RTRW 16/2009 baru berusia 10 tahun, yang direncanakan akan dirubah atau ditinjau tahun 2019.
Artinya perubahan RTRW Bali baru akan dilakukan 10 tahun lagi. Akan tetapi dengan semangat juang tinggi Pemerintah Provinsi Bali dan DPRD periode sekarang ini yang tinggal beberapa bulan lagi dan seterusnya semangat untuk mengesahkan perubahan RTRW Bali 2009.
Ada apa sebenarnya ? sangat gentingkah dan penting untuk terburu-terburu melakukan peninjauan atas RTRW atau ada kepentingan lain ?
Oleh : I MADE PRIA DARSANA
Rencana perubahan mengenai RTRW Bali diberitakan akan segera disahkan DPRD Bali, dikarenakan RTRW Bali yang lama tersebut kian lama sudah tidak sesuai dengan perkembangan.
RTRW Bali yang lama sudah 5 tahun ini mengatakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, terutama Pasal 16 ayat (1), memang menyebutkan bahwa rencana tata ruang dapat ditinjau kembali.
Adapun Pasal 23 ayat (4), menyebutkan bahwa rencana tataruang wilayah provinsi ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
Berlalu sejak terakhir di revisi dan 10 tahun saat awal pembuatannya, kini Pemerintah Daerah maupun Provinsi bersama jajarannya duduk mendiskusikan mengenai perubahan tersebut.
Adapun isu yang dibahas dalam RTRW Bali No. 16 Tahun 2009 yakni bertujuan untuk memperbaiki kualitas tata ruang wilayah dalam segi Kualitas, Keamanan, Kenyamanan baik Investor maupun masyarakat, memiliki jati diri dan tidak mengurang inilai-nilai dari kebudayaan.
System perencanaan tata ruang terpadu baik dalam pemanfaatan, pengawasan, perlindungan maupun revitalisasi kawasan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk yang terdapat dalam bawah bumi.
Adapun isu-isu yang menguatkan akan adanya keinginan perubahan RTRW Bali No. 16 Tahun 2009, dikarenakan salah satunya mulai terasa ada keperluan baru pada perencanaan ekonomi pembangunan daerah bali utara, Infrastruktur di Bali misalnya kita perlu lagi bendungan, embung, jalan tol, jalan bebas hambatan.
Salah satu yang paling menonjol adalah adanya upaya mempertahan kawasan suci. Pada Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali, Kawasan Suci adalah suatu wilayah yang melengkapi bangunan suci maupun wilayah pendukung kegiatan pada bangunan suci tersebut yang telah mendapatkan upacara “bhumi Sudha” yaitu upacara untuk menarik kekuatan Ida Sanghyang Widhi dan menghilangkan segala kekotoran secara spiritual terhadap wilayah/kawasan suci tersebut, seperti ; danau, hutan, laba pura, mata air suci (beji), sungai, jurang, ngarai atau campuhan (pertemuan sungai), pantai, setra dan perempatan agung (Detiknews, 14/11/2018).
Sementara telah dikerjakan shortcut dibeberapa titik jalan bedugul-singaraja. Adapun pembahasan lain yang tak kalah penting yakni terkait ketinggian bangunan. Dalam Perda RTRW Bali yang ada saat ini, ketinggian bangunan diatur hanya maksimal setinggi pohon kelapa atau 15 meter dan ruang kawasan konservasi terbuka hijau (sawah).
“Ketinggian bangunan ini kita pikirkan bersama. Bagaimana RSUP Sanglah misalnya, supaya pasien tidak mati dijalan, mungkin bisa dikhususkan soal ketinggian bangunannya. Kalau sekarang kan susah keinginan melakukan pertanahan ketinggian bangunan nampak tidak memperhitungkan segala aspek termasuk daerah suci dan daya dukung lingkungan.
Hal lain Dalam Perda Nomor 16 tahun 2009 disebutkan, sempadan pantai adalah 100 meter dari garis saat air pasang. Ketentuan ini dianggap memberatkan bagi daerah kabupaten yang wilayah pantainya terlanjur menjadi kawasan wisata dan pemukiman.
Dalam Perda tersebut juga diatur tentang wilayah yang masuk dalam kawasan radius kesucian Pura, yakni lima kilometer untuk 10 Pura berstatus Pura Sad Kahyangan, dan dua kilometer untuk puluhan Pura berstatus Pura Dang Kahyangan.
Dalam radius tersebut tidak diperbolehkan membangun apapun termasuk fasilitas hiburan dan pariwisata. (Nasional.tempo, 13/03/2011)
Salah satunya yang termasuk cukup kontroversi yakni mengenai pembangunan infrastruktur Tol Denpasar-Singaraja yang digadangkan akan menjadi destinasi terbaru di Bali dengan jarak tempuh tadinya 2,5 jam jadi hanya 1 jam saja yang mana pembangunan ini nantinya akan bekerja sama dengan dinas PUPR dikarenakan adanya penyisiran proyeksi pembangunan pariwisata yang kian meluas salah satunya daerah Bali utara disertai dengan adanya pengurangan titik kemacetan dalam crossroads antar kota dan kabupaten sesuai dengan ring road dinilai akan menambah keuntungan bagi berbagai pihak walaupun pembangunannya masih terkendali pembebasan lahan. (Detiknews.com, 14/11/2018).
Adapun pembahasan lain yang tak kalah penting yakni terkait ketinggian bangunan. Dalam Perda RTRW Bali yang ada saat ini, ketinggian bangunan diatur hanya maksimal setinggi pohon kelapa atau 15 meter. Walaupun terlihat memberi celah bagi bangunan yang lain untuk di tinggikan mengenai hal diatas tersebut yang di maksud nantinya tidak termasuk terhadap bangunan pemukiman, khusus untuk pemukiman mungkin akan tetap diberlakukan standarisasi tinggi pada pengaturan sebelumnya yakni merujuk pada pohon kepala yakni 15 meter.
Disamping itu mengenai rencana pemerintah untuk mengembangkan desa wisata budaya Sesuai Perbup Nomor 47 Tahun 2010, Sebelas desa wisata telah ditetapkan oleh Kabupaten Badung yakni Desa Kerta, Desa Petang, Desa Pangsan, Desa Belok Sidan, Desa Carangsari, Desa Sangeh, Desa Bongkasa Pertiwi, Desa Baha, Desa Munggu, Desa Mengwi dan Desa Kapal. (Bali.tribunnews, 01/04/2019)
Belum lagi mengenai bendungan, bendungan yang dimaksud disini nantinya akan menambah akses perairan bersih terkait isu kekeringan yang melanda daratan bali yang mana dinilai ditahun 2050 akan mengalami krisis air bersih. Dan hal ini tentunya merupakan hal yang sangat sensitif dan memiliki nilai keurgensian yang sangat patut untuk diperhitungkan.
Banyak munculnya condotel dapat menjadi indikator akan meningkatnya taraf untuk perekonomian daerah.
Namun, secara sosial fenomena tersebut akan banyak menyisakan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan ketertiban dan dampak social kemasyaraktan yang bermuara pada standar yang telah di tentukan oleh pemerintah.
Maraknya pembangunan akomodasi pariwisata berupa condotel di kota berwawasan budaya ini dikhawatirkan akan memberi dampak kurang baik terhadap lingkungan sekitar, lalu lintas, lokasi yang kurang strategis atau sudah padat dengan bangunan hotel.
Di samping itu diperlukan adanya implementasi dari standar pendirian condotel di Kota Denpasar, kabupaten Badung, guna untuk menekan pembangunan yang semakin menjamur.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan seberapa urgen perbaikan atau perubahan RTRW Bali terkait pengaturan dan pelaksanaan, serta pengawasan pembangunan.
Oleh karenanya sudah wajib untuk mendapatkan solusi pemerintah dan masyarakat Bali dalam menanggulangi dampak dari pada perkembangan dan perubahan tata ruang yang bersifat dinamis dalam era globalisasi maupun MEA.
Sebagai gambaran konkret, diperoleh data bahwa untuk luas kawasan hutan yang ideal adalah 30 % dari luas wilayahnya. Padahal hingga tahun 2.000 yang lalu total luas hutan di Bali sekitar 23,2 % dari luas pulau Bali atau sekitar 130.686,01 Ha.
Diperkirakan bahwa luasan kawasan hutan yang masih berhutan hanya 60% saja, sedangkan sisanya sudah mengalami kerusakan dan menjadi hutan yang sangat kritis (Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bali Tahun 2005, hal III-5-6). (Rumawan Salain, April 2012) Bahkan dari sumber yang sama yang dipetik dari Bali Membangun 2003 dituliskan pula bahwa lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan telah mencapai 286.938,00 Ha atau 50,9 % dari luas daratan Bali.
Dan dilansir pada badan pusat statistik bahwa jumlah penduduk di bali pada tahun 2019 berjumlah 3,8 juta jiwa. (bali.bps.go.id, 12/08/2019)
Membangun tanpa menjual tanah Bali
Mencanangkan apa saja perubahan RTRW Bali mesti dilakukan terbuka dan melibatkan banyak pihak, dan dikaji secara komprehensif, bukan hanya parsial. Namun disisi lain perlu adanya publikasi terhadap draft rancangan perubahan Perda RTRW Bali. Karena kesannya bila tidak publikatif berasaskan keterbukaan nantinya akan memberi dampat sudut pandang negatif dari berbagai kalangan karena dinilai tidak terbuka dan kesannya di tutup-tutupi. (bali.tribunnews.com, 19/06/2019)
Pengalihan beberapa kewenangan pemerintah dari kabupaten kota ke provinsi seperti pengelolaan wilayah usaha pertambangan dan pengelolaan laut harus di tindak lanjuti demi mengejar value dari sebuah nilai investasi dan mengabaikan pengaturan yang sedang berkecamuk dan berkontraksi lalu menimbulkan banyak masalah antara satu dan lainnya dalam hierarki pengaturan asas perundang-undangan karena tidak diperhitungkan dengan matang, malah menjadi faktor penghambat bagi perkembangan perekonomian di Bali.
Menjadikan Bali One island One Managemen tidak hanya wacana belaka. Sebelum kita beranjak ketujuan utama maka perlu adanya perencanaan yang matang dengan mengandalkan prinsip kehati-hatian dan ketelitian berupa perubahan regulasi baik itu penambahan maupun pencabutan mengenai pokok pembahasan hal-hal yang dianggap kurang penting terhadap rencana pembangunan jangka menengah daerah maupun jangka panjang yang direncakan Pemerintah dan menciptakan keterpaduan, keterikatan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah kabupaten maupun kota.
Maka dari itu perlu adanya keterbukaan informasi dan saran maupun kritik dari berbagai stakeholder yang terlibat dalam pembuatannya.
Agar tidak menimbulkan polemik internal maupun eksternal yang berdampak pada stagnasi dalam mekanisme pembentukannya tidak hanya semata-mata mengejar paket kebijakan investasi di bidang ekonomi yang berdampak pada pembangunan baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam dan ikut memajukan nilai daripada ekonomi negara dalam revolusi ekonomi berbasis pada pariwisata budaya Bali. (radarbali.jawapos, 07/08/2019)
Dari sekian aspek pembangunan yang telah membebani Bali selama ini yang dalam beberapa tahun menjadi destinasi pariwisata dunia merupakan kebanggan masyarakat BALI Khususnya, Indonesia umumnya.
Bahwasannya, pariwisata yang berbasis budaya yang dipayungi Agama Hindu. Tidak menjadikan kita terus berbangga, tidak menjadikan masyarakat Bali “Belog Ajum dan Lengeh” dengan semua sangjungan dan melepaskan diri dari ikatan budaya agraris yang telah kita warisi turun-temurun.
Penataan pembangunan Bali pasti akan terjadi tapi kemana arahnya mesti jelas, terang dan terbuka, tidak boleh ditutupi karena mesti jelas, bukan karena keinginan sesaat apalagi hanya pertimbangan ekonomis dan politik.
Sudah semestinya rencana perubahan RTRW Bali menjadikan Bali Shanti lan Jagadhita bukan malah menghancurkan Bali karena kerakusan kita menjual Bali.(*)