26.1 C
Jakarta
11 Desember 2024, 7:32 AM WIB

Didakwa Kasus Pemerasan, Bendesa Tanjung Benoa Kembali Jadi Pesakitan

DENPASAR – Setelah menjalani vonis pidana penjara satu tahun dalam kasus dugaan perluasan daratan tanpa izin dan perusakan

kawasan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDA-E) Tahun 2017 silam, I Made Wijaya, 48, alias Yonda kembali menjadi pesakitan di PN Denpasar.

Bendesa Adat Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung, itu kali ini diadili dugaan kasus pemerasan dan penggelapan.

Dalam sidang yang dipimpin hakim Esthar Oktavi, Yonda mengenakan baju adat madya warna putih tampak tenang.

Sementara dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Bali, yang dibacakan Dewa Anom Rai, Yonda didakwa tiga dakwaan sekaligus.

Dalam dakwaan pertama dijelaskan, I Made Wijaya alias Yonda, selaku Bendesa Pekraman Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung,

bersama dr. I Made Sudianta alias dr. Beker; I Ketut Sunarka; dan I Made Kartika (dalam proses penyidikan).

Berawal saat terdakwa usai dilantik menjadi Bendesa Adat Tanjung Benoa, mengukuhkan misi visi jangka pendek, menengah, dan panjang.

Untuk  mewujudkan misi dan visinya, terdakwa menggali potensi yang dimiliki Desa Pekraman Tanjung Benoa.

Demikian juga dalam program jangka pendek, terdakwa akan menggali potensi wisata bahari dan potensi-potensi yang lain sehingga dapat memberikan kontribusi tambahan bagi desa adat dan banjar-banjar yang ada.

Setelah diangkat menjadi bendesa pada 17 Desember 2014, berselang beberapa hari kemudian, tepatnya 20 Desember 2014, terdakwa selaku bendesa

mengeluarkan surat Nomor 01/PDP-TB/XII/2014 tentang Gali Potensi, yang pada intinya memberitahukan kepada

semua pengusaha bahari di wilayah Desa Adat Tanjung Benoa agar mengenakan pungutan Rp 10.000 per aktivitas.

“Pungutan tersebut dibagi menjadi dua. Rp 5.000 untuk desa adat dan Rp 5.000 untuk pengusaha wisata bahari,” urai JPU Anom.

Setelah dilakukan uji coba pada 13 pengusaha wisata bahari yang tergabung dalam Gahawisri, ternyata sembilan pengusaha mengaku keberatan.

Sebagai gantinya mereka mau memberika dana sukarela (dana punia) untuk desa adat yang besarannya Rp 2,5 juta – 3 juta.

Bahkan, pengusaha Caputra Bumi Bahari akan memberikan Rp 15 juta setiap bulannya. Atas keberatan yang disampaikan sembilan pengusaha, terdakwa selaku bendesa adat tetap pada pendiriannya.

Uji coba Gali Potensi pun berlaku 20 Desember 2014 sampai 24 April 2015. Kemudian pada 25 April 2015, diterapkan pungutan yang mengacu perarem indik Gali Potensi Wisata Bahari Desa Adat Tanjung Benoa Nomor 01/DATB/BPDA-TB/III/2015.

Pada Bab V Pasal 3 perarem disebutkan, bagi perusahaan yang melanggar akan dikenakan sanksi administrasi di masing-masing banjar, bisa dikeluarkan dari wadah Gahawisri,

bisa tidak diberikan hak pelayanan administrasi, dan pengusaha yang menempati atau mengontrak tanah adat tidak diperbolehkan memperpanjang kontrak tanah.

“Sehingga pungutan tersebut bersifat memaksa dan mengikat,” tegas JPU. Surat pemberitahuan pungutan terhadap pengusaha bahari di Tanung Benoa diteken terdakwa sebagai bendesa adat,

dr. I Made Sugianta selaku wakil bendesa adat, I Ketut Kartika selaku ketua gali potensi wisata bahari, dan I Made Kartika selaku Badan Perwakilan Desa Adat (BPDA) Tanjung Benoa.

“Bahwa dari hasil pungutan tersebut, terdakwa bersama dr. I Made Sugianta, I Ketut Kartika, dan I Made Kartika mendapat keuntungan

berupa upah yang besarannya disesuaikan jabatan dalam organisasi gali potensi wisata bahari,” beber jaksa.

Pendapatan yang diperoleh dari masa uji coba 20 Desember 2014 – Juni 2017 sebesar Rp 5,6 miliar. Ditambah pungutan Juli 2017 yang belum disetor ke kas desa Rp 164,9 juta.

Perbuatan terdakwa diatur dan diancam Pasal 368 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama. Dengan pasal tersebut terdakwa terancam penjara paling lama sembilan bulan.

Sementara dalam dakwaan kedua disebutkan, Yonda sebagai bendesa adat bersama dr. I Made Sugianta, I Ketut Kartika, dan I Made Kartika pada Jumat, 26 April 2017 sampai dengan Kamis,

24 Agustus 2017 bertempat di Kantor Gali Potensi Wisata Bahari dan Kantor LPD Desa Pekraman Tanjung Benoa, dengan sengaja melawan hak memiliki barang sesuatu ebrupa uang sebesar Rp 1.002.500.000.

Uang yang seluruhnya atau sebagian milik Desa Pekaraman Tanjung Benoa tetapi yang ada dalam kekuasaan terdakwa bukan karena kejahatan melainkan karena adanya hubungan pekerjaan atau jabatan sebagai bendesa adat.

“Uang tersebut digunakan untuk keperluan dirinya sendiri selain keperluan desa adat,” tegas jaksa senior itu.

Uang Rp 1 miliar lebih tersebut digunakan terdakwa saat dijadikan tersangka/terdakwa kasus pidana pemanfaatan hutan Tahura Ngurah Rai pada 2017.

Antara lain untuk digunakan membayar pengacara atau fee lawyer. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam

Pasal 374 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dakwaan kedua). Mantan anggota DPRD Badung itu diancam maksimal lima tahun penjara.

Sementara dalam dakwaan ketiga, terdakwa dijerat Pasal 372 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana penjara empat tahun.

“Terhadap dakwaan jaksa kami menerima dan tidak mengajukan eksepsi, Yang Mulia,” ujar penasihat hukum Yonda.

Sidang dilanjutkan Kamis pekan depan, 2 Mei dengan agenda pembuktian. Yonda sendiri tidak ditahan. 

DENPASAR – Setelah menjalani vonis pidana penjara satu tahun dalam kasus dugaan perluasan daratan tanpa izin dan perusakan

kawasan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDA-E) Tahun 2017 silam, I Made Wijaya, 48, alias Yonda kembali menjadi pesakitan di PN Denpasar.

Bendesa Adat Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung, itu kali ini diadili dugaan kasus pemerasan dan penggelapan.

Dalam sidang yang dipimpin hakim Esthar Oktavi, Yonda mengenakan baju adat madya warna putih tampak tenang.

Sementara dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Bali, yang dibacakan Dewa Anom Rai, Yonda didakwa tiga dakwaan sekaligus.

Dalam dakwaan pertama dijelaskan, I Made Wijaya alias Yonda, selaku Bendesa Pekraman Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung,

bersama dr. I Made Sudianta alias dr. Beker; I Ketut Sunarka; dan I Made Kartika (dalam proses penyidikan).

Berawal saat terdakwa usai dilantik menjadi Bendesa Adat Tanjung Benoa, mengukuhkan misi visi jangka pendek, menengah, dan panjang.

Untuk  mewujudkan misi dan visinya, terdakwa menggali potensi yang dimiliki Desa Pekraman Tanjung Benoa.

Demikian juga dalam program jangka pendek, terdakwa akan menggali potensi wisata bahari dan potensi-potensi yang lain sehingga dapat memberikan kontribusi tambahan bagi desa adat dan banjar-banjar yang ada.

Setelah diangkat menjadi bendesa pada 17 Desember 2014, berselang beberapa hari kemudian, tepatnya 20 Desember 2014, terdakwa selaku bendesa

mengeluarkan surat Nomor 01/PDP-TB/XII/2014 tentang Gali Potensi, yang pada intinya memberitahukan kepada

semua pengusaha bahari di wilayah Desa Adat Tanjung Benoa agar mengenakan pungutan Rp 10.000 per aktivitas.

“Pungutan tersebut dibagi menjadi dua. Rp 5.000 untuk desa adat dan Rp 5.000 untuk pengusaha wisata bahari,” urai JPU Anom.

Setelah dilakukan uji coba pada 13 pengusaha wisata bahari yang tergabung dalam Gahawisri, ternyata sembilan pengusaha mengaku keberatan.

Sebagai gantinya mereka mau memberika dana sukarela (dana punia) untuk desa adat yang besarannya Rp 2,5 juta – 3 juta.

Bahkan, pengusaha Caputra Bumi Bahari akan memberikan Rp 15 juta setiap bulannya. Atas keberatan yang disampaikan sembilan pengusaha, terdakwa selaku bendesa adat tetap pada pendiriannya.

Uji coba Gali Potensi pun berlaku 20 Desember 2014 sampai 24 April 2015. Kemudian pada 25 April 2015, diterapkan pungutan yang mengacu perarem indik Gali Potensi Wisata Bahari Desa Adat Tanjung Benoa Nomor 01/DATB/BPDA-TB/III/2015.

Pada Bab V Pasal 3 perarem disebutkan, bagi perusahaan yang melanggar akan dikenakan sanksi administrasi di masing-masing banjar, bisa dikeluarkan dari wadah Gahawisri,

bisa tidak diberikan hak pelayanan administrasi, dan pengusaha yang menempati atau mengontrak tanah adat tidak diperbolehkan memperpanjang kontrak tanah.

“Sehingga pungutan tersebut bersifat memaksa dan mengikat,” tegas JPU. Surat pemberitahuan pungutan terhadap pengusaha bahari di Tanung Benoa diteken terdakwa sebagai bendesa adat,

dr. I Made Sugianta selaku wakil bendesa adat, I Ketut Kartika selaku ketua gali potensi wisata bahari, dan I Made Kartika selaku Badan Perwakilan Desa Adat (BPDA) Tanjung Benoa.

“Bahwa dari hasil pungutan tersebut, terdakwa bersama dr. I Made Sugianta, I Ketut Kartika, dan I Made Kartika mendapat keuntungan

berupa upah yang besarannya disesuaikan jabatan dalam organisasi gali potensi wisata bahari,” beber jaksa.

Pendapatan yang diperoleh dari masa uji coba 20 Desember 2014 – Juni 2017 sebesar Rp 5,6 miliar. Ditambah pungutan Juli 2017 yang belum disetor ke kas desa Rp 164,9 juta.

Perbuatan terdakwa diatur dan diancam Pasal 368 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama. Dengan pasal tersebut terdakwa terancam penjara paling lama sembilan bulan.

Sementara dalam dakwaan kedua disebutkan, Yonda sebagai bendesa adat bersama dr. I Made Sugianta, I Ketut Kartika, dan I Made Kartika pada Jumat, 26 April 2017 sampai dengan Kamis,

24 Agustus 2017 bertempat di Kantor Gali Potensi Wisata Bahari dan Kantor LPD Desa Pekraman Tanjung Benoa, dengan sengaja melawan hak memiliki barang sesuatu ebrupa uang sebesar Rp 1.002.500.000.

Uang yang seluruhnya atau sebagian milik Desa Pekaraman Tanjung Benoa tetapi yang ada dalam kekuasaan terdakwa bukan karena kejahatan melainkan karena adanya hubungan pekerjaan atau jabatan sebagai bendesa adat.

“Uang tersebut digunakan untuk keperluan dirinya sendiri selain keperluan desa adat,” tegas jaksa senior itu.

Uang Rp 1 miliar lebih tersebut digunakan terdakwa saat dijadikan tersangka/terdakwa kasus pidana pemanfaatan hutan Tahura Ngurah Rai pada 2017.

Antara lain untuk digunakan membayar pengacara atau fee lawyer. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam

Pasal 374 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dakwaan kedua). Mantan anggota DPRD Badung itu diancam maksimal lima tahun penjara.

Sementara dalam dakwaan ketiga, terdakwa dijerat Pasal 372 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana penjara empat tahun.

“Terhadap dakwaan jaksa kami menerima dan tidak mengajukan eksepsi, Yang Mulia,” ujar penasihat hukum Yonda.

Sidang dilanjutkan Kamis pekan depan, 2 Mei dengan agenda pembuktian. Yonda sendiri tidak ditahan. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/