KUTA-Langkah Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Badung memangkas dan membabat puluhan pohon perindang di sepanjang Jalan Raya Kuta Badung menuai protes warga dan tokoh masyarakat.
Tak hanya menuai protes, upaya DLHK Badung menggunduli puluhan pohon perindang dengan menyisakan separoh batang dengan alasan peremajaan juga dinilai sebagai tindakan kebablasan dan tak sesuai dengan konsep ajaran Trimurti
Seperti disampaikan I Made Pria Dharsana, Selasa (19/11), Tokoh masyarakat yang juga Notaris yang berkantor di Jalan Raya Kuta ini menyayangkan langkah Pemkab Badung (DLHK Badung) yang membabat pohon-pohon perindang yang sudah berusia puluhan tahun.
Menurutnya, ditengah kondisi iklim global yang sangat panas, minimnya daya serap air, terjadinya musibah kekeringan dan kebakaran yang terjadi dimana-mana, serta bergesernya siklus hujan di Bali, semestinya upaya Pemkab untuk memangkas pohon diurungkan.
“Padahal setahu kami, sejak puluhan tahun, pejabat Kabupaten Badung sebelumnya tidak ada mengambil langkah memotong pohon kecuali karena ada di bawah kabel listrik. Itupun tidak semuanya di potong.
Jika ada alasan karena pohon sudah tua dan dikhawatirkan roboh juga tidak masuk akal, karena selama 20 tahun berkantor di Kuta dengan kehijauan dan kesejukannya tetap nyaman,”terang Pria Dharsana.
Bahkan imbuh Pria Dharsana, sebesar apapun musim angin, musim hujan tak pernah ada masalah karena akar pohon perindang diakui sangat kokoh.
“ Terus terang kami menilai ini langkah yang aneh, dengan pengalaman puluhan tahun, sekarang Pemda Badung melalui DLHK justru mengambil langkah dengan melakukan pemangkasan pohon perindang secara besar-besaran,”tandasnya.
Lebih lanjut, dengan mengacu data yang dilansir salah satu komunitas gerakan anak muda untuk konservasi (Youth Conservation Initiative (YCI)), Pria Dharsana menyebutkan bahwa ada 570 mata air di Bali, dengan total debit mencapai 442,3 juta m3 per tahun.
Sisi lain, dari jumlah debit air, kebutuhan air penduduk Bali saat ini tercatat sekitar 4,5 juta jiwa terus mengalami peningkatan.
Bahkan, kebutuhan yang lebih besar akan air datang dari pariwisata, sektor andalan yang telah memberi kontribusi terbesar bagi masyarakat Bali.
Menurutnya, dari data kunjungan wisatawan pada tahun 2018, tercatat ada 9,7 juta kunjungan wisatawan domestik ke Bali, dan ada 6 juta wisatawan asing.
Angka ini diproyeksikan akan terus meningkat, yang berarti apabila pelaksanaannya tetap seperti saat ini, juga akan meningkatkan kebutuhan terhadap air bersih.
Menurut data PHRI Bali, seorang turis menghabiskan 800 hingga 3.000 liter air bersih per hari, tergantung dari lokasi dan jenis akomodasinya.
Jumlah ini signifikan dengan kebutuhan rata-rata air masyarakat Bali per hari, yang dihitung sekitar 180 liter.
Akuifer Bali telah mengalami eksploitasi yang melampaui batasannya, mengakibatkan intrusi oleh air laut di sejumlah titik di Badung, Tabanan, Jembrana, Buleleng, dan Karangasem.
Akuifer yang telah mengalami intrusi air laut berpotensi tinggi tidak dapat dipulihkan kembali.
Sebuah desalination plant milik swasta telah dibangun di Bali Selatan dengan biaya yang tinggi sebagai respons atas keterbatasan air bersih.
Solusi yang umumnya diambil untuk daerah-daerah yang benar-benar kering, dan bukan menjadi jawaban ideal untuk Bali saat ini.
Tekanan pada ketersediaan sumber daya air di Bali juga tidak didukung oleh sistem hidrologi yang sehat.
Menurut UU Kehutanan Nomor 41/1999 Pasal 18, luas hutan harus minimal 30 persen dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) atau pulau dengan sebaran secara proposional.
Luas hutan di Bali sendiri saat ini 121.112,78 Ha, atau hanya 22,74 persen dari luas wilayah Bali.
Kawasan hutan ini pun tidak semuanya berada dalam kondisi yang baik. Area dengan tutupan vegetasi yang ‘sehat’ diperkirakan hanya 8 persen dari luas Bali.
Sementara jumlah lahan kristis dan sangat kritis di Bali mencapai 46.892,8 Ha. Kondisi kritis ini disebabkan oleh baik faktor alam maupun manusia,
yang menyebabkan tutupan vegetasinya menjadi berkurang atau hilang, sehingga lahan tidak optimal lagi dalam fungsinya sebagai penyerap air dan pengendali erosi,
siklus unsur hara, regulasi iklim mikro, sekuestrasi karbon, dan untuk secara berkelanjutan menunjang kehidupan di atasnya.
Semua hal di atas mendorong berbagai lembaga/institusi dari pemerintah, akademik, lembaga swadaya masyarakat,
hingga media lokal serta internasional mewacanakan bahwa Bali akan mengalami defisit air, dan berpotensi mengalami krisis air dalam waktu dekat apabila upaya-upaya strategis tidak diterapkan segera.
“Sekali lagi dengan kondisi ini, saya mengajak rekan Walhi, Pemerhati lingkungan , rekan media untuk mengawal dan mengkritisi kondisi ini.
Jika ada program pemerintah yang keliru mari kita ingatkan untuk perbaikan. Sehingga kedepan tidak ada lagi kebijakan atau langkah yang justru memralina (merusak) alam Bali khususnya Badung,”tukasnya.