33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:18 PM WIB

Dorongan Gugat ke Pengadilan Menguat, Bendesa: Izin, Kami Tak Tanggapi

GIANYAR – Desakan kepada bendesa untuk menggugat status tanah pasar Gianyar ke Pengadilan Negeri meluas.

Ketua Garda Pejuang Penerus Aspirasi Rakyat (Garpar), Ngakan Made Rai, yang juga warga Desa Adat Gianyar mengatakan,

upaya gugat ke PN tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan  Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018.

Pasal 24 ayat (7) menyebutkan, dalam hal terdapat pihak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan pemberitahuan tertulis agar segera mengajukan gugatan ke pengadilan.

“Dan berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah pasal 30 ayat (1) huruf c,

jangka waktu yang di berikan terkait pengajuan gugatan ke pengadilan terhadap data fisik dan yuridis yang disengketakan adalah 60 (enam puluh) hari

dalam pendaftaran tanah secara sistematik dihitung sejak disampaikannya pemberitahuan,” ujar Ngakan Rai membacakan bunyi pasal dimaksud kemarin.

Ngakan Rai menambahkan, permohonan perlindungan hukum ke Polda Bali, sah-sah saja. Bila perlu pihaknya menyarankan minta perlindungan ke Menkopolhukam.

Tetapi menurutnya akan mubasir. Sebab sifatnya bukan laporan. “Permohonan itu akan mubasir, karena bukan laporan. Menurut saya lebih baik menggugat ke pengadilan,” pintanya.

Lanjut dia, bendesa bisa membuka bukti-bukti yang ada di pengadilan. “Kalau sudah merasa mempunyai kebenaran hukum, kenapa harus takut menggugat ke pengadilan,” tegasnya.

Selaku krama Desa Adat Gianyar, Ngakan Rai, meminta bendesa untuk bertindak sesuai kesepakatan masyarakat.

“Coba kumpulkan di desa melalui paruman (rapat, red) banjar. Belum tentu semua setuju dengan langkah yang diambil Bendesa dan Prajuru Desa Adat Gianyar,” ungkapnya.

Menurutnya, apabila mengatasnamakan Desa Adat, krama wajib tahu dan mendapat persetujuan krama desa.

“Jangan krama dibuat terkotak-kotak dengan langkah yang diambil aparat Desa Adat. Kalau dinilai asas legalitas,

semua langkah yang diambil termasuk mohon perlindungan hukum ke Polda Bali tidak sah, sebab tidak semua krama desa tahu,” ungkapnya.

Sementara itu, Bendesa Adat Gianyar, Dewa Swardana, tidak bisa menanggapi saran dari DPRD Gianyar dan LSM yang juga krama Gianyar itu.

“Mohon izin, kami tidak tanggapi. Terlalu banyak anjuran, cukup dari prajuru saja. Sukseme,” ujarnya singkat.

Di bagian lain, para pedagang yang direlokasi ke Kelurahan Samplangan, akibat proyek pasar umum mencapai 1.885 pedagang.

Pedagang sudah berjualan di pasar relokasi sejak 24 Mei 2020. Sejumlah pedagang berharap polemik desa adat-pemerintah Gianyar tidak diperpanjang.

Salah satu pedagang, Made Wardika, asal Kelurahan Samplangan, yang jualan di pasar Gianyar sejak 1980-an berharap proyek pasar segera selesai dan polemik tidak dilanjutkan lagi.

“Biar selesai tepat waktu. Supaya kami bisa jualan di sana,” ujarnya. Sepengetahuan dirinya, tanah milik masyarakat desa adat Gianyar dulu sudah mendapatkan tanah pengganti.

“Kami pedagang hanya ingin bisa cepat berjualan kembali di Pasar Gianyar,” ujarnya.

Pedagang lainnya, Desak Made Wahyuni asal Lingkungan Candi Baru, Kelurahan Gianyar, tidak ikut campur atas polemik tersebut. “Kami cuma mau jualan lagi. Biar saya dekat dari rumah,” pintanya.

GIANYAR – Desakan kepada bendesa untuk menggugat status tanah pasar Gianyar ke Pengadilan Negeri meluas.

Ketua Garda Pejuang Penerus Aspirasi Rakyat (Garpar), Ngakan Made Rai, yang juga warga Desa Adat Gianyar mengatakan,

upaya gugat ke PN tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan  Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018.

Pasal 24 ayat (7) menyebutkan, dalam hal terdapat pihak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan pemberitahuan tertulis agar segera mengajukan gugatan ke pengadilan.

“Dan berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah pasal 30 ayat (1) huruf c,

jangka waktu yang di berikan terkait pengajuan gugatan ke pengadilan terhadap data fisik dan yuridis yang disengketakan adalah 60 (enam puluh) hari

dalam pendaftaran tanah secara sistematik dihitung sejak disampaikannya pemberitahuan,” ujar Ngakan Rai membacakan bunyi pasal dimaksud kemarin.

Ngakan Rai menambahkan, permohonan perlindungan hukum ke Polda Bali, sah-sah saja. Bila perlu pihaknya menyarankan minta perlindungan ke Menkopolhukam.

Tetapi menurutnya akan mubasir. Sebab sifatnya bukan laporan. “Permohonan itu akan mubasir, karena bukan laporan. Menurut saya lebih baik menggugat ke pengadilan,” pintanya.

Lanjut dia, bendesa bisa membuka bukti-bukti yang ada di pengadilan. “Kalau sudah merasa mempunyai kebenaran hukum, kenapa harus takut menggugat ke pengadilan,” tegasnya.

Selaku krama Desa Adat Gianyar, Ngakan Rai, meminta bendesa untuk bertindak sesuai kesepakatan masyarakat.

“Coba kumpulkan di desa melalui paruman (rapat, red) banjar. Belum tentu semua setuju dengan langkah yang diambil Bendesa dan Prajuru Desa Adat Gianyar,” ungkapnya.

Menurutnya, apabila mengatasnamakan Desa Adat, krama wajib tahu dan mendapat persetujuan krama desa.

“Jangan krama dibuat terkotak-kotak dengan langkah yang diambil aparat Desa Adat. Kalau dinilai asas legalitas,

semua langkah yang diambil termasuk mohon perlindungan hukum ke Polda Bali tidak sah, sebab tidak semua krama desa tahu,” ungkapnya.

Sementara itu, Bendesa Adat Gianyar, Dewa Swardana, tidak bisa menanggapi saran dari DPRD Gianyar dan LSM yang juga krama Gianyar itu.

“Mohon izin, kami tidak tanggapi. Terlalu banyak anjuran, cukup dari prajuru saja. Sukseme,” ujarnya singkat.

Di bagian lain, para pedagang yang direlokasi ke Kelurahan Samplangan, akibat proyek pasar umum mencapai 1.885 pedagang.

Pedagang sudah berjualan di pasar relokasi sejak 24 Mei 2020. Sejumlah pedagang berharap polemik desa adat-pemerintah Gianyar tidak diperpanjang.

Salah satu pedagang, Made Wardika, asal Kelurahan Samplangan, yang jualan di pasar Gianyar sejak 1980-an berharap proyek pasar segera selesai dan polemik tidak dilanjutkan lagi.

“Biar selesai tepat waktu. Supaya kami bisa jualan di sana,” ujarnya. Sepengetahuan dirinya, tanah milik masyarakat desa adat Gianyar dulu sudah mendapatkan tanah pengganti.

“Kami pedagang hanya ingin bisa cepat berjualan kembali di Pasar Gianyar,” ujarnya.

Pedagang lainnya, Desak Made Wahyuni asal Lingkungan Candi Baru, Kelurahan Gianyar, tidak ikut campur atas polemik tersebut. “Kami cuma mau jualan lagi. Biar saya dekat dari rumah,” pintanya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/