RadarBali.com – Menghuni kamp pengungsian dalam waktu lama, membuat para pengungsi dihinggapi rasa bosan.
Tak terkecuali dengan para pengungsi asal Banjar Dinas Batugiling, Desa Dukuh, Kecamatan Kubu.
Pengungsi yang membuat kamp mandiri di wilayah hutan jati, Banjar Dinas Sanih, Desa Bukti, Kubutambahan itu, membuat kerajinan perasok untuk mengisi waktu.
Para pengungsi sudah menghuni kamp mandiri itu sejak sepekan terakhir. Tak banyak aktifitas yang bisa mereka lakukan, kecuali memelihara ternak dan memasak.
Selain itu, tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan. Sejak Kamis (28/9) lalu, para sejumlah pengungsi mulai menyibukkan diri dengan membuat kerajinan perasok.
Ini kerajinan mengolah tanaman menjadi bahan hiasan. Biasanya perasok digunakan untuk rambut barong.
Seperti yang terlihat kemarin, sejumlah wanita terlihat menyibukkan diri membuat kerajinan ini. Mereka duduk di kandang ternak.
Berteduh sekaligus mengisi waktu luang. Mereka membuat perasok, agar tidak stress selama menghuni pengungsian.
Berdiam diri dalam waktu lama, diakui membuat para pengungsi – utamanya kaum hawa – merasa pusing.
Salah seorang pengungsi, Komang Sulasmini menjelaskan, perasok berasal dari tanaman pandan Bali yang berduri. Banyak warga dari Desa Dukuh yang mengisi waktu dengan membuat kerajinan ini.
Sulasmini mengaku dirinya sudah cukup lama menggeluti kerajinan ini. Sejak menghuni pengungsian, ia sempat berpangku tangan cukup lama. Karena bosan, ia kembali melirik pekerjaan lamanya.
Beberapa hari lalu, ia nekat pulang ke rumahnya di Batugiling. Meski berada di zona merah, ia tetap memberanikan diri.
Tujuannya mengambil bahan baku yang tersedia. Seperti kayu pegangan dan benang untuk mengikat perasok.
“Saya harus ambil dulu alat-alatnya di rumah. Kalau bahan pandan saya cari di sekitar sini. Sempat saya keliling-keliling, akhirnya ketemu di Desa Bungkulan. Saya beli bahan baku di sana,” kata Sulasmini.
Di pengungsian, hanya ia seorang yang bisa membuat kerajinan ini. Akhirnya ia pun mengajari beberapa saudaranya di pengungsian, membuat kerajinan tersebut.
Hitung-hitung mengisi waktu luang, sekaligus mendapat rejeki bila laku. Biasanya, kata Sulasmini, perasok digunakan untuk rambut barong maupun rambut ogoh-ogoh.
Namun selama di pengungsian ia membuatnya untuk hiasan penjor. “Galungan kan sudah dekat. Jadi saya buat yang bisa dijadikan hiasan penjor saja. Biar banyak yang beli. Kalau untuk rambut barong beda lagi, lebih ruwet prosesnya,” jelasnya.
Kini setelah produk kerajinannya jadi, Sulasih justru bingung bagaimana cara memasarkannya. Dulu ia menyalurkan perasok buatannya lewat pengepul di desanya.
Sayang pengepulnya juga ikut mengungsi. Di tangan pengepul, kerajinan buatannya dihargai Rp 4.000 per ikat. Selanjutnya pengepul akan membawanya ke Gianyar dan dijual di sana.
Dia berharap pengepul akan kembali menjalin kontak dengan perajin-perajin lainnya. Sehingga kerajinan buatannya tak sia-sia. Hasilnya akan ia gunakan sebagai bekal selama menghuni pengungsian.
“Mudah-mudahan nanti bisa diambil. Apakah lewat pengepul, apa saya yang bawa ke Gianyar, belum tahu. Kalau tidak, ya nanti berusaha cari pembeli sendiri,” tandas Sulasmini