DENPASAR – Tradisi yang paling ditunggu-tunggu masyarakat Bali maupun wisatawan local maupun asing sehari setelah Nyepi adalah Omed-omedan.
Tradisi yang digelar sejak ratusan tahun lalu di Banjar Kaja, Desa Pakraman, Sesetan, Denpasar menjadi daya tarik sendiri setiap momen Ngembak Geni, atau sehari setelah Nyepi.
Wajar, sejak pagi, depan Banjar Kaja, Sesetan dipadati penonton. Mereka ingin menyaksikan dari dekat para pemuda pemudi setempat saling lempar air lalu pelukan dalam kondisi basah kuyup.
Sebelum dimulai, acara diawali dengan pertunjukan Barong Bangkung. Setelah itu pemuda dan pemudi akan dibagi dua barisan.
Barisan putra putri saling berhadapan membentuk horizontal. Tepat pukul 16.00 acara dimulai. Peserta akan disiram air terlebih dahulu oleh panitia.
Ketua Seka Teruna Dharma Kerti, I Made Widya Sura Putra mengatakan, tradisi Omed-omedan biasa dilakukan kalangan muda setempat.
Sebelum tradisi berlangsung dmulai dilakukan persembahyang bersama terlebih dahulu dan mendapat arahan dari tokoh masyarakat setempat.
“Tradisi ini tidak semata sebagai ajang pelukan atau ciuman massal seperti informasi yang ada. Karena omed-omedan itu kan berarti saling tarik-menarik bahkan itu ada pakemnya yang jelas.
Mereka yang melakukan juga anggota STT yang diangkat oleh temannya secara spontanitas tanpa mengurangi tradisi dan pakem yang ada,” jelasnya.
Menurut Putra, tradisi itu hanya boleh dilakukan oleh anggotanya yang baru masuk sekaa teruna dan yang belum kawin.
Sedangkan bagi yang mengalami cuntaka (kotor/datang bulan) tidak diperkenankan ikut melakukan tradisi tersebut, karena prosesi awalnya dilakukan pada pura banjar setempat.
“Kami mulai dari pukul 16.00 sampai selesai, sedangkan yang melakukan omed-omedan maksimal itu dilakukan oleh dua pasang saja dari 350 anggota STT dengan durasi tidak tentu,” imbuhnya.
Lanjutnya, acara itu diikuti oleh 350 anggota sekaa teruna setempat yang nampak pelukan. Bahkan teknisnya tersebut diawali sebuah upacara dan pakem-pakem dalam pelaksanaannya.
Penglingsir Puri Sesetan atau biasa disebut maestro tradisi omed-omedan, I Gusti Ngurah Oka Putra mengatakan, tradisi di desanya itu bagi masyarakat awam memang seperti ciuman masal.
Namun ia membantah, karena dalam kenyataannya tidak seperti yang dilihat pada sosial media.
“Namanya juga omed-omedan berarti saling tarik-menarik. Di sana memang adanya sebuah pertemuan antara pipi pelaku, dan tidak ada sama yang bibir-ketemu bibir karena semua itu sudah ada pakem,” ucapnya.
Diungkapkan tradisi itu memang dilaksanakan untuk memperingati pergantian tahun baru caka yang diperkirakan sudah ada pada abad ke 18 masehi.
“Ini sama kayak kita bersilahturahmi dengan dilakukan bersenang-senang dan penuh kegembiraan. Sejarahnya juga sangat Panjang.
Sampai saat ini dilakukan setiap tahun kami tidak menyangka akan menjadi tradisi yang unik bahkan sampai ke luar negeri,” terangnya.
Menarik, setelah acara Omed-omedan selesai. Panitia sudah membbrikan kode dengan tangan dan gamelan berhenti.
Saat itu, ada beberapa peserta yang jatuh dan berteriak. Mereka mengalami kerasukan, dan yang kerasukan langsung dipapah dibawa ke dalam pura banjar.
Salah seorang peserta, Ni Komang Puspita, 19, mengaku baru dua kali mengikuti tradisi Omed-omedan. Dirinya mengaku biasa saja dan ini adalah kewajiban melaksanakan tradisi dari Banjarnya.
Meski demikian, diakuinya saat pertama kali, yakni tahun lalu. Dirinya merasa grogi dan terkejut . “Kalau sekarang sudah terbiasa. Karena sama teman juga,” imbuhnya.
Sementara itu, peserta putra, Made Widnyana, mengaku lebih bugar dan sehat setelah mengikut tradisi Omed-omedan ini.
Diakuinya, dulu sering tidak enak badan dan langsung sembuh sejak ikut omed-omedan. “ Ada pengaruh dengan kesehatan. Dulu sering tidak enak badan.
Semenjak masuk Omed-omedan langsung sembuh,” ujarnya. Dia telah sembilan kali mengikuti Omed-omedan ini dan merasa biasa saja karena sudah tradisi.