25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 8:32 AM WIB

Sentil Kelola Parkir 13 Tahun, Bendesa Banyuasri Ungkap Fakta Miris

SINGARAJA – Ribut-ribut pemasangan spanduk protes warga Desa Adat Banyuasri pasca revitalisasi Pasar Banyuasri berlanjut.

Gagal mediasi dengan Perumda Pasar Argha Nayottama Buleleng maupun Dinas Perhubungan Buleleng, warga Desa Adat Banyuasri mendatangi DPRD Buleleng dan diterima Ketua Komisi III Luh Marleni.

Bendesa Adat Banyuasri, Nyoman Mangku Widiasa mengatakan, sumber permasalahan sebenarnya ada di lahan parkir. Warganya sejak 13 tahun lalu, disebut telah mengelola parkir.

Utamanya di areal Pasar Tumpah dan Terminal Banyuasri. Sejak pasar direvitalisasi, praktis lahan parkir juga hilang. Karena seluruh parkir diarahkan ke dalam pasar.

Dulunya warga bisa menyetor pendapatan sebanyak Rp 850 ribu per hari. Saat itu masih diberlakukan tarif dengan mekanisme parkir khusus.

Sejak menjadi pasar darurat, maka besaran tarif diturunkan menjadi parkir tepi jalan umum. Saat itu setoran masih mencapai Rp 550 ribu per hari. Namun sejak pasar beroperasi, warga sudah tidak mendapat mata pencaharian lagi.

Sebenarnya pihak desa adat sudah mengusulkan beberapa solusi. Salah satunya membawa pedagang bermobil ke lambung barat pasar.

Mereka diarahkan parkir di lambung barat Terminal Banyuasri, sembari menunggu jam operasional bagi pedagang pasar dibuka.

“Pedagang bermobil ini nggak boleh jual eceran. Kalau penjualan di atas 7 kilogram silahkan dilayani. Sementara menunggu jam buka pasar, silahkan parkir dulu di lambung barat terminal.

Dengan begitu fungsi terminal tidak terganggu, warga kami juga bisa mendapat pemasukan. Karena parkir akan tetap jalan, potensi pekerjaan sebagai buruh angkut ada, jadi tenaga kebersihan di terminal juga bisa,” katanya.

Solusi itu sejatinya sudah sempat disampaikan pada proses mediasi pada Sabtu pekan lalu. Namun tak ada keputusan tegas yang diambil oleh pemerintah.

Dalam hal ini Perumda Pasar Argha Nayottama Buleleng maupun Dinas Perhubungan Buleleng. “Sudah 13 tahun warga kami mengabdi ke pemerintah daerah sebagai juru parkir.

Sekarang tiba-tiba tidak terpakai. Tentu sangat disesalkan. Kami harap beliau-beliau yang punya otoritas sebagai pengambil kebijakan, memerhatikan kondisi warga kami,” katanya.

Sementara itu Ketua Komisi III DPRD Buleleng Luh Marleni mengatakan, pihaknya dapat memahami aspirasi yang disampaikan warga.

Menurutnya dewan saat ini belum dapat merumuskan rekomendasi apapun. Rencananya dewan akan melakukan rapat dengar pendapat dengan pihak eksekutif, sebelum merumuskan kebijakan.

“Nanti kami akan undang dari pihak eksekutif dulu. Baik itu dari Dishub maupun dari Perumda Pasar, sebelum nanti dewan secara kelembagaan menyampaikan rekomendasi pada eksekutif.

Setelah ada pertemuan dengan pihak-pihak itu, baru kami akan sampaikan rekomendasinya. Segera akan kami selesaikan, karena ini menyangkut isi perut masyarakat,” ujar Marleni.

Seperti diberitakan sebelumnya sejumlah warga Banyuasri melakukan aksi pemasangan spanduk sebagai bentuk protes.

Spanduk itu dipasang di depan DPRD Buleleng dan di pintu masuk Pasar Banyuasri. Protes itu dilakukan gara-gara Perumda Pasar tidak mengakomodasi warga sebagai pekerja di dalam pasar.

Terlebih saat ini pasar tumpah sudah masuk ke areal pasar, sehingga warga kehilangan sumber mata pencaharian. Setidaknya dari pengelolaan parkir.

SINGARAJA – Ribut-ribut pemasangan spanduk protes warga Desa Adat Banyuasri pasca revitalisasi Pasar Banyuasri berlanjut.

Gagal mediasi dengan Perumda Pasar Argha Nayottama Buleleng maupun Dinas Perhubungan Buleleng, warga Desa Adat Banyuasri mendatangi DPRD Buleleng dan diterima Ketua Komisi III Luh Marleni.

Bendesa Adat Banyuasri, Nyoman Mangku Widiasa mengatakan, sumber permasalahan sebenarnya ada di lahan parkir. Warganya sejak 13 tahun lalu, disebut telah mengelola parkir.

Utamanya di areal Pasar Tumpah dan Terminal Banyuasri. Sejak pasar direvitalisasi, praktis lahan parkir juga hilang. Karena seluruh parkir diarahkan ke dalam pasar.

Dulunya warga bisa menyetor pendapatan sebanyak Rp 850 ribu per hari. Saat itu masih diberlakukan tarif dengan mekanisme parkir khusus.

Sejak menjadi pasar darurat, maka besaran tarif diturunkan menjadi parkir tepi jalan umum. Saat itu setoran masih mencapai Rp 550 ribu per hari. Namun sejak pasar beroperasi, warga sudah tidak mendapat mata pencaharian lagi.

Sebenarnya pihak desa adat sudah mengusulkan beberapa solusi. Salah satunya membawa pedagang bermobil ke lambung barat pasar.

Mereka diarahkan parkir di lambung barat Terminal Banyuasri, sembari menunggu jam operasional bagi pedagang pasar dibuka.

“Pedagang bermobil ini nggak boleh jual eceran. Kalau penjualan di atas 7 kilogram silahkan dilayani. Sementara menunggu jam buka pasar, silahkan parkir dulu di lambung barat terminal.

Dengan begitu fungsi terminal tidak terganggu, warga kami juga bisa mendapat pemasukan. Karena parkir akan tetap jalan, potensi pekerjaan sebagai buruh angkut ada, jadi tenaga kebersihan di terminal juga bisa,” katanya.

Solusi itu sejatinya sudah sempat disampaikan pada proses mediasi pada Sabtu pekan lalu. Namun tak ada keputusan tegas yang diambil oleh pemerintah.

Dalam hal ini Perumda Pasar Argha Nayottama Buleleng maupun Dinas Perhubungan Buleleng. “Sudah 13 tahun warga kami mengabdi ke pemerintah daerah sebagai juru parkir.

Sekarang tiba-tiba tidak terpakai. Tentu sangat disesalkan. Kami harap beliau-beliau yang punya otoritas sebagai pengambil kebijakan, memerhatikan kondisi warga kami,” katanya.

Sementara itu Ketua Komisi III DPRD Buleleng Luh Marleni mengatakan, pihaknya dapat memahami aspirasi yang disampaikan warga.

Menurutnya dewan saat ini belum dapat merumuskan rekomendasi apapun. Rencananya dewan akan melakukan rapat dengar pendapat dengan pihak eksekutif, sebelum merumuskan kebijakan.

“Nanti kami akan undang dari pihak eksekutif dulu. Baik itu dari Dishub maupun dari Perumda Pasar, sebelum nanti dewan secara kelembagaan menyampaikan rekomendasi pada eksekutif.

Setelah ada pertemuan dengan pihak-pihak itu, baru kami akan sampaikan rekomendasinya. Segera akan kami selesaikan, karena ini menyangkut isi perut masyarakat,” ujar Marleni.

Seperti diberitakan sebelumnya sejumlah warga Banyuasri melakukan aksi pemasangan spanduk sebagai bentuk protes.

Spanduk itu dipasang di depan DPRD Buleleng dan di pintu masuk Pasar Banyuasri. Protes itu dilakukan gara-gara Perumda Pasar tidak mengakomodasi warga sebagai pekerja di dalam pasar.

Terlebih saat ini pasar tumpah sudah masuk ke areal pasar, sehingga warga kehilangan sumber mata pencaharian. Setidaknya dari pengelolaan parkir.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/