SINGARAJA – Jalur shortcut Singaraja-Denpasar, dikhawatirkan memukul industri pariwisata di Buleleng.
Badan Pengurus Cabang Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (BPC PHRI) Buleleng berpendapat, jalur itu akan membuat tingkat hunian hotel di Buleleng menjadi lesu.
PHRI Buleleng mencatat, lama masa menginap wisatawan di Buleleng kini terus mengalami penurunan.
Pada awal 1990-an, rata-rata lama menginap wisatawan bisa mencapai lebih dari sepekan. Sejak lima tahun terkahir, lama rata-rata menginap tak lebih dari 3 hari.
Keberadaan jalur shortcut justru dikhawatirkan membuat tingkat hunian semakin lesu.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Ketua PHRI Buleleng Dewa Ketut Suardipa mendesak agar pemerintah melakukan optimalisasi pada Daya Tarik Wisata (DTW) yang ada di Buleleng
Untuk mengantisipasi hal tersebut, ia mendesak agar pemerintah melakukan optimalisasi pada Daya Tarik Wisata (DTW) yang ada di Buleleng.
Kini tercatat ada 86 DTW di Buleleng. Karena jumlah DTW terlalu banyak, perhatian pemerintah pun terpecah.
Ia berharap agar pemerintah fokus, setidaknya pada lima DTW lebih dulu. Yakni city tour di Kota Singaraja, penataan kawasan wisatan Lovina,
pengembangan pariwisata Pemuteran, pengembangan pariwisata di Tejakula, serta pengembangan pariwisata di Munduk.
“Dengan strategi ini paling tidak mereka bisa lebih lama tinggal di Buleleng. Jadi bukan hanya datang lihat dolphin,
tapi bisa lanjut city tour misalnya, menginap di Lovina atau Munduk, atau di Pemuteran, atau di Tejakula,” ujarnya.
Terkait penataan destinasi wisata, Kepala Dinas Pariwisata Buleleng Nyoman Sutrisna menyatakan pemerintah telah fokus melakukan penataan.
Setidaknya pemerintah sudah fokus melakukan penataan di 10 destinasi wisata yang ada di Buleleng. Upaya penataan itu diharapkan bisa mengoptimalkan tingkat kunjungan wisatawan.
Asal tahu saja, BPC PHRI Buleleng menyebut angka hunian hotel di Buleleng kini merosot hingga 25 persen.
Kondisi itu terjadi sejak dua tahun terakhir. Tingkat hunian hotel-hotel berbintang, kini rata-rata hanya 40 persen per bulan.
Sedangkan fasilitas akomodasi lain seperti penginapan maupun hotel melati, bahkan tinggal 20 persen per bulan.