DENPASAR, Radar Bali- Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar secara khusus mempersembahkan kreasi terbaru Pergelaran Ekologis Candet Ding. Pergelaran dengan melibatkan 125 seniman, terdiri atas unsur mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan ISI Denpasar, termasuk kolaborasi dengan 10 orang seniman dari Kabupaten Kediri. Pergelaran bertajuk “Pituning Pitu Indonesia Raya: Sujud Ibu” dipanggungkan serangkaian kegiatan Bali Nata Bhuwana I “Nuwur-Taksu-Kamulan” Tahun 2022 pada Sabtu (15/10) di Candi Tegowangi, Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Pergelaran dihadiri Wakil Bupati Kediri, Dewi Maria Ulfa, Ketua LLDikti Wilayah VII, Prof. Dyah Sawitri, Pj. Sekda Kabupaten Kediri, Adi Suwignyo, Rektor ISI Denpasar Prof. Wayan ‘Kun’ Adnyana beserta jajaran, tokoh masyarakat, seniman, budayawan, dan disambut antusias masyarakat Jawa Timur.
Pergelaran Candet Ding merupakan kreasi baru memadukan taksu khorus polos-sangsih, gong suling, selonding, kendang mredangga, dan jegog. Sebentuk transformasi 90 tahun pertunjukan cak (kecak) karya Wayan Limbak dan Walter Spies. Pada pergelaran ini tidak lagi memakai kata “cak” sebagai unsur ritme utama tetapi diganti dengan idiom-idiom vokal baru yang berorientasi pada bunyi semesta. Khorus polos-sangsih memadusilang karakter bunyi “ding” pada candetan, dan “dang” dalam orkestrasi parade kendang.
Tema “Pituning Pitu Indonesia Raya: Sujud Ibu” secara dramatikal dipetik dari lakon Adiparwa tentang kepahlawanan Garudeya. Sosok Garudeya membebaskan Sang Ibu, Dewi Winata dari perbudakan Dewi Kadru. “Kepahlawanan Garudeya menunjuk pada sikap patriotik sejati, tidak terhalang masa waktu, dan hadir sepanjang zaman. Lakon yang digarap pada pergelaran ini untuk membangun semangat patriotisme anak bangsa; Pituning Pitu Indonesia Raya memaknai 77 tahun Kemerdekaan Indonesia. Patriotisme yang sesungguhnya juga tercermin dari cinta abadi seorang Ibu; Dewi Winata memberkahi Garudeya untuk mencari Tirtha Amreta (air suci kehidupan), “urai Prof Kun Adnyana.
Guru besar bidang Sejarah Seni Rupa ini menambahkan, bahwa lakon dan koreografi ekologis Candet Ding juga menginterpretasi relief Candi Tegowangi yang bertema Sudhamala: peruwatan Durga menjadi Parwati, sekaligus pemuliaan kesetiaan Kunti pada Sahadewa. “Dewi Winata sebagai representasi kesetiaan Kunti, begitu pula Garudeya laksana patriotisme Sahadewa. Winata dan Garudeya termuliakan sebagai simbol kepahlawanan sejati dari amarah keangkuhan Kadru. Selain interpretasi secara tematis, Candet Ding juga terinspirasi dari relief pemain kendang pada Candi Tegowangi, mewujud komposisi kendang “Dang Merdangga.”
Ide dan gagasan pergelaran kolosal ini diinisiasi oleh Prof. Dr. I Wayan ‘Kun’ Adnyana bersama-sama Dr. Anak Agung Gede Rai Remawa, Dr. I Ketut Muka, dan Prof. Dr. I Komang Sudirga. Sebagai koordinator I Gede Mawan, S.Sn., M.Si, artistik direktur I Wayan Suweca, S.SKar., M.Mus, komposer Dr. Ketut Garwa, narator: Dr. I Ketut Kodi dan Dr. Gusti Ketut Sudarta, koreografer: Dr. Kt. Suteja, Tjokorda Putra Padmini, SST., M.Sn., Dr. I Kadek Widnyana, I Made Sidia, SSP., M.Sn, dan Gede Oka Surya Negara, SST., M.Sn., serta properti: Cokorda Alit Artawan, S.Sn., M.Sn dan I Nyoman Laba, S.Sn., M.Sn.
Menurut penanggung jawab garapan Candet Ding, Prof. Dr. I Komang Sudirga, dalam upaya penguatan koreografi dan vokal dari kreasi baru ini, juga ditopang serangkaian workshop yang melibatkan beberapa maestro di antaranya: Ketut Rina (Teges Kanginan), Tjok. Raka Tisnu (Puri Singapadu), I Nyoman Rote Adi (Tegal Tamu), serta I Gusti Made Putra dan I Gusti Ngurah Susana (Bona-Blahbatuh). “Keterlibatan Sanggar binaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, juga menambah keutuhan dan nuansa Bali-Jawa, berikut lantunan gerong cengkok Jawa pada segmen prosesi Deeng. Guna mendapat spirit dan taksu, sebelum pergelaran dilaksanakan ritual pemuliaan yoni, pemujaan di Situs Calonarang, dan penanaman pohon bunga frangipani”.
Wakil Bupati Kediri Dewi Ulfa dalam sambutan menyatakan, sangat mengapresiasi pergelaran yang dilakukan ISI Denpasar, selain membangkitkan potensi seni daerah, juga ajang promosi pariwisata, dan terutama turut menambah wawasan penguasaan seni budaya untuk kaum milenial. Pergelaran Kolosal berdurasi 60 menit ini, juga sangat diapresiasi masyarakat Kota dan Kabupaten Kediri, termasuk penonton yang datang dari Kota Surabaya, Trowulan, dan Tulungagung, Jawa Timur. Beberapa pengunjung menyatakan kekaguman pada pergelaran yang ditata apik dan menyentuh.Bahkan, di antara mereka menyatakan sangat merindukan pergelaran seperti ini, karena terlalu lama tidak pernah menyaksikan pergelaran bernuansa ritus yang padu dengan petilasan candi, ujar Juru Pelihara Candi Tegowangi, Nurali. (ken/mar)