SINGARAJA – DPRD Buleleng kembali mendesak pemerintah menyiapkan dana talangan untuk membiayai pengobatan masyarakat miskin, terutama di fasilitas kesehatan milik pemerintah.
Sebab cash flow kondisi keuangan di RSUD Buleleng terancam tak seimbang, karena tingginya beban piutang yang tak berhasil ditagih.
Pada tahun 2020 lalu, beban piutang di RSUD Buleleng mencapai Rp 2 miliar. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, beban piutang hanya berkisar pada angka Rp 600 juta hingga Rp 700 juta per tahun.
Diduga kondisi itu terjadi karena masalah pandemi covid-19. Sebab banyak masyarakat yang kehilangan sumber pembiayaan jaminan kesehatan mereka.
Ada yang tak mampu lagi membayar iuran BPJS secara mandiri. Ada pula yang kehilangan jaminan kesehatan, karena sudah di-PHK oleh perusahaannya.
Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna mengatakan, dewan terus mendorong agar pemerintah menyiapkan dana talangan di RSUD Buleleng.
Usulan itu telah disampaikan dalam dokumen resmi yang disampaikan dewan untuk perbaikan kinerja eksekutif pada tahun anggaran 2021.
“Kami melihat semakin banyak masyarakat yang kehilangan jaminan kesehatan mereka. Dulu mereka punya BPJS, sekarang tidak punya.
Untuk beralih ke skema PBI (penerima bantuan iuran) APBD, butuh waktu. Sedangkan mereka butuh pengobatan. Akhirnya kan mereka tidak bisa membiayai pengobatan mereka,” kata Supriatna.
Selain itu dewan juga memperhitungkan kondisi keuangan di RSUD Buleleng. Sebab pada tahun 2020 lalu, kondisi cash flow keuangan di RSUD Buleleng sedikit terkendala.
Mengingat beban piutang terus menggunung. Sementara pihak rumah sakit kesulitan menagih piutang tersebut, karena masyarakat memang tak mampu membayar biaya pengobatan tersebut.
Menurut Supriatna, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Bali telah mengizinkan pemerintah memasang dana talangan.
Ia menegaskan sudah melakukan konsultasi langsung ke BPK Perwakilan Bali, bersama dengan Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Buleleng.
“Kami juga nggak ngerti kenapa selama ini dari eksekutif selalu mengatakan bahwa BPK tidak mengizinkan. Tapi setelah kami ke sana, BPK memperbolehkan kok.
Tinggal menempatkan nomenklatur saja. Kami rasa ini tinggal komitmen dari pemerintah daerah saja,” tukas Supriatna.