25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 8:00 AM WIB

Persalinan Lebih Lancar, Dulu Dikenal sebagai Lokasi Pertempuran

Buleleng menyimpan sejumlah pura yang menjadi rujukan lokasi melukat. Salah satu yang tersohor adalah Pura Tirta Sudhamala. Seperti apa?

 

eka prasetya/candra gupta

 

PURA ini kerap menjadi lokasi rujukan bagi wanita hamil yang ingin melukat. Terkadang pura ini juga menjadi tujuan bagi pamedek yang ingin nunas tamba. Pura Tirta Sudhamala terletak di wewidangan Desa Adat Banyuasri.

 

Tak sulit menemukan pura ini. Pura ini terletak di Gang VI Jalan Sudirman, Singaraja. Pura terletak di sisi barat Tukad Banyumala. Sementara lokasi penglukatan berada di sisi timur sungai. Pura dan lokasi penglukatan terhubung dengan sebuah jembatan beton sederhana.

 

Tak diketahui secara pasti sejak kapan pura berdiri. Konon lokasi itu menjadi garis pertahanan terakhir pasukan penjaga kawasan kota kerajaan Buleleng. Di lokasi itu kerap terjadi perang. Jenazah korban perang pun banyak bergelimpangan di sungai.

 

Jenazah-jenazah itu tak dikubur sebagaimana mestinya. Tapi dibiarkan membusuk di sungai. Dampaknya air sungai tak bisa dikonsumsi masyarakat. Karena dianggap penuh mala atau racun.

 

Syahdan, sempat terjadi ledakan di sekitar pura. Saat didatangi masyarakat, muncul sumber air yang mengalir deras. Salah satu warga yang datang sempat kerauhan. Menyebut bahwa air yang menyembur itu adalah air suci.

 

“Saat itu petunjuknya adalah air yang muncul itu adalah tirta (air suci) yang membersihkan sungai dari mala. Begitu kisah yang diyakini oleh tetua-tetua kami. Hingga saat ini tirta masih mengalir terus. Tidak pernah surut,” ungkap Jro Mangku Gede Ferry Hariawan, pemangku di Pura Tirta Sudhamala.

 

Menurutnya nama Pura Tirta Sudhamala juga diberikan atas petunjuk niskala. Ketika itu krama hendak melakukan penataan di sekitar areal pura. Termasuk menata lokasi munculnya tirta. Mendadak salah seorang krama mengalami kerauhan.

 

“Saat itu yang rauh adalah Dewa Ayu Manik Sudhamala. Beliau memberi petunjuk agar lokasi ini diberi nama Pura Tirta Sudhamala,” tuturnya.

 

Lebih lanjut Ferry menuturkan, pancoran penglukatan berasal dari 7 sumber mata air yang berbeda. Ketujuh sumber tersebut ditata sedemikian rupa. Sehingga aliran air mengarah ke satu lokasi saja. Tirta itu kemudian diarahkan keluar melalui mulut patung naga.

 

Tak pernah sekali pun pancoran tersebut surut. Apalagi kering. Terutama pada musim kemarau. Sementara pada musim penghujan, aliran air tetap konstan. Tak pernah keruh. 

 

Patung naga sengaja dibuat, karena sosok tersebut diyakini sebagai pengikut dari Dewa Ayu Manik Sudhamala. Sementara pengawalnya bermanifestasi dalam perwujudan dua ekor harimau.

 

Biasanya pamedek akan tangkil ke pura pada rahina purnama, purwani, tilem, kajeng kliwon, maupun rahinan lainnya. Tergantung dengan keinginan umat.

 

“Kalau purnama, biasanya dari pagi sampai malam di sini ramai. Yang datang itu pasangan suami istri. Biasanya istrinya sudah hamil tua. Kalau kajeng kliwon itu biasanya yang nunas tamba,” jelas Jro Mangku Ferry.

 

Umumya, masyarakat percaya bila ibu hamil melukat di sini, maka saat melahirkan akan lancar.

 

Lebih lanjut dijelaskan, umat yang datang cukup membawa sarana semampunya. Namun biasanya umat akan datang dengan banten peras pejati jangkep. Ditambah 11 jenis bunga, serta bunga teratai. (habis)

Buleleng menyimpan sejumlah pura yang menjadi rujukan lokasi melukat. Salah satu yang tersohor adalah Pura Tirta Sudhamala. Seperti apa?

 

eka prasetya/candra gupta

 

PURA ini kerap menjadi lokasi rujukan bagi wanita hamil yang ingin melukat. Terkadang pura ini juga menjadi tujuan bagi pamedek yang ingin nunas tamba. Pura Tirta Sudhamala terletak di wewidangan Desa Adat Banyuasri.

 

Tak sulit menemukan pura ini. Pura ini terletak di Gang VI Jalan Sudirman, Singaraja. Pura terletak di sisi barat Tukad Banyumala. Sementara lokasi penglukatan berada di sisi timur sungai. Pura dan lokasi penglukatan terhubung dengan sebuah jembatan beton sederhana.

 

Tak diketahui secara pasti sejak kapan pura berdiri. Konon lokasi itu menjadi garis pertahanan terakhir pasukan penjaga kawasan kota kerajaan Buleleng. Di lokasi itu kerap terjadi perang. Jenazah korban perang pun banyak bergelimpangan di sungai.

 

Jenazah-jenazah itu tak dikubur sebagaimana mestinya. Tapi dibiarkan membusuk di sungai. Dampaknya air sungai tak bisa dikonsumsi masyarakat. Karena dianggap penuh mala atau racun.

 

Syahdan, sempat terjadi ledakan di sekitar pura. Saat didatangi masyarakat, muncul sumber air yang mengalir deras. Salah satu warga yang datang sempat kerauhan. Menyebut bahwa air yang menyembur itu adalah air suci.

 

“Saat itu petunjuknya adalah air yang muncul itu adalah tirta (air suci) yang membersihkan sungai dari mala. Begitu kisah yang diyakini oleh tetua-tetua kami. Hingga saat ini tirta masih mengalir terus. Tidak pernah surut,” ungkap Jro Mangku Gede Ferry Hariawan, pemangku di Pura Tirta Sudhamala.

 

Menurutnya nama Pura Tirta Sudhamala juga diberikan atas petunjuk niskala. Ketika itu krama hendak melakukan penataan di sekitar areal pura. Termasuk menata lokasi munculnya tirta. Mendadak salah seorang krama mengalami kerauhan.

 

“Saat itu yang rauh adalah Dewa Ayu Manik Sudhamala. Beliau memberi petunjuk agar lokasi ini diberi nama Pura Tirta Sudhamala,” tuturnya.

 

Lebih lanjut Ferry menuturkan, pancoran penglukatan berasal dari 7 sumber mata air yang berbeda. Ketujuh sumber tersebut ditata sedemikian rupa. Sehingga aliran air mengarah ke satu lokasi saja. Tirta itu kemudian diarahkan keluar melalui mulut patung naga.

 

Tak pernah sekali pun pancoran tersebut surut. Apalagi kering. Terutama pada musim kemarau. Sementara pada musim penghujan, aliran air tetap konstan. Tak pernah keruh. 

 

Patung naga sengaja dibuat, karena sosok tersebut diyakini sebagai pengikut dari Dewa Ayu Manik Sudhamala. Sementara pengawalnya bermanifestasi dalam perwujudan dua ekor harimau.

 

Biasanya pamedek akan tangkil ke pura pada rahina purnama, purwani, tilem, kajeng kliwon, maupun rahinan lainnya. Tergantung dengan keinginan umat.

 

“Kalau purnama, biasanya dari pagi sampai malam di sini ramai. Yang datang itu pasangan suami istri. Biasanya istrinya sudah hamil tua. Kalau kajeng kliwon itu biasanya yang nunas tamba,” jelas Jro Mangku Ferry.

 

Umumya, masyarakat percaya bila ibu hamil melukat di sini, maka saat melahirkan akan lancar.

 

Lebih lanjut dijelaskan, umat yang datang cukup membawa sarana semampunya. Namun biasanya umat akan datang dengan banten peras pejati jangkep. Ditambah 11 jenis bunga, serta bunga teratai. (habis)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/