasi, tradisi ini pernah berjalan, berhenti dan berjalan lagi. Namun, sejak tiga tahun belakangan ini intens berjalan. 

Filosofi Mebuug-Buugan berdasarkan cerita orang tua dulu, ini adalah terkait  kegembiraan dari anak-anak  menyambut hari raya nyepi.

Sebab dulu tidak ada ogoh-ogoh dan aktivitas ini dipakai. Kedua, Mebuug-Buugan sebagai ungkapan rasa syukur. Sebab, sekali waktu desa adat Kedonganan panen ikannya melimpah.

 “Yang terlibat, ada seribu anak-anak yang ikut. Mereka sangat antusias. Selain ini bagian milik mereka, kami juga mengajukan tradisi sebagai warisan tak benda

Nasional lewat Dinas Kebudayaan Badung dan sekarang masih melengkapi informasinya. Kami harap Mebuug-buugan ini bisa menjadi ikon Kedonganan, ” jelasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/