TABANAN – Gadis berinisial Ni Luh Gede EP, siswi kelas IX SMPN 3 Tabanan mestinya mendapatkan rapor Sabtu (16/12) sekitar Pukul 07.30, seperti teman-temannya.
Namun, dia tidak mendapatkan yang menjadi haknya. Pihak sekolah menahan rapornya lantaran ia belum membayar uang komite dan lembar kerja siswa (LKS).
Ni Made Artini, orang tua Ep membenarkan hal tersebut, Senin (18/12). Ia menjelaskan, saat pembagian rapor Sabtu lalu, ia tidak bisa datang ke sekolah, sehingga meminta tolong temannya yang juga orang tua siswa lain untuk mengambilkan.
”Tapi teman saya nelpon, rapornya nggak bisa diambil karena belum bayar uang komite dan LKS,” jelas dia.
Karena itu, Artini pun datang ke sekolah. Ia ditemui salah satu guru yang bukan wakil kelas anaknya. Menurut guru itu, rapor anaknya memang ditahan karena belum membayar uang komite dan LKS.
Lanjutnya, guru tersebut menyatakan rapor ditahan agar orang tua siswa bertemu dengan guru dan akan ditanyai apakah benar tidak memberikan uang kepada anaknya untuk membayar uang komite dan LKS.
”Saya bilang tidak pernah memberikan uang membayar komite dan LKS karena tidak mampu dan anak saya juga punya KIP (Kartu Indonesia Pintar, beasiswa miskin),” katanya.
Artini juga mengatakan, sepengetahuanya beasiswa miskin berupa KIP hanya boleh dipergunakan untuk membeli tas, sepatu, dan buku, namun bukan untuk bayar-membayar di sekolah.
“Saya bingung fungsi KIP itu seperti apa, kalau sudah mempunyai KIP bukannya biaya sekolah diringankan pihak sekolah?,” katanya penuh tanya.
Dia pun menjelaskan, Luh EP pernah putus sekolah selama setahun karena ada permasalahan rumah tangga.
Diketahui, Artini memang mengasuh sendiri anaknya setelah bercerai dengan suaminya, ayah dari Luh EP.
Karena putus sekolah itulah, pihak sekolah mengajak agar Luh EP bisa sekolah lagi dan akan dibebaskan dari biaya apapun. Alias gratis.
“Karena itu saya dorong supaya anak saya kembali bersekolah,” terang dia. Meski sudah menjelaskan bahwa ia menyatakan tidak mampu membayar uang komite dan LKS, Artini mengatakan pihak guru yang menemuinya tetap tidak mau memberikan rapor anaknya.
Dalih pihak guru itu, Luh EP tetap tidak bisa mendapatkan rapor karena belum membayar uang komite dan LKS. “Guru itu juga bilang kalau mau lihat nilai bisa difoto saja,” terang Artini.
Ketika hanya bisa mengintip rapor anaknya, Artini mengetahui Luh EP masuk dalam peringkat 10 besar. Dia pun merasa kasihan terhadap buah hatinya.
Apalagi, saat study tour anaknya juga tidak ikut. “Anak saya di rumah kecewa. Sebelumnya tidak ikut study tour, sekarang lagi tidak dapat rapor gara-gara dana,” katanya, lantas menangis.
Dia mengaku masih berusaha agar anaknya tetap bisa mendapat rapor. Juga berharap ada solusi atas permasalahan ini.
Artini pun berharap anaknya tidak dipojokkan karena permasalahan tersebut, apalagi sampai ramai di media massa. “Saya berharap tidak ada diskiriminasi dari teman ataupun pihak sekolah,” harapnya.