29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 3:07 AM WIB

Bau Belerang dan Debu Vulkanik Alasan Ribuan Pengungsi Bertahan

SEMARAPURA – Meski Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menurunkan

batas radius aman untuk beraktivitas dari sebelumnya 8 kilometer dari kawah puncak Gunung Agung perluasan 10 kilometer, menjadi 6 kilometer,

masih banyak pengungsi yang memutuskan tetap bertahan di sejumlah posko pengungsian di wilayah Kabupaten Klungkung.

Kondisi kampung halaman yang belum kondusif karena menyengatnya bau belerang, dan debu vulkanik yang membuat perih mata,

menjadi penyebab masih banyaknya pengungsi yang memutuskan untuk tetap bertahan di tempat pengungsian.

Seperti yang diungkapkan Wayan Ariani, pengungsi asal Desa Muncan, Kecamatan Selat. Saat ditemui di GOR Swecapura, kemarin, Ariani mengungkapkan,

 dia dan 16 keluarganya yang lain memutuskan tetap tinggal di pengungsian meski pemerintah menetapkan kampungnya yang berjarak 10 km dari kawah, aman.

Hal itu dilakukannya karena kondisi kampung halamannya yang ternyata kondisinya belum kondusif untuk dihuni kembali.

“Suami saya dua hari lalu pulang, katanya bau belerangnya masih menyengat di desa saya. Selain itu debunya juga banyak. Bahkan waktu malam hari, terlihat ada isi api-apinya kayak puntung rokok,” kata ibu tiga orang anak itu.

Menurutnya, bau belerang yang sangat menyengat itu membuat kepala suaminya menjadi pusing. Karea itu, suaminya kembali lagi ke pengungsian.

“Waktu statusnya siaga, saya sekeluarga juga sempat pulang. Ternyata di kampung bau belerangnya kuat dan buat pusing-pusing saya sekeluarga,” imbuhnya.

Memiliki orang tua yang sakit-sakitan, dan anak yang masih kecil-kecil, menurutnya juga menjadi alasan kuat baginya untuk tetap tinggal di pengungsian.

Apalagi lokasi rumahnya yang cukup jauh dari jalan raya, membuat ia sekeluarga cukup kesulitan untuk melakukan pengungsian ketika Gunung Agung kembali erupsi.

“Mobil tidak bisa masuk, jadinya pakai sepeda motor untuk bisa ketemu jalan besar. Itu menghabiskan waktu yang lama ketika mengungsi.

Saya sempat menangis saat mengungsi karena panik, rumah jauh, kondisi mencekam,” terangnya sambil membuka kulit kacang.

Lebih lanjut dikatakannya, ada dua anaknya yang karena sekolahnya sudah buka, terpaksa bolak-balik Klungkung – Desa Muncan, Karangasem.

 “Katanya tidak boleh sekolah di Klungkung karena sebentar lagi anak saya lulus. Makanya bolak-balik,” jelasnya.

SEMARAPURA – Meski Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menurunkan

batas radius aman untuk beraktivitas dari sebelumnya 8 kilometer dari kawah puncak Gunung Agung perluasan 10 kilometer, menjadi 6 kilometer,

masih banyak pengungsi yang memutuskan tetap bertahan di sejumlah posko pengungsian di wilayah Kabupaten Klungkung.

Kondisi kampung halaman yang belum kondusif karena menyengatnya bau belerang, dan debu vulkanik yang membuat perih mata,

menjadi penyebab masih banyaknya pengungsi yang memutuskan untuk tetap bertahan di tempat pengungsian.

Seperti yang diungkapkan Wayan Ariani, pengungsi asal Desa Muncan, Kecamatan Selat. Saat ditemui di GOR Swecapura, kemarin, Ariani mengungkapkan,

 dia dan 16 keluarganya yang lain memutuskan tetap tinggal di pengungsian meski pemerintah menetapkan kampungnya yang berjarak 10 km dari kawah, aman.

Hal itu dilakukannya karena kondisi kampung halamannya yang ternyata kondisinya belum kondusif untuk dihuni kembali.

“Suami saya dua hari lalu pulang, katanya bau belerangnya masih menyengat di desa saya. Selain itu debunya juga banyak. Bahkan waktu malam hari, terlihat ada isi api-apinya kayak puntung rokok,” kata ibu tiga orang anak itu.

Menurutnya, bau belerang yang sangat menyengat itu membuat kepala suaminya menjadi pusing. Karea itu, suaminya kembali lagi ke pengungsian.

“Waktu statusnya siaga, saya sekeluarga juga sempat pulang. Ternyata di kampung bau belerangnya kuat dan buat pusing-pusing saya sekeluarga,” imbuhnya.

Memiliki orang tua yang sakit-sakitan, dan anak yang masih kecil-kecil, menurutnya juga menjadi alasan kuat baginya untuk tetap tinggal di pengungsian.

Apalagi lokasi rumahnya yang cukup jauh dari jalan raya, membuat ia sekeluarga cukup kesulitan untuk melakukan pengungsian ketika Gunung Agung kembali erupsi.

“Mobil tidak bisa masuk, jadinya pakai sepeda motor untuk bisa ketemu jalan besar. Itu menghabiskan waktu yang lama ketika mengungsi.

Saya sempat menangis saat mengungsi karena panik, rumah jauh, kondisi mencekam,” terangnya sambil membuka kulit kacang.

Lebih lanjut dikatakannya, ada dua anaknya yang karena sekolahnya sudah buka, terpaksa bolak-balik Klungkung – Desa Muncan, Karangasem.

 “Katanya tidak boleh sekolah di Klungkung karena sebentar lagi anak saya lulus. Makanya bolak-balik,” jelasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/