SINGARAJA – Rabies masih menjadi ancaman di Tejakula, Buleleng. Pola pemeliharaan anjing yang longgar membuat wabah rabies sulit dikendalikan.
“Kami sempat keliling dengan aparat desa di daerah itu. Cara pemeliharaannya longgar. Banyak yang dilepasliarkan. Di daerah itu memang perlu ditata cara pemeliharaannya,” kata Kabid Peternakan dan Kesehatan Hewan drh. Wayan Susila.
Selain itu dari data Dinas Pertanian Buleleng menunjukkan, populasi HPR di Desa Tejakula cukup tinggi. Mencapai 1.500 ekor yang tersebar di 10 banjar dinas.
Tingginya populasi itu berbanding lurus dengan tingginya resiko penularan rabies di Tejakula. Pihaknya memberi kesempatan pada aparat desa melakukan sosialisasi cara pemeliharaan hewan yang bertanggungjawab.
Sehingga tidak ada lagi hewan yang lepas liar. Susila pun optimistis metode pemeliharaan yang tepat, dapat mencegah meluasnya penularan virus rabies.
Ia juga meminta agar desa-desa lain di Tejakula yang masuk dalam zona merah, seperti Desa Sambirenteng dan Tembok, ikut waspada dengan menyeruaknya kasus rabies pada manusia.
Pasalnya, masih ada potensi penularan rabies yang harus diwaspadai. “Kami juga dorong agar desa-desa itu membuat perarem tentang rabies.
Sehingga pola pemeliharaan hewan, utamanya anjing, bisa dilakukan secara bertanggungjawab,” tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ketut Wijaya, 50, warga Banjar Dinas Kajanan, Desa Tejakula, menghembuskan nafas terakhirnya di RSUD Buleleng, Kamis (1/2) dini hari.
Korban meninggal dengan status suspect rabies. Mendiang diduga sempat digigit anjing liar pada November 2017 lalu pada betis kiri.
Sayangnya kasus gigitan itu tidak pernah dilaporkan, sehingga korban tak pernah mendapat suntikan vaksin anti rabies.