28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 5:55 AM WIB

Sembuh dari Covid-19, Tenaga Medis Rentan Terkena Stigma Negatif

SINGARAJA – Nasib tenaga medis yang menjadi gara terdepan dalam penanganan dan penanggulangan penyakit Covid-19, sangat rentan.

Mereka bukan hanya rentan tertular virus SARS-CoV-2 yang memicu penyakit Covid-19. Mereka juga rentan menerima stigma negatif dari masyarakat.

Kondisi rentan tertular virus itu telah dialami dua orang tenaga kesehatan yang sempat merawat pasien positif Covid-19 di Kabupaten Buleleng.

Kedua tenaga kesehatan itu sempat menghuni Ruang Isolasi selama 10 hari terakhir. Pada Sabtu (5/4) keduanya telah dinyatakan sembuh dan sudah dibolehkan pulang.

Stigma negatif juga menghantui para petugas kesehatan. Salah seorang tenaga kesehatan yang bertugas di ruang isolasi, menerima stigma negatif tersebut.

Ia diminta angkat kaki dari rumah yang telah dikontraknya selama tiga tahun terakhir. Rumah itu terletak di kawasan Jalan Pulau Komodo, Kelurahan Banyuning.

Permintaan itu disampaikan pemilik rumah melalui secarik kertas yang tertempel pada pagar rumah. Stigma negatif itu diungkap ke publik lewat akun media sosial Made Sudartawan.

Dalam unggahan di media sosial facebook itu, Made Sudartawan meminta Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Buleleng menangani stigma negatif yang sangat merugikan.

Terutama bagi tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan penanganan penyakit. “Tolong bagi pihak Satgas Covid-19 bisa menangani ini.

Karena kita tahu ini bukan penyakit yang sengaja dibuat oleh orang yang kena. Khawatir akan penyakit ini boleh, tapi saya rasa berlebihan kalau seperti ini caranya,” tulis Made Sudartawan.

Sekretaris Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Buleleng Gede Suyasa mengaku dirinya telah menerima laporan tersebut. Suyasa mengatakan stigma negatif itu tak seharusnya terjadi.

Mengingat orang yang mendapat stigma negatif adalah paramedis yang berjuang menyembuhkan pasien yang positif terjangkit Covid-19.

“Saya sudah minta pada Camat Buleleng agar ke lokasi menindaklanjuti masalah ini. Masyarakat harus diberi pemahaman. Mestinya bisa diterima masyarakat,” kata Suyasa.

Sebagai solusi jangka pendek, Satgas menawarkan agar tenaga medis itu tinggal di mess milik Dinas Kesehatan Buleleng yang terletak di Jalan Yudistira.

Kebetulan mess itu sudah kosong sejak setahun terakhir. Dulunya rumah itu digunakan sebagai rumah singgah bagi dokter muda atau co-ass.

“Kalau yang bersangkutan bersedia, bisa langsung tinggal di sana. Saran kami biar tidak bingung, tinggal saja di sana sementara waktu. Apalagi sudah setahun ini kosong.

Sekarang Camat Buleleng masih ke lokasi (penolakan), melakukan mediasi di sana. Harus diberi pemahaman bahwa yang bersangkutan itu juga berjasa merawat pasien,” imbuh Suyasa.

Suyasa juga meminta agar masyarakat tak memberikan stigma negatif pada pasien yang baru pulang dari rumah sakit, meski sempat dinyatakan positif Covid-19.

Sebab secara klinis pasien tersebut sudah sehat. Terlebih lagi kondisi pasien telah dikonfirmasi melalui hasil laboratorium.

“Semestinya yang diwapadai itu orang yang datang belum rapid test, belum diperiksa, dan tidak terpantau.

Respons seperti itu (penolakan) memang berlebihan. Kami akan terus melakukan sosialisasi, sehingga tidak terjadi lagi,” tukasnya.

SINGARAJA – Nasib tenaga medis yang menjadi gara terdepan dalam penanganan dan penanggulangan penyakit Covid-19, sangat rentan.

Mereka bukan hanya rentan tertular virus SARS-CoV-2 yang memicu penyakit Covid-19. Mereka juga rentan menerima stigma negatif dari masyarakat.

Kondisi rentan tertular virus itu telah dialami dua orang tenaga kesehatan yang sempat merawat pasien positif Covid-19 di Kabupaten Buleleng.

Kedua tenaga kesehatan itu sempat menghuni Ruang Isolasi selama 10 hari terakhir. Pada Sabtu (5/4) keduanya telah dinyatakan sembuh dan sudah dibolehkan pulang.

Stigma negatif juga menghantui para petugas kesehatan. Salah seorang tenaga kesehatan yang bertugas di ruang isolasi, menerima stigma negatif tersebut.

Ia diminta angkat kaki dari rumah yang telah dikontraknya selama tiga tahun terakhir. Rumah itu terletak di kawasan Jalan Pulau Komodo, Kelurahan Banyuning.

Permintaan itu disampaikan pemilik rumah melalui secarik kertas yang tertempel pada pagar rumah. Stigma negatif itu diungkap ke publik lewat akun media sosial Made Sudartawan.

Dalam unggahan di media sosial facebook itu, Made Sudartawan meminta Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Buleleng menangani stigma negatif yang sangat merugikan.

Terutama bagi tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan penanganan penyakit. “Tolong bagi pihak Satgas Covid-19 bisa menangani ini.

Karena kita tahu ini bukan penyakit yang sengaja dibuat oleh orang yang kena. Khawatir akan penyakit ini boleh, tapi saya rasa berlebihan kalau seperti ini caranya,” tulis Made Sudartawan.

Sekretaris Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Buleleng Gede Suyasa mengaku dirinya telah menerima laporan tersebut. Suyasa mengatakan stigma negatif itu tak seharusnya terjadi.

Mengingat orang yang mendapat stigma negatif adalah paramedis yang berjuang menyembuhkan pasien yang positif terjangkit Covid-19.

“Saya sudah minta pada Camat Buleleng agar ke lokasi menindaklanjuti masalah ini. Masyarakat harus diberi pemahaman. Mestinya bisa diterima masyarakat,” kata Suyasa.

Sebagai solusi jangka pendek, Satgas menawarkan agar tenaga medis itu tinggal di mess milik Dinas Kesehatan Buleleng yang terletak di Jalan Yudistira.

Kebetulan mess itu sudah kosong sejak setahun terakhir. Dulunya rumah itu digunakan sebagai rumah singgah bagi dokter muda atau co-ass.

“Kalau yang bersangkutan bersedia, bisa langsung tinggal di sana. Saran kami biar tidak bingung, tinggal saja di sana sementara waktu. Apalagi sudah setahun ini kosong.

Sekarang Camat Buleleng masih ke lokasi (penolakan), melakukan mediasi di sana. Harus diberi pemahaman bahwa yang bersangkutan itu juga berjasa merawat pasien,” imbuh Suyasa.

Suyasa juga meminta agar masyarakat tak memberikan stigma negatif pada pasien yang baru pulang dari rumah sakit, meski sempat dinyatakan positif Covid-19.

Sebab secara klinis pasien tersebut sudah sehat. Terlebih lagi kondisi pasien telah dikonfirmasi melalui hasil laboratorium.

“Semestinya yang diwapadai itu orang yang datang belum rapid test, belum diperiksa, dan tidak terpantau.

Respons seperti itu (penolakan) memang berlebihan. Kami akan terus melakukan sosialisasi, sehingga tidak terjadi lagi,” tukasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/