DENPASAR- Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan aparat kepolisian terhadap pelaku pungutan yang dilakukan aparat desa adat menjadi perhatian serius I Gusti Ngurah Harta.
Pinisepuh Perguruan Sandi Murti Indonesia menyayangkan “tragedi” yang terjadi pada 11 orang warga adat di pintu masuk Pantai Matahari Terbit, Desa Sanur Kaja, Denpasar Selatan, Kamis (1/11) dan dua penjaga tiket Pura Tirta Empul, Desa Pakraman Manukaya Let, Selasa (6/11) lalu.
Atas kasus itu, Turah_sapaan I Gusti Ngurah Harta mengajak seluruh masyarakat Bali serius merespons OTT yang dipimpin Kanit Resmob Kompol Tri Joko Widiyanto di Matahari Terbit Sanur dan Kasatreskrim Polres Gianyar AKP Deni Septiawan di Pura Tirta Empul.
Ajakan Turah, itu tak lain sebagai upaya menjaga harkat dan martabat Pulau Dewata.
Selain itu, pihaknya juga mengajak segenap lapisan masyarakat konsisten menjaga adat, budaya, dan taksu Bali.
Revitalisasi desa pakraman di zaman globalisasi terangnya merupakan sebuah keniscayaan.
“Dengan cara inilah maka kinerja desa pakraman di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan bisa diwujudkan,” tegasnya.
Ngurah Harta menilai mantan Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Mantra telah melakukan upaya tersebut lewat pembentukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang disadari atau tidak kini eksis sebagai perusahaan milik desa adat.
Namun dalam konteks kekinian LPD saja tidak cukup.
Menghadapi tantangan ke depan, dia menilai desa adat harus membuat awig-awig atau aturan yang tak hanya mengikat masyarakat asli Bali, melainkan juga krama pendatang (beda kabupaten namun masih di Bali, red) serta krama tamiu (penduduk luar Bali, red).
“Siapapun yang ada di desa adat itu harus tunduk terhadap aturan adat. Misalnya Circle K masuk ke wilayah desa adat, maka dia harus menjadi nasabah LPD setempat. Termasuk perusahaan yang lain,” sarannya.
Kenapa? Karena roh penderian LPD adalah untuk membuat desa adat bermartabat.
Menariknya, dalam pemahaman yang lebih dalam, Ngurah Harta menyebut bendesa adat bisa memerintahkan seorang Kepala LPD untuk memberikan modal pinjaman usaha kepada masyarakat atau krama adat yang tidak mampu.
Hal progresif tersebut bebernya dilakukan oleh Bank Syariah.
Bila masyarakat adat tidak mampu melanjutkan sekolah dan berobat, imbuhnya bendesa adat juga bisa memerintahkan LPD untuk menanggung biaya tersebut.
“Dari CSR atau dari keuntungan LPD.
Ngurah Harta tak menampik masyarakat Bali dominan belum siap mewujudkan cita-cita Prof. Mantra tersebut.
“Harus diakui dan disadari kita punya SDM pemalas dan hanya mau diam tapi punya uang. Itu masalahnya.
Orang Bali sangat senang sekali dicap sebagai tukang pukul, dicap preman terus menguasai satu wilayah.
Diam tapi uang datang. Mindset (cara berpikir, red) seperti ini harus kita hilangkan. Diubah jadi mindset kerja, kerja, dan kerja. Belajar, bekerja, belajar,” tegasnya.
Peningkatan kinerja desa adat di bidang ekonomi, sosial dan budaya, serta keamanan tegasnya bisa diwujudkan bila Bali memiliki database kependudukan desa adat.
Di bidang ekonomi jelasnya bisa diwujudkan melalui suntikan permodalan oleh LPD. Di bidang sosial melalui bantuan biaya sekolah bagi krama yang membutuhkan; termasuk bantuan biaya pengobatan. Di bidang budaya, imbuhnya melalui pemberdayaan sekeha-sekeha kesenian dan keterampilan yang dipusatkan di masing-masing banjar.
“Ini semua bisa dibiayai dengan keuntungan LPD. Termasuk keamanan. Sayangnya, terobosan ini yang tidak ada.
Padahal roh pembentukan LPD untuk itu. Bila ini berjalan sebenarnya masyarakat Bali tidak membutuhkan bansos dari pemerintah.
Aset kekayaan LPD kita saat ini Rp 19 triliun loh. Bisa dicek keuntungan LPD tahun 2017 sebesar Rp 560 miliar,” ungkap.
Manajeman LPD yang lebih profesional dan tertata tegasnya akan mampu meningkatkan martabat desa adat di Bali.
“LPD selama ini membayar pajak lewat pembangunan desa,” sambungnya.(rba/ken)