29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:10 AM WIB

Kunjungan Turis Kecil,Prof Raka: Bagaimana Datang Jika Semua Tak Boleh

MANGUPURA – Dana hibah pariwisata yang digelontorkan senilai Rp.1,18 triliun ternyata tak berdampak banyak bagi kelangsungan hidup dunia pariwisata di Bali.

Justru sebagian hotel atau restaurant di Bali memilih tutup setelah menerima dana hibah.

Pengamat ekonomi di Bali Prof Dr Ida Bagus Raka Suardana SE MM menilai, sektor pariwisata sangat tergantung dari kedatangan orang (tourist).

Sementara dimasa pandemi seperti sekarang ini, orang yang datang tidak ada, kalaupun ada, dari segi kuantitas sangat kecil.

“Pandemi ini telah memporakporandakan kehidupan sosial yang bercirikan kerumunan, saling menyapa (berinteraksi), suasana kegembiraan dan yang sejenisnya.

Semuanya itu tidak boleh selama virus corona ini menjadi momok menakutkan. Lalu, bagaimana tamu (tourist) mau datang jika semua itu tidak boleh?” kata Prof Raka Suardana saat dikonfirmasi Radarbali.id, Minggu (21/2).

Bagi Prof Raka Suardana, syarat prokes untuk berwisata menjadi beban tersendiri. Bayangkan, mau berkunjung ke Bali untuk berwisata harus melewati tes swab PCR, minimal antigen, yang dari sisi biaya lumayan mahal.

“Jelas semua itu merupakan kendala tersendiri bagi tamu (domestik) yang akan ke Bali,” tegas Prof Raka Suardana lagi.

Begitu juga bagi wisatawan lokal (Bali) pun akan terasa tidak begitu nyaman untuk sekedar masuk ke obyek wisata dalam suasana seperti ini. Ada perasaan takut.

Jika mengandalkan tamu dari turis asing, bagi Prof Raka, tampaknya itu hal yang sangat sulit, sebab di negara mereka saja menerapkan prokes yang sangat ketat.

Bahkan, ada beberapa negara yang dulunya menjadi primadona Bali, malah mereka melarang warganya untuk ke luar negeri. 

“Sehingga dana hibah pariwisata untuk mendongkrak kedatangan tamu, jelas belum efektif. Mungkin dana hibah itu dimaksimalkan untuk maintenace (merawat) fasilitas pariwisata yang ada, agar tidak mengalami kerusakan,” ungkapnya.

“Sebagai contoh, dapat dibayangkan sebuah hotel yang punya 200 kamar, lalu tamu hanya 10 orang, bahkan mungkin tidak ada, maka kamar/fasilitas jelas akan rusak

jika tidak dirawat selama hampir setahun ini. Demikian juga dengan destinasi wisata yang lain, maka perlu biaya perawatan,” pungkasnya.

MANGUPURA – Dana hibah pariwisata yang digelontorkan senilai Rp.1,18 triliun ternyata tak berdampak banyak bagi kelangsungan hidup dunia pariwisata di Bali.

Justru sebagian hotel atau restaurant di Bali memilih tutup setelah menerima dana hibah.

Pengamat ekonomi di Bali Prof Dr Ida Bagus Raka Suardana SE MM menilai, sektor pariwisata sangat tergantung dari kedatangan orang (tourist).

Sementara dimasa pandemi seperti sekarang ini, orang yang datang tidak ada, kalaupun ada, dari segi kuantitas sangat kecil.

“Pandemi ini telah memporakporandakan kehidupan sosial yang bercirikan kerumunan, saling menyapa (berinteraksi), suasana kegembiraan dan yang sejenisnya.

Semuanya itu tidak boleh selama virus corona ini menjadi momok menakutkan. Lalu, bagaimana tamu (tourist) mau datang jika semua itu tidak boleh?” kata Prof Raka Suardana saat dikonfirmasi Radarbali.id, Minggu (21/2).

Bagi Prof Raka Suardana, syarat prokes untuk berwisata menjadi beban tersendiri. Bayangkan, mau berkunjung ke Bali untuk berwisata harus melewati tes swab PCR, minimal antigen, yang dari sisi biaya lumayan mahal.

“Jelas semua itu merupakan kendala tersendiri bagi tamu (domestik) yang akan ke Bali,” tegas Prof Raka Suardana lagi.

Begitu juga bagi wisatawan lokal (Bali) pun akan terasa tidak begitu nyaman untuk sekedar masuk ke obyek wisata dalam suasana seperti ini. Ada perasaan takut.

Jika mengandalkan tamu dari turis asing, bagi Prof Raka, tampaknya itu hal yang sangat sulit, sebab di negara mereka saja menerapkan prokes yang sangat ketat.

Bahkan, ada beberapa negara yang dulunya menjadi primadona Bali, malah mereka melarang warganya untuk ke luar negeri. 

“Sehingga dana hibah pariwisata untuk mendongkrak kedatangan tamu, jelas belum efektif. Mungkin dana hibah itu dimaksimalkan untuk maintenace (merawat) fasilitas pariwisata yang ada, agar tidak mengalami kerusakan,” ungkapnya.

“Sebagai contoh, dapat dibayangkan sebuah hotel yang punya 200 kamar, lalu tamu hanya 10 orang, bahkan mungkin tidak ada, maka kamar/fasilitas jelas akan rusak

jika tidak dirawat selama hampir setahun ini. Demikian juga dengan destinasi wisata yang lain, maka perlu biaya perawatan,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/